Hujan Sudah Berhenti
Klotak, klotak, frekuensinya semakin berkurang.
Aku menggeret gorden ke sampling, mempersilahkan cahaya matahari yang beberapa jam lagi tenggelam di ufuk, tepat bila terpandang dari halaman depanku yang tak luas. Aku membuka pintu jati, sehingga menyeruaklah segerombolan petrichor yang membuat nyaman setiap insan yang gelisah akan hujan besar yang nyaris menggugurkan kuntum-kuntum bunga. Aroma bumi yang magis.
Berkecipak bunyi sandal ketika aku melangkah menuju kotak pos yang berada di liar pagar. Sebelum gerimis, dering sepeda pak pos terdengar, sepertinya ada jawaban atas suratku dua bulan lalu. Apakah kali ini dia mengirim beberapa foto ladang tulip miliknya?
Sejenak aku mengagumi halaman depan 'sekunder'ku yang terletak di seberang jalan: hamparan sawah yang selalu indah di masa tanam, masa pemupukan, masa orang-orangan sawah, hingga masa panennya yang serempak. Terlalu menghampar, terlalu indah. Dekat saung kecil di tengah sawah Itu, aku melihat tiga orang anak kecil laki-laki yang sedang bercengkrama sambil duduk di pematang.
Eh, sepertinya itu bukan anak kecil, tapi ada ayahnya, tapi ayahnya terlihat seperti anak kecil. Oh, dan yang berdua itu sepertinya kakak beradik.
Tubuh mereka seluruhnya basah kuyup, sepertinya habis hujan-hujanan. Aku membayangkan riangnya bermain air, saling melempar lumpur, mencari belut dan ikan-ikan kecil, lari kalau diteriaki petani yang lewat, takut padi-padi mudanya rusak. Dari dalam saung, seorang wanita membawa gelas-gelas beruap di tangannya, dan handuk yang disampirkan di bahunya. Sang ayah mengambil handuk yang kecil dan si kakak beradik digulung oleh sang ayah dengan handuk yang besar. Aku tertawa kecil melihat hebohnya dua anak kecil itu. Mereka semua lalu minum bersama sambil duduk di pematang sawah. Hangatnya minuman seperti merambat hingga kepadaku, menyebar ke seluruh hamparan sawah.
Kehadiran mereka seakan memberikan nyawa pada langit, angin, dan bebatuan.
Memberikan nyawa padaku.
Separuh nyawaku berangkat ke masa lalu ketika kami saling menjambak rambut karena rebutan kue hingga Ibu datang dan memberikan satu miliknya. Ayah tertawa melerai lalu mendongeng tentang dirinya dan Paman yang dulu bertengkar saat main layangan bersama.
Denting sendok dan cangkir teh, carik koran yang terbuka, tawa yang terdengar hingga rumah tetangga,
Dan aku yang kini sendirian merawat rumah warisan, taman kecil warisan, pintu jati warisan, kotak pos warisan.
Burung-burung berkelompok membentuk formasi di langit, melanjutkan perjalanan ditemani pelangi yang melengkung sepanjang ufuk.
Aku menggeret gorden ke sampling, mempersilahkan cahaya matahari yang beberapa jam lagi tenggelam di ufuk, tepat bila terpandang dari halaman depanku yang tak luas. Aku membuka pintu jati, sehingga menyeruaklah segerombolan petrichor yang membuat nyaman setiap insan yang gelisah akan hujan besar yang nyaris menggugurkan kuntum-kuntum bunga. Aroma bumi yang magis.
Berkecipak bunyi sandal ketika aku melangkah menuju kotak pos yang berada di liar pagar. Sebelum gerimis, dering sepeda pak pos terdengar, sepertinya ada jawaban atas suratku dua bulan lalu. Apakah kali ini dia mengirim beberapa foto ladang tulip miliknya?
Sejenak aku mengagumi halaman depan 'sekunder'ku yang terletak di seberang jalan: hamparan sawah yang selalu indah di masa tanam, masa pemupukan, masa orang-orangan sawah, hingga masa panennya yang serempak. Terlalu menghampar, terlalu indah. Dekat saung kecil di tengah sawah Itu, aku melihat tiga orang anak kecil laki-laki yang sedang bercengkrama sambil duduk di pematang.
Eh, sepertinya itu bukan anak kecil, tapi ada ayahnya, tapi ayahnya terlihat seperti anak kecil. Oh, dan yang berdua itu sepertinya kakak beradik.
Tubuh mereka seluruhnya basah kuyup, sepertinya habis hujan-hujanan. Aku membayangkan riangnya bermain air, saling melempar lumpur, mencari belut dan ikan-ikan kecil, lari kalau diteriaki petani yang lewat, takut padi-padi mudanya rusak. Dari dalam saung, seorang wanita membawa gelas-gelas beruap di tangannya, dan handuk yang disampirkan di bahunya. Sang ayah mengambil handuk yang kecil dan si kakak beradik digulung oleh sang ayah dengan handuk yang besar. Aku tertawa kecil melihat hebohnya dua anak kecil itu. Mereka semua lalu minum bersama sambil duduk di pematang sawah. Hangatnya minuman seperti merambat hingga kepadaku, menyebar ke seluruh hamparan sawah.
Kehadiran mereka seakan memberikan nyawa pada langit, angin, dan bebatuan.
Memberikan nyawa padaku.
Separuh nyawaku berangkat ke masa lalu ketika kami saling menjambak rambut karena rebutan kue hingga Ibu datang dan memberikan satu miliknya. Ayah tertawa melerai lalu mendongeng tentang dirinya dan Paman yang dulu bertengkar saat main layangan bersama.
Denting sendok dan cangkir teh, carik koran yang terbuka, tawa yang terdengar hingga rumah tetangga,
Dan aku yang kini sendirian merawat rumah warisan, taman kecil warisan, pintu jati warisan, kotak pos warisan.
Burung-burung berkelompok membentuk formasi di langit, melanjutkan perjalanan ditemani pelangi yang melengkung sepanjang ufuk.
Comments