H+6, Lebih Belakang dari Backstage

"Tolong, aku nangis baca ini :') http://www.kaskus.co.id/thread/5518f5f6162ec2eb5b8b4568"
Waktu itu grup line KPA'35 cukup ramai beberapa jam setelah Konser Orkestrasi Angklung XII sukses menggemakan tepuk tangan yang saling bertumpukan di rongga-rongga kayu Aula Simfonia Jakarta. Seluruh kerja lembur, proposal, amplop bersegel dua bulatan dan tali, list perusahaan, list alumni, asistensi dengan alumni yang berujung modus bagi yang beruntung, resi-resi, perkuriran, kuitansi, cap, page khusus pembookingan seat di ASJ yang keren itu, semuanya menyentuh pita garis finish di atas panggung ini.

***

Dome biru mencolok itu sangat besar, membuat semua berdecak kagum dari dalam bis bermuatan 50 orang lebih itu (lebih = angklung dan keluarga alat tambahan). Tapi bis melewati belokan ke kanan itu karena pembatas beton yang sangat mengganggu. Dan bundaran yang besar, bis berputar lambat. Kembali lagi ke jalan lurus, sekarang dome itu ada di sebelah kiri. Bis berbelok. "Itu baru gerejanya."
Aula Simfonia Jakarta bertempat di bagian belakang gereja super besar itu. Semuanya segera diangkut menuju changing room di dekat backstage. Lalu lalang alumni semakin terlihat setelah kita semakin dalam memasuki gedung dengan tangan penuh bambu, gaun gliter atau setelan hitam-hijau, dan kotak sepatu.
Changing room segera penuh sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Baru mencicip ruangan itu sebentar, belum mencicip kursi dengan design ergonomis itu, seluruh pemain disedot menuju suatu ruangan bersama angklung-angklung dan map-map yang sebagian kecil belum berwarna hitam. Latihan! Kali ini suara terdengar baik karena ruangan sangat rendah dan kecil.
Makan siang kali ini menu catering, porsi nasi padang. 15 menit makan rasanya seperti sedang rindam, terburu-buru karena jadwal begitu padat dan semua orang mengalami tingkat ke-hectic-an yang nyaris sama.
Kelotak high heels memenuhi ruangan backstage saat kami berbaris untuk masuk ke dalam calon panggung kami. Aku penasaran, seperti apakah wujud concert hall terbaik ini kalau dilihat secara live? Tok, heels mengetuk lantai kayu dan retina langsung menangkap lanskap coklat keemasan yang sangat megah dan klasik, dan patung-patung mengelilingi ruangan, dan foto-foto musisi, dan orgel (?), dan kursi-kursi calon penonton kami. Sangat, menakjubkan.
Membaca-baca kembali partitur yang telah ditata di stand, dan memegang saku celana. AKU LUPA KALAU HANDPHONE DIKUMPULKAN TADI. Lenovoku akan miskin dokumentasi hari ini. Aku memandang lantai panggung yang cukup empuk sehingga ribuan jejak heels nampak jelas berbekas. Entah dari tahun berapa jejak itu, entah kaki siapa yang begitu kuat memainkan ribuan lagu yang bergema di aula ini.
Artis-artis sudah terlihat, dan di atas heels kami dan kemeja-kemeja yang bagian punggung dan ketiaknya mulai rembes, gladiresik dimulai.

"Silahkan duduk.." kram! Jam berapa ini? Aku menyandarkan gajahku di undakan panggung, dan setelah mendapatkan briefing mengenai bagaimana jam-jam berkilau menuju dimulainya konser ini, kami dan para angklung bubar menuju changing room masing-masing.
Make up artist menyambut kami di dalam changing room yang meja besarnya sudah penuh dengan koak-kotak warna dan bergelas-gelas kuas, serta botol-botol dan pernak-pernik lainnya. Aku langsung menduduki kursi yang kosong setelah membersihkan muka dengan tisu basah (sabun mukaku tertinggal di bis, dan kamar mandi sangat penuh). Seorang wanita muda siap mendandaniku. Aku meminta tolong temanku untuk memasangkan peredam bunyi di heelsku, yang berupa kapas dan lakban hitam yang empuk. Dia ahlinya.
Semuanya berjalan lancar ketika sang mbak mengoleskan sesuatu seperti 'bedak cair bukan foundation' ke wajahku (yang membuatku agak khawatir akan terlihat seperti dakocan), dan gradasi warna kulit di tulang pipi dan ujung depan hidung. Rias mata membutuhkan waktu agak lama namun tetap sigap. Ketika sampai di bagian alis, sang mbak tertegun sebentar.
Tunggu, jangan pada ketawa dulu.
Pensil alis berkulit oranye itu ternyata yang dia pakai, berarti tidak akan macam-macam. Pensilnya tidak diraut terlalu tajam, dan tebal ditekankan di alisku. dan sekali lagi, sekali lagi, hapus lagi, poles lagi, shading warna coklat, hapus lagi, tebalkan lagi, hapus lagi, aku tidak tahu akan menjadi siapakah aku setelah mendapatkan royal eyebrow.
Seorang mbak yang lain memperhatikan dari tadi dan mengambil foto beberapa kali. "Bagus lho bentuk alisnya, cantik.."
"Iya, soalnya dia nggak punya alis sih, jadi gampang dibentuknya."
Maskara, blush-on dan lipstik dengan warna yang entahlah. Aku sesegera mungkin berterimakasih dan berlalu mengambil gaun di gantungan. Ketika ujung mataku mendeteksi papan cermin di dinding, aku segera menengok. Aku tidak tahu aku sedang berhadapan dengan siapa, yang jelas royal eyebrow itu memiliki ujung yang kotak dan berwarna coklat tua. But that was a great job, mbak.
Baju beres, kerudung beres, sesi 'teman-teman melihat alis anin dengan sumringah' selesai, aku memasuki ruang pemasangan tile dan asesoris kerudung. Yang memasangkannya alumni, dengan cekatan. Aku berpikir, apakah aku akan menjadi seperti mereka dua atau tiga tahun lagi? Mungkin aku tidak akan berada di bagian pemasangan tile karena tanganku lebih cocok untuk mengetik. "Awalnya memang susah, tapi lama-lama juga biasa soalnya udah sering banget masangin tile." kata salah seorang alumni.
Jam setengah 5, mungkin. Aku berjalan menuju tempat dimana kotak-kotak catering dijajarkan. Makan porsi nasi padang lagi, tapi dimakan bertiga saking banyaknya. Setelah itu, jam berapa ini? Sudah berapa jam lagi kita akan ke panggung? Kami semua berjajar untuk dipasangkan bros bunga, aku mendapatkan warna biru sesuai warna gaunku.
Tadi ada sedikit kehebohan di luar changing room, karena ternyata bendahara kami berhasil berkenalan dengan akang yang tinggi dan pakai kacamata itu. Euforia modus sangat heboh disini, terutama di kalangan nona-nona 35, karena kualitas akang-akang alumni sangat cukup dan tuan-tuan 35 populasinya cuma sedikit dan 3/7nya sudah taken (1/3 dari yang taken akan segera taken).
Suasananya semakin hectic, tapi aku belum merasakan koloni kupu-kupu di perutku. Isi otakku serasa kosong, tidak ada yang aku hafalkan di menit-menit itu. Entah itu die Fledermaus, Serenade, Nessun Dorma, atau Li Biamo yang baru aku dapatkan partiturnya kemarin. Semua orang begitu berdebar, sedangkan aku mondar-mandir mencari apa yang bisa aku lakukan supaya aku merasakan demam panggung. Apakah demam panggung merupakan pertanda bahwa seseorang akan berusaha untuk melakukan yang terbaik di atas panggung?
Jam 6. Aku meraih heelsku yang tercecer tidak terlalu jauh, memakainya dan mengikuti arus ke dekat backstage. Oh iya, dan angklungku. Kami melakukan pemanasan terakhir sebelum menjejakkan heels (yang semoga tidak menimbulkan bunyi yang mengganggu) di panggung. Membentuk lingkaran besar, berdoa sekhusyu-khusyunya dan saling support satu sama lain. Sebentar lagi ini semua akan berakhir. Tiga bulan yang terberat, terrungsing, termembahagiakan.
Jam 7, open gate. Tidak ada angklung yang boleh berbunyi karena meskipun belum di backstage, suaranya akan terdengar sampai kursi penonton.
"Semuanya berbaris sesuai barisan masuk!" drap, drap, drap.

15 menit menunggu, saling memandangi satu sama lain. Aku sama sekali tidak menyangka kalau aku akan sampai disini. Membawa gajah dan anak-anaknya. Touch up, memastikan semuanya baik-baik saja, dan kembali memandangi satu sama lain, saling jarkom senyum.
"Naik naik!" suara dari depan menyuruh kami berdiri. To the stage!
Drap, drap, kupu-kupu berkunjungan. Semoga gaun yang dilapis tile ini bisa menjaring kupu-kupu agar mereka tidak bisa masuk. Tersenyum sebaik mungkin, seberharga mungkin, sambil meningkep gajah dengan hati-hati agar tidak menempeleng teman yang berjalan di belakangku. Berdiri di tempat dengan hati-hati supaya gajahku tidak menempeleng stand partitur di belakangku. Narasi cukup lama berjalan, namun aku berusaha untuk tidak melihat ke sekeliling dan mencari orang-orang yang aku kenal. Aku hanya melihat ke depan, ke arah guru-guru dan beberapa kakek nenek yang sepertinya adalah penonton tetap aula ini. Aku dapat merasakan (karena pengalaman di preliminary) bahwa penonton tidak sebanyak yang diharapkan, namun euforianya sangat terasa.

Teh Miri sudah berdiri di atas balok tangga, mengangkat tangan, dan kelotak kecil angklung-angklung yang diturunkan dari tingkepan terdengar timbul tenggelam di telinga. My last stage.


(lower photo by M. Yasyril Mumtaz)


Comments

See also

Supermarket

Truth or Dare

Resep Tahu Gejrot Luezaaat