Janji
Kami membuat janji untuk bertemu di pantai dekat rumah. Sudah bertahun lamanya, tidak terbayang perubahan seperti apa yang akan kutemui. Rencana pertemuan ini sangat aneh karena dia yang menginisiasinya setelah semua yang telah terjadi. Sewindu mungkin rentang waktu yang bagus untuk menyudahi semua luka dan rasa bersalah, tapi tidak untukku. Memangnya enak, sewindu merasa harus berpisah saja dan bertemu lagi sekaligus?
30 menit sebelum waktu yang dijanjikan, aku sudah berdiri saja di dekat batas ombak, membiarkan sedikit air laut membasuh kaki dan sandal. Matahari belum terlalu tinggi, kubiarkan menerpa kulit banyak-banyak. Ternyata yang datang lebih dulu bukan cuma aku, tapi juga si empunya rencana bertemu.
"Cepet banget datengnya."
"Kamu juga. Apa kabar?"
"Nggak baik."
"Kenapa?"
Aku tidak tahu mau jawab apa. "Kenapa ketemunya harus di pantai?"
"Biar bisa teriak kalau diperlukan."
Aku ketawa saja. "Mau teriak apa?"
"AKU MINTA MAAAAAAF!" begitu dia teriak ke arah laut. "DIMAAFKAN TIDAAAK?"
Aku ketawa sampai hampir terjungkal. Teriaknya keras sekali seperti orang pesisir, padahal dia orang gunung. "Sandal!" habis ketawa, baru sadarlah kalau sandal sudah lumayan jauh tersapu ombak.
"Duh, maaf nggak bisa bantu ambil sandalnya. Lagi luka, nggak bisa kena air." katanya. Aku memandang kaki terbalut perban dari telapak kaki sampai betis di balik satu sandalnya. Ya ampun, tidak romantis sama sekali.
Setelah sandal didapat, aku menghampirinya yang berdiri saja agak jauh dari batas air. Dasar, kenapa kita harus bertemu lagi?
"Jadi dimaafkan, tidak?"
"Tidak." tapi kemudian kepalaku ambruk ke bahunya, menangis seperti waduk jebol.
Ditulis sebagai bentuk partisipasi dalam 30 Hari Bercerita tahun 2022. #30haribercerita #30hbc2202
Comments