Surga Abu-Abu dan Cahaya Allah
Suatu malam aku tertidur. Dan kemudian aku membuka mata. Aku tidak ada lagi dalam pelukan selimut yang hangat. Namun, aku berada di surga! Sungguh aku tak menyangka! Namun, surga itu bukanlah sebuah surga yang nyaman, indah, tenteram, dan damai. Namun berwarna abu-abu, laksana abu gosok yang dibentuk sedemikian rupa. Disana tidak ada sungai yang menyegarkan, namun menghauskan. Disana tidak ada musik yang menyejukan hati. Namun sunyi senyap seperti desa yang seluruh penghuminya pergi ke luar kota. Disana hanya ada satu rumah, rumah raksasa sebesar Istana Hogwarts, namun jauh lebih besar lagi. Disana tinggalah aku, dan seluruh keluarga besarku, sampai ke Nabi Adam. Dan, seluruh penghuninya tidak pernah keluar dari rumah-atau bisa disebut juga istana itu. Boro-boro melangkahkan kaki, menampakan batang hidung pun tidak pernah. Huh.. sungguh aneh.
Pagi hari di surga abu-abu yang seperti waktu maghrib di dunia biasa, aku berjalan-jalan keliling surga "aneh" itu. Aku menatapi burung-burung yang bisu, dan suasana sunyi senyap. Telingaku seperti ditutup kapas yang berlipat ganda-atau aku seperti orang tuli dan buta warna. Sungguh menyedihkan. Namun, aku kemudian terkejut ketika melihat lambaian tirai berwarna merah menyala, dan melayang. Itulah benda berwarna pertama yang kulihat di surga abu-abu ini. Dibelakang tirai itu terlihat cahaya yang menyejukan hati semua manusia. Aku seperti orang dihipnotis, berjalan setengah berlari menuju tirai yang seakan-akan melambaikan tangannya kepadaku. Aku menyentuh tirai itu. Sungguh halus, seperti beludru ditambah sutra, dan bulu domba Australia pilihan. Dan kemudian aku menyibak tirai tersebut..
Aku masuk kedalam sebuah ruangan sebesar kamar tidurku. Ruangan itu memiliki cahaya yang mwnyilaukan, seperti cincin pada gerhana matahari ketika dilihat 100 kali lebih dekat. Aku memicingkan mata dan menutupi mataku dengan tangan. Setelah tenang dari kekagetan akan cahaya yang kilatannya mengenai tulang, aku melihat dari sela-sela jari yang menutupi nataku. Terlihat kaligrafi Allah yang paling indah, seperti karya pelukis sekaligus penggambar kaligrafi ka'bah terkenal di seluruh jagat raya, sehingga kaligrafi tersebut menyala terang. Itulah sumber cahaya tadi. Seperti sebuah cahaya Allah, tuhan semesta alam ini. Menakjubkan, dan merilekskan mataku. Disebelah kaligrafi Allah yang terindah itu, ada sebuah kursi taman, namun lebih mirip dengan kursi dalam penjara. Duduk seorang negro dengan pakaian tentara. Celana panjang berwarna hijau tua, dan baju "lekbong". Orang itu duduk termenung dengan punggung bungkuk, dan wajahnya yang seperti orang kaya setelah seluruh harta, kekayaan, dan pekerjaannya hilang. Aku memandangi kaligrafi dan orang itu lekat-lekat, disela-sela jariku.
Gelap! Tiba-tiba suasana 10 detik itu kemudian berlanjut dengan kegelapan didetik ke sebelas. Aku membuka mataku. AKu kembali berada di kasur dengan balutan selimut hellokitty pemberian tetanggaku saat aku masih tinggal di Plembang. Tentu saja, dengan seluruh tubuh berkeringat seperti disuruh mencangkul sawah ketika puasa, panas terik, dan tanpa diberi belas kasihan. Aku segera duduk. Aku merenungkan kejadian yang ternyata mimpi itu. Adakah artinya? Aku masih terus berfikir. Mengapa aku bermimpi seperti itu? Aku terus berfikir. Pertanyaan demi pertanyaan aneh selama aku melakukan rutinitasku dirumah. Huh..
(Diambil dari cerita nyata Anin, tahun 2006, yang diingat sampai kapanpun)
Pagi hari di surga abu-abu yang seperti waktu maghrib di dunia biasa, aku berjalan-jalan keliling surga "aneh" itu. Aku menatapi burung-burung yang bisu, dan suasana sunyi senyap. Telingaku seperti ditutup kapas yang berlipat ganda-atau aku seperti orang tuli dan buta warna. Sungguh menyedihkan. Namun, aku kemudian terkejut ketika melihat lambaian tirai berwarna merah menyala, dan melayang. Itulah benda berwarna pertama yang kulihat di surga abu-abu ini. Dibelakang tirai itu terlihat cahaya yang menyejukan hati semua manusia. Aku seperti orang dihipnotis, berjalan setengah berlari menuju tirai yang seakan-akan melambaikan tangannya kepadaku. Aku menyentuh tirai itu. Sungguh halus, seperti beludru ditambah sutra, dan bulu domba Australia pilihan. Dan kemudian aku menyibak tirai tersebut..
Aku masuk kedalam sebuah ruangan sebesar kamar tidurku. Ruangan itu memiliki cahaya yang mwnyilaukan, seperti cincin pada gerhana matahari ketika dilihat 100 kali lebih dekat. Aku memicingkan mata dan menutupi mataku dengan tangan. Setelah tenang dari kekagetan akan cahaya yang kilatannya mengenai tulang, aku melihat dari sela-sela jari yang menutupi nataku. Terlihat kaligrafi Allah yang paling indah, seperti karya pelukis sekaligus penggambar kaligrafi ka'bah terkenal di seluruh jagat raya, sehingga kaligrafi tersebut menyala terang. Itulah sumber cahaya tadi. Seperti sebuah cahaya Allah, tuhan semesta alam ini. Menakjubkan, dan merilekskan mataku. Disebelah kaligrafi Allah yang terindah itu, ada sebuah kursi taman, namun lebih mirip dengan kursi dalam penjara. Duduk seorang negro dengan pakaian tentara. Celana panjang berwarna hijau tua, dan baju "lekbong". Orang itu duduk termenung dengan punggung bungkuk, dan wajahnya yang seperti orang kaya setelah seluruh harta, kekayaan, dan pekerjaannya hilang. Aku memandangi kaligrafi dan orang itu lekat-lekat, disela-sela jariku.
Gelap! Tiba-tiba suasana 10 detik itu kemudian berlanjut dengan kegelapan didetik ke sebelas. Aku membuka mataku. AKu kembali berada di kasur dengan balutan selimut hellokitty pemberian tetanggaku saat aku masih tinggal di Plembang. Tentu saja, dengan seluruh tubuh berkeringat seperti disuruh mencangkul sawah ketika puasa, panas terik, dan tanpa diberi belas kasihan. Aku segera duduk. Aku merenungkan kejadian yang ternyata mimpi itu. Adakah artinya? Aku masih terus berfikir. Mengapa aku bermimpi seperti itu? Aku terus berfikir. Pertanyaan demi pertanyaan aneh selama aku melakukan rutinitasku dirumah. Huh..
(Diambil dari cerita nyata Anin, tahun 2006, yang diingat sampai kapanpun)
Comments