Cinta Tanpa Dosa (3)
Mereka berdua terhenyak di sofa.
"Mama menyebalkan ya?"
"Menyebalkan?"
"Iya. Sepertinya kalau Mama sedang bicara, raut muka kamu langsung berubah kesal. Emangnya Mama salah ya cara ngomongnya?"
"Iya, agak kurang enak aja. Masih belum bisa dideskripsikan jelas kenapa kurang enaknya."
Si anak memutar otak. Bukan dia bingung apakah cara bicara ibunya salah atau benar, tetapi sulit bagi si anak untuk mendeskripsikan suasana dan warna yang tertangkap ketika ibunya sedang berbicara. Perasaannya yang runyam berusaha diurai satu per satu. Berusaha berbicara tentang perasaan seakan-akan tidak sedang merasakan perasaan tersebut, hanya membahasnya saja secara objektif, memang sulit. Si anak berusaha keras agar tidak meletup-letup dalam berbicara. Tenang, menurun, seperti air laut surut, yang semoga saja tidak jadi tsunami.
"Mama bingung. Sudah dari kecil kamu dididik supaya peduli, supaya empati sama keadaan Mama. Tapi sampai sekarang kalau lihat Mama kesusahan saja, tidak ada tuh, keinginan membantu. Kalau Mama berusaha kasih tau kamu, nanti kamu malah jadi benci sama Mama. Nggak respek sama Mama. Iya kan?"
Si anak rasanya seperti tenggelam dihisap busa sofa. Mana ada terbesit di hatinya untuk membenci wanita yang, dengan sangat disyukuri si anak, mau menjadi perantara karunia Maha Sayang agar ia tetap hidup sehat dan mapan? Mama dapat inspirasi prasangka dari siapa?
"Anak benci sama ibunya itu cuma asumsi Mama saja kan?" kata si anak, ofensif.
Detak jam mendominasi suara burung yang bersahutan.
"Aku berangkat." si anak menggendong tasnya, lantas mengulurkan tangan.
"Tidak usah. Sana, berangkat."
Di angkot, suasana begitu gaduh.
Apa jangan-jangan mama yang membenci aku? Ah, mana ada. Kalau dibenci, mengapa sampai sekarang aku masih tinggal di rumah? Diurus? Dinasihati? Dibentak? Eh, memangnya kamu tidak pernah membentak Ibu sampai kamu pikir Ibu suka membentak kamu? Apa berarti saat itu aku sedang merepresentasikan diri Ibu? Memangnya berapa persen penurunan karakter orang tua pada alam bawah sadar anak, walaupun anak tersebut sudah cukup dewasa untuk mengatur karakter apa yang akan keluar dari dirinya?
"Mama menyebalkan ya?"
"Menyebalkan?"
"Iya. Sepertinya kalau Mama sedang bicara, raut muka kamu langsung berubah kesal. Emangnya Mama salah ya cara ngomongnya?"
"Iya, agak kurang enak aja. Masih belum bisa dideskripsikan jelas kenapa kurang enaknya."
Si anak memutar otak. Bukan dia bingung apakah cara bicara ibunya salah atau benar, tetapi sulit bagi si anak untuk mendeskripsikan suasana dan warna yang tertangkap ketika ibunya sedang berbicara. Perasaannya yang runyam berusaha diurai satu per satu. Berusaha berbicara tentang perasaan seakan-akan tidak sedang merasakan perasaan tersebut, hanya membahasnya saja secara objektif, memang sulit. Si anak berusaha keras agar tidak meletup-letup dalam berbicara. Tenang, menurun, seperti air laut surut, yang semoga saja tidak jadi tsunami.
"Mama bingung. Sudah dari kecil kamu dididik supaya peduli, supaya empati sama keadaan Mama. Tapi sampai sekarang kalau lihat Mama kesusahan saja, tidak ada tuh, keinginan membantu. Kalau Mama berusaha kasih tau kamu, nanti kamu malah jadi benci sama Mama. Nggak respek sama Mama. Iya kan?"
Si anak rasanya seperti tenggelam dihisap busa sofa. Mana ada terbesit di hatinya untuk membenci wanita yang, dengan sangat disyukuri si anak, mau menjadi perantara karunia Maha Sayang agar ia tetap hidup sehat dan mapan? Mama dapat inspirasi prasangka dari siapa?
"Anak benci sama ibunya itu cuma asumsi Mama saja kan?" kata si anak, ofensif.
Detak jam mendominasi suara burung yang bersahutan.
"Aku berangkat." si anak menggendong tasnya, lantas mengulurkan tangan.
"Tidak usah. Sana, berangkat."
Di angkot, suasana begitu gaduh.
Apa jangan-jangan mama yang membenci aku? Ah, mana ada. Kalau dibenci, mengapa sampai sekarang aku masih tinggal di rumah? Diurus? Dinasihati? Dibentak? Eh, memangnya kamu tidak pernah membentak Ibu sampai kamu pikir Ibu suka membentak kamu? Apa berarti saat itu aku sedang merepresentasikan diri Ibu? Memangnya berapa persen penurunan karakter orang tua pada alam bawah sadar anak, walaupun anak tersebut sudah cukup dewasa untuk mengatur karakter apa yang akan keluar dari dirinya?
Comments