Rencana


Aku tersengal setelah meletakkan kardus berat dengan keras di atas meja. Brak! Mengapa udara sangat panas ketika aku harus mengangkat kardus ini menyebrangi kampus beratus meter? Mengapa hari ini semua berantakan?

Coba kurunutkan lagi. Jam 6 pagi mengantar adikku ke stasiun, kemudian pergi ke kampus jam 7 untuk melanjutkan pekerjaan di lab. Lalu bertemu pengantar paket jam 9 di gerbang selatan dan bekerja lagi. Lalu makan siang bareng teman jam 1 siang di tempat bagus dekat kampus. Lalu kembali ke lab dan menyelesaikan pekerjaan sampai jam 3 sore. Semuanya terencana dengan rapi.

Rencana-rencanaku mulus seperti mobil yang siap melaju di jalan tol, tapi kemudian takdir malah beri jalan berbatu hingga mobilnya terjungkal saat baru saja digas. Baru selesai mengantar adik dan sampai di kampus, aku tersandung hingga sol sepatu lepas sebelah. Alhasil aku harus membeli sandal di toko terdekat yang sudah buka dan baru sampai di lab jam 8 pagi. Giliran autoklaf diserobot dan aku harus menunggu 2 jam lagi. Lalu, alih-alih ke gerbang selatan yang dekat dengan lab, pengantar paket malah berhenti di gerbang utara dan harus segera pergi, sehingga kardus berat itu langsung dia titipkan di pos satpam. Alhasil aku harus berpanas-panas jalan kaki ke sana dan baru kembali ke lab jam 2 siang. Temanku tidak bisa menunggu karena ada keperluan lain, sehingga dia makan sendiri di tempat bagus itu. Bagus sekali, sekarang aku merasa tidak enak padanya.

Tidak habis pikir. Setiap kali merencanakan sesuatu dengan matang yang aku yakin bisa terlaksana dengan baik, tiba-tiba semuanya buyar. Ini tidak terjadi sekali, tetapi hampir setiap saat. Orang bilang tidak ada yang 100% sesuai rencana, tapi bagiku semua ini adalah kebodohan-kebodohanku sendiri yang menangkis rencana dari jalannya.

Jam 5 sore dan kini aku terjebak bersama ribuan kendaraan arus balik kantor. Sebuah epilog hari sibuk yang bikin merutuk. Apa yang salah? Katanya jago mencari-cari kesalahan, ayo cepat cari! 

Sedetik kemudian, aku tersentak bagai baru dapat ilham.

Itu karena aku terlalu bergantung pada dirimu sendiri, padahal ada empunya seluruh dunia yang lebih berkuasa daripada rencana-rencanaku. Dia menguasai segalanya: sol sepatuku, pengguna lab, pengantar paket, udara, gerbang utara dan selatan, temanku, adikku, jalanan, kendaraan, diriku sendiri, waktu, segalanya. Tidak kusertai Dia dalam rencana-rencanaku, tidak kuminta izin-Nya untuk melancarkan segala urusanku. Sombong sekali sudah merasa paling bisa merencanakan masa depan, padahal yang tentukan bukan aku sendiri.

Kesadaran ini begitu menyesakkan dada, rasanya seperti jatuh ke dalam jurang kesombongan yang menjebak, sulit keluar. Sulit, karena belum minta tolong kepada-Nya.


Ditulis sebagai bentuk partisipasi dalam 30 Hari Bercerita tahun 2022. #30haribercerita #30hbc2204

 

Comments

See also

Supermarket

Truth or Dare

Resep Tahu Gejrot Luezaaat