Memori Jatinangor
Lama sudah tidak melalui jalanan Jatinangor sore mendung-mendung. Semuanya seakan melambat. Tukang cilor, warung seblak, warung lamongan, kedai thai tea, warung kopi. Laundry, tempat penyewaan alat kemah, toko kelontong, tukang cukur anak muda. Jalan kaki, cara paling ampuh agar tidak kehilangan semeterpun jalanan tidak ramah pejalan kaki yang penuh sesak dengan warung kaki lima untuk dinikmati memorinya. Pernah celingukan mencari kosan teman lah, rapat di warung makan mana lah, nugas sampai larut lah, diantar pulang lah, apa saja lah. Hujan makin deras. Angkot melaju kencang, lalu melambat, menyisir atap-atap tempat fotokopian dimana banyak calon penumpang yang lagi meneduh. Mahasiswa berjalan cepat menuju kosan masing-masing, memayungi dokumen di dekapan dengan kepala atau kerudung. Menyerap ke dalam cikuda, cisaladah, ciseke kecil, ciseke besar, cikeruh, sayang, caringin, gkpn, dan ribuan jalan kapiler padat pendatang lainnya. Andai aku punya waktu lebih lama untuk memeluk ...