Zasya: Side Story (3)
Sekarang rabu sore, tepatnya menghitung jam menuju UAS semester 5. Ya ampun, aku merasa sangat tua karena adik kelasku sudah dua angkatan dan karena sudah pegang KTP.
Aku menekuni memori tentang hari-hari beradaptasi dengan menghilangnya Andri beserta temaaan barunya, yang ternyata sangat (tidak) mudah. Suatu hari waktu itu aku terpapar kharisma seorang fotografer yang sangat idealis. Kami bertemu cukup sering, rapat cukup sering. Kelas kami ternyata bersebelahan.
Aku menekuni memori tentang hari-hari beradaptasi dengan menghilangnya Andri beserta temaaan barunya, yang ternyata sangat (tidak) mudah. Suatu hari waktu itu aku terpapar kharisma seorang fotografer yang sangat idealis. Kami bertemu cukup sering, rapat cukup sering. Kelas kami ternyata bersebelahan.
"Haha, Zasya.. Sudahlah berceritanya." Kata Shany, atau Sen supaya lebih singkat. Sepertinya dia sudah lelah dengan cerita sehari-hari tentang ini itu yang sepele. Hari anu aku rapat dengannya, hari anu dia memuji mading (buatan adik kelas)ku, hari anu (aku bercerita sambil mencak-mencak) makan siang dengan si Mawar di kafe dekat sekolah, hari anu, hari anu. "Kalau itu memberatkan, tinggalkan saja. Tidak usah cerita, tidak usah berbicara, nanti tambah sulit hidupmu."
Orang punya paradigma yang bebeda-beda mengenai cara meninggalkan seseorang yang sangat berpengaruh besar kepada jiwa raga, padahal terikat saja tidak. Aku punya paradigma bahwa semakin didekati, semakin jauh. Kalau diibaratkan dengan sebuah danau kecil yang dalam, itulah apa yang dipendam manusia. Tidak tahu dimana batu-batu cadas dan palung-palung, berputar-putar menyelam mencari cerita di dalamnya membuat gila. Ketika air di dalam danau itu dikeluarkan sedikit demi sedikit atau banyak-banyak, maka danau akan semakin surut, dasarnya terlihat. Semakin dangkal, mudah sekali tertusuk bebatu dan lumpur, menemukan cerita. Semakin banyak bercerita, maka penjelasan atas kesalahan perasaan ini semakin mendatangi. "Aku akan tetap berbicara padanya. Menatap matanya saat bicara, kalau bisa. Kalau aku sembunyi, aku bisa tenggelam." aku menarik kesimpulan.
Di waktu lain, Sen dan Zasya sedang asyik menikmati ayam goreng di kantin pulang sekolah, suasana sedang-sedang saja. "Aku mau bercerita."
Sen sudah keburu tertawa, tapi Zasya lebih keburu membuka mulutnya. "Tadi dia bela-belain memanggilku yang berada di ujung kelas hanya untuk meminta pendapat tentang angket yang dititipkan kakaknya untuk melengkapi skripsi."
Sen cuma bisa mengangguk, tidak tahu apa yang dia pikirkan.
"Sen, duluan ya! Aku ada rapat di kelas."
Sen sudah keburu tertawa, tapi Zasya lebih keburu membuka mulutnya. "Tadi dia bela-belain memanggilku yang berada di ujung kelas hanya untuk meminta pendapat tentang angket yang dititipkan kakaknya untuk melengkapi skripsi."
Sen cuma bisa mengangguk, tidak tahu apa yang dia pikirkan.
"Sen, duluan ya! Aku ada rapat di kelas."
Jam 5 sore, Zasya terbirit-birit menuju gerbang keluar karena di hari spesial itu Ibu menjemput (atas permintaan Zasya sendiri). Sepertinya Ibu sudah menunggu sekitar 45 menit. Langkah Zasya melambat di dekat parkiran motor ketika menemukan si fotografer yang sedang mengobrol ringan dengan Mawarnya yang lagi merekah. Mawar menengok padanya, dan Zasya memperhatikan matanya sampai Mawar kebingungan. Si fotografer bahkan menengok ke belakang untuk melihat apa yang membuat Mawar melihat ke belakangnya. Zasya langsung tancap gas menuju mobil.
"Kamu itu minta dijemput pakai mobil atau pakai motor itu?" Ibu tertawa renyah.
"Kamu itu minta dijemput pakai mobil atau pakai motor itu?" Ibu tertawa renyah.
Hari ini Kak Pandu tidak datang ke sekolah, mungkin sibuk di kampus. Tolong, jangan jadi ketua BEM periode selanjutnya.
Comments