Bus Kota
Langit begitu biru, cahaya begitu merebak walaupun tidak terik. Matahari sedang menggelar rangkaian pembuka dari perpisahannya bersama langit, menyuguhkan sinar keemasan bersama angin yang memadamkan panas dari atap-atap bangunan.
Pun aku, yang baru beres dari segala kekacauan ini, yang buru-buru mengejar bus kota.
Aku duduk di jejeran bangku berhadapan, meratakan tas di pelukan, berusaha menggerinda emosi.
Vroom.
Bus menghampiri halte berikutnya, membuat beberapa orang berkejaran ke arahnya. Satu-satu memperlihatkan wajah-wajah; perlente, pengamen, mahasiswa, siswa, PNS, ibu muda, kakek bertongkat, dan seseorang berkemeja yang tidak membawa tas. Dia duduk di sampingku,
lebih tepatnya, menduduki alam bawah sadarku.
Sejenak tarikan dari orang itu begitu kuat, berputar-putar, membingungkan, membuatku terus mencari apakah jenis tarikan ini. Dia memutar balik segala memori yang mana aku telah berdamai dengan mereka, tapi alam bawah sadarku tidak. Bus serasa mengabur, panas, tak terkendali oleh tarikannya. Hingga di titik akhir aku bisa menahan segala gemuruh akibat orang itu, aku berusaha tetap diam dan tidak menoleh ke arahnya. Tapi orang itu seakan mengendalikan segala emosi dan pertahanan diri.
Aku menjedukkan dahiku di bahunya, memburai rambutku menutupi wajah, dan menangis sejadi-jadinya. Seakan aku sudah yatim piatu, tidak berharta, tidak dianggap berharga, seluruh harga diriku terserap olehnya, seluruh air nata tumpah padanya.
Aku mengeluh sejadi-jadinya tanpa bercerita, hanya memutar-mutar derita dalam pikiran. Aku hanya berasumsi kalau orang ini sudah aku kenal baik, padahal wajahnya sama sekali tidak familiar. Seharusnya dia adalah orang tuaku, atau kakakku, atau siapaku. Tapi sekarang aku menangis di bahu orang yang bahkan belum dua menit duduk bersebelahan denganku.
Yang aku pahami darinya adalah, aku bisa bersandar padanya.
Sekarang tarikan darinya melonggar, berganti pelukan. Dia memeluk jiwaku, membelainya. Menghapus air mata dan mengobati luka. Siapakah orang ini, yang telah mengobati luka bahkan tanpa berbicara satu patah katapun?
Pelukannya begitu hangat, meredakan segala huru hara, menyibak hujan dan menggantikannya dengan pelangi. Sekarang aku sudah tidak menangis seperti tadi, seluruh beban serasa menguap bersamanya. Aku tertidur dengan dahi menempel di bahunya, seakan perjalanan masih terlalu jauh untuk ditempuh.
Pun aku, yang baru beres dari segala kekacauan ini, yang buru-buru mengejar bus kota.
Aku duduk di jejeran bangku berhadapan, meratakan tas di pelukan, berusaha menggerinda emosi.
Vroom.
Bus menghampiri halte berikutnya, membuat beberapa orang berkejaran ke arahnya. Satu-satu memperlihatkan wajah-wajah; perlente, pengamen, mahasiswa, siswa, PNS, ibu muda, kakek bertongkat, dan seseorang berkemeja yang tidak membawa tas. Dia duduk di sampingku,
lebih tepatnya, menduduki alam bawah sadarku.
Sejenak tarikan dari orang itu begitu kuat, berputar-putar, membingungkan, membuatku terus mencari apakah jenis tarikan ini. Dia memutar balik segala memori yang mana aku telah berdamai dengan mereka, tapi alam bawah sadarku tidak. Bus serasa mengabur, panas, tak terkendali oleh tarikannya. Hingga di titik akhir aku bisa menahan segala gemuruh akibat orang itu, aku berusaha tetap diam dan tidak menoleh ke arahnya. Tapi orang itu seakan mengendalikan segala emosi dan pertahanan diri.
Aku menjedukkan dahiku di bahunya, memburai rambutku menutupi wajah, dan menangis sejadi-jadinya. Seakan aku sudah yatim piatu, tidak berharta, tidak dianggap berharga, seluruh harga diriku terserap olehnya, seluruh air nata tumpah padanya.
Aku mengeluh sejadi-jadinya tanpa bercerita, hanya memutar-mutar derita dalam pikiran. Aku hanya berasumsi kalau orang ini sudah aku kenal baik, padahal wajahnya sama sekali tidak familiar. Seharusnya dia adalah orang tuaku, atau kakakku, atau siapaku. Tapi sekarang aku menangis di bahu orang yang bahkan belum dua menit duduk bersebelahan denganku.
Yang aku pahami darinya adalah, aku bisa bersandar padanya.
Sekarang tarikan darinya melonggar, berganti pelukan. Dia memeluk jiwaku, membelainya. Menghapus air mata dan mengobati luka. Siapakah orang ini, yang telah mengobati luka bahkan tanpa berbicara satu patah katapun?
Pelukannya begitu hangat, meredakan segala huru hara, menyibak hujan dan menggantikannya dengan pelangi. Sekarang aku sudah tidak menangis seperti tadi, seluruh beban serasa menguap bersamanya. Aku tertidur dengan dahi menempel di bahunya, seakan perjalanan masih terlalu jauh untuk ditempuh.
Comments