Markas


"Bang!" dia melambai-lambaikan tangannya ke udara.
"Oi, Nak! Sini naik!" Bang Hasyim menghentikan laju kudanya. Roda besi mengkeret di jalan aspal.

Edo memposisikan dirinya di sisi kanan delman, menghadap alun-alun yang siang itu cerah dan ramai. Tubuhnya bergoyang pelan saat delman mulai melaju, mengitari alun-alun yang nampak bundar dari ketinggian, lalu berbelok ke arah sebuah lapangan kosong.

"Turun disini, bang?" Edo nampak enggan turun dari delman.
"Yak. Kamu bilang mau lihat markas Abang, kan?" Bang Hasyim nyengir. Edo hanya manggut-manggut. Delman Bang Hasyim kembali dipacu untuk berjalan pelan ke arah sebuah dinding besar dengan gerbang tertutup seukuran dua delman. Kuda Bang Hasyim yang sudah terlatih lantas menyundul tuas di antara sepasang gerbang itu, membukanya.

Yang terlihat di depan mata Edo begitu menakjubkan. Edo pikir kota ini mana punya lahan luas, karena rasanya seluruh inci kota ini sudah penuh bangunan dan taman kota, tetapi pikirannya segera terbantahkan. Area ini mungkin seluas lapangan sepak bola, ditumbuhi rumput tipis nan subur, dan yang paling menarik adalah bersekat-sekat stall kuda elit yang berjajar apik di kedua sisi lapangan tersebut.

Sandal-sandal berdebum tanpa suara di permukaan rumput. Bang Hasyim nampak menikmati pemandangan yang ada dan Edo, kedua tangannya tidak lagi dibenamkan dalam saku jeansnya, dan mulutnya menganga kecil seolah tak menyangka bahwa lapangan ini ada. Menghitung berapa milyar modalnya, berapa juta perawatan tiap bulannya, dan berapa kali lipat omset bulanannya.

"Selamat datang di markas kami." Bang Hasyim bernada mengenalkan.
"Ini sungguhan semuanya milik abang?" Edo masih terbelalak takjub.
"Ya, benar."
"Sejak kapan?"
"Kurang lebih tiga, empat dasawarsa lalu. Sebenarnya ini lapangan warisan dari bapak yang telah meninggal sejak abang masih remaja."
Edo menghitung-hitung sebentar, lalu terhenyak. Berarti Bang Hasyim sudah jadi manajer sejak seumuran dengannya.

Kuda-kuda meringkik, beberapa mobil pick up berisi rumput segar dan kering melintas di lapangan. Beberapa kuda dipersiapkan untuk narik siang itu. Pandangan Edo lalu terpaku pada sebuah petak yang dipagari, berisi kuda-kuda yang terlihat berbeda: tinggi, gagah, berotot liat, dan rambutnya mengilat. Sebelum Edo sempat bertanya, Bang Hasyim sudah menjawabnya.
"Kuda pacu, Nak."
Edo memandang kepingin sampai Bang Hasyim terkekeh. "Kamu mau coba?"

Cuma butuh sedetik bagi Edo untuk menangkap mata kuda berwarna hitam itu dan menjadi akrab dengannya. Terserah itu kuda sumbawa atau kuda australia, tapi kuda itu bagus sekali. Mudah sekali naik ke punggungnya, dan sekali tarik kekang, kuda itu berjalan dengan gagah ke arah Bang Hasyin.
"Lintasannya mana, bang?"
"Kamu tidak lihat? Lapangan ini dikelilingi lintasan kuda, Nak."
Tanpa basa-basi, Edo sudah memacu Si Hitam ke arah lintasan.

Si Hitam belum nampak kelelahan, tetapi matahari harus segera terbenam. Setelah mengandangkan Si Hitam, Edo berjalan keluar markas bersama Bang Hasyim.
"Abang mau di markas dulu, kamu pulanglah duluan."
"Baik Bang."
"Oh iya, ada hal yang perlu kamu pertimbangkan sebelum kamu pergi lagi ke markas ini." perkataan Bang Hasyim menghentikan selamat tinggal yang hampir terucap. "Dalam waktu dekat ini, Abang akan membuka sekolah berkuda. Abang ingin kamu jadi gurunya sebelum Abang mengundang guru-guru berkuda lainnya."
Edo terhenyak, tertarik. "Ini akan menjadi langkah awalmu dan akan memberikan pengalaman yang luar biasa." tambah Bang Hasyim. Edo mengangguk menyetujui.
"Dan satu lagi," kata Bang Hasyim lagi. "Kamu tahu, kan, kalau Abang ini seorang."
Edo bergidik memperkirakan kelanjutan perkataan Bang Hasyim.
"Kalau Abang nanti meninggal, markas ini untukmu."
Edo kini terhenyak lebih dalam. "Yang benar, Bang?"
"Karena hanya kamu, Nak. Hanya kamu satu-satunya."

Edo pulang bersama gelap petang, bunyi tongeret, serta kembang api dan hujan deras dalam hatinya.

Comments

See also

Supermarket

Truth or Dare

Resep Tahu Gejrot Luezaaat