Pekerjaan Kami

Jam 4 sore hari di arloji. Angin semilir menggusah panas terik siang hari di pinggir jalan tempat truk-truk sound system diparkirkan. Jalan terlihat lengang, tidak sedikitpun kendaraan melintasi jalur cadangan ini. Dari kejauhan terdengar hiruk pikuk kesenangan massal yang terdengar seperti berasal dari ruang kedap suara yang dindingnya sedikit bocor.
Sebagian besar kru nongkrong di sekitar jalan. Ada yang ke warkop, ada yang ke masjid, ada yang memanjat pohon di pinggir jalan, ada yang berbincang dengan penjual burung, banyak lagi. Asep dan Roy asyik duduk-duduk, ngopi dan menikmati pisang goreng buatan nyonya pemilik warkop seberang jalan. Pasti sebentar lagi mereka akan menyulut Djarum, padahal sudah pernah dimarahi bos Herman lantaran hampir membakar truk milyaran rupiah. Priyadi, yang bisa dibilang pengemudi truk senior, datang merunduk menghampiri, mengajak bermain gaple. Membangunkan Saepul yang sedang tidur-tidur ayam di ranjang kain (pelancong biasa menyebutnya hammock), yang terbuat dari dua buah sarung lusuh yang dijahit kuat dan terikat menggantung di antara rangka kolong truk setinggi diafragma orang dewasa.
Saya sendiri telah merampungkan ranjang kain milik saya di truk sebelah, memilih menjauh dari rombongan untuk menikmati angin sore. Ranjang kain bergoyang kuat terkena empasan tubuh yang kelelahan setelah sesiangan tadi membongkar pasang sound system raksasa, apalagi ditambah adanya salah kaprah dengan penyelenggara acara yang minta ini itu. Padahal kami baru dibayar 60 persen. Maklum, panitia amatiran. Saya memejamkan mata, berusaha menikmati setiap menit istirahat yang didapatkan. Membayangkan Maya yang sekarang sudah bisa jalan dan berceloteh. Angin pelan berembus diselingi hangat mesin yang sudah dimatikan sejak dua jam lalu.
Orang yang lewat mungkin mengira bahwa kami-kami ini begitu nekat beristirahat di kolong truk, seakan-akan empat pasang ban berdiameter 20-an inci yang menopang truk ini sebentar lagi tak mampu menahan beban dan truk akan jatuh menimpa kami.
Bunyi ponsel terdengar dari truk sebelah. "Halo, Assalamu'alaikum!" suara Asep yang cempreng terdengar menggelegar, disusul dengan tawanya yang ramai.
Tapi, inilah kami, keahlian kami. Pagi buta mengangkut logistik dari markas, beranjak waktu dhuha sampai sore mengerjakan satu dua proyek yang tempatnya berjauhan, bertemu pelanggan baru, kadang mencuci truk, servis, beristirahat sejenak, lantas malam hari kembali ke markas membereskan logistik. Berusaha tidak terlalu larut sebelum sampai di pintu rumah. Hari-hari yang panjang selama bertahun-tahun untuk mengisi pundi rupiah bersih kami.
Saya bercita-cita menjadi mandor truk seperti bos Herman, suatu saat nanti pasti akan tercapai. Bos Herman selalu baik, membuka lebar-lebar kesempatan bagi kami untuk meningkatkan keahlian kami soal per-truk-an. Entah itu mengenai mesin, manajemen, hingga psikologi pekerja sering ia sampaikan di sela-sela perbincangan dan briefing.
Oh iya, saya Samsul. Saya dan seluruh kru sound system arahan bos Herman yang berjumlah 15 orang ini bekerja dan mencintai pekerjaan kami.
"Woy, Ipul Saepul! Puntungnya!"

Comments

See also

Supermarket

Truth or Dare

Resep Tahu Gejrot Luezaaat