Way Out
Restoran itu sedikit lengang, padahal setengah delapan belum terlalu larut. Dari arah dapur masih bisa terdengar dentang sudip beradu wajan alumunium, memasakkan pesanan untuk pelanggan yang tersisa beberapa meja. Termasuklah kami sekeluarga di antaranya, duduk agak pojok supaya dekat dengan wastafel.
"Mbak.." Adikku yang baru berumur 4 tahun minggu lalu memanggil. "..mau beli es krim!"
Dia langsung loncat dari tempat duduknya, nyaris setengah berlari ke arah stand es krim yang satu atap dengan restoran. Aku dengan sigap meraih dan menyetopnya karena dia tidak beralas kaki. Sandal kelincinya tertinggal di mobil. "Jangan lari-lari, nanti jatuh!"
"Digendong saja, Mbak." Kata Ibu sebelum memasukkan sesendok penuh kwetiau goreng ke suapan.
"Nggak mau, nanti aku dikira ibunya." Kataku setengah bercanda. Maklum, usia kami berdua terpaut jauh. 16 tahun jarak kelahiran kami cukup membuat orang awam mengira aku seorang ibu muda yang menemani anaknya membeli es krim.
Adikku, yang sudah mengulurkan kedua tangannya untuk diraih, kembali diam dengan wajah setengah berpikir. "Gimana kalau gandengan aja?"
"Nggak.. Sama saja." Aku jadi geli.
"Gimana kalau.. Kita jalan berjauhan aja?" Kalimat terakhirnya membuatku tergelak. Serial TV yang pagi-pagi suka ditonton berdampak pada susunan katanya yang sangat baku. Akhirnya aku menggendong dia pergi membeli es krim.
Sekembalinya kami dari stand es krim, aku mendudukkan adikku di tempat duduknya. Saat aku hendak melanjutkan santap bistik sapiku, Ibu berdeham.
"Dengar tadi adek bilang apa?'
"Yang mana, Bu?"
"Waktu kamu mau gendong dia."
"Mhm.. Kenapa, Bu?"
"Anak umur segitu.. Dia sudah bisa membuat way out."
"Way out?"
"Kalo nggak digendong, digandeng. Kalo nggak digandeng, jalan berjauhan."
"Aah.. Aku ngerti, Bu. Seperti rencana A, B, dan C, kan?"
"Betul, Nak. Berarti apa? Way out itu alami, kemampuan dasar manusia."
Aku tercengang.
"Jadi, kalau sampai sekarang masalahmu itu belum selesai.."
Aku jadi sedikit kesal, tapi segera teralih oleh pikiran tentang peristiwa tadi. Orang-orang dewasa sekarang tidak semudah itu merencanakan sesuatu. Mengapa? Jawabannya mudah. Bukan karena skill yang kurang, tapi karena pikiran yang berlipat-lipat dan berkelok-kelok. Keputusan untuk beralih ke rencana B dapat menimbulkan berbagai polemik, sehingga orang dewasa seringkali hanya tenggelam dalam renungan ketika sedang menentukan "way out".
Aku jadi iri melihat anak-anak yang sangat jernih dan polos, sehingga way out terasa seterang kamar yang lampunya baru diganti.
Terlepas dari kompleksnya pikiran orang dewasa dan seberapa ahli mereka dalam menjelimetkan suatu masalah sehingga way out terlihat seperti simpul tali yang tidak lepas-lepas, orang dewasa wajib untuk selalu sadar bahwa setiap masalah pasti punya way out. Serumit apapun. Salah satu jalan untuk meredakan kesulitan berpikir adalah sekali-kali mencoba untuk menjadi jernih dan sederhana kembali. Bayangkan saja ketika Anda masih berusia SD. Sesederhana apa cara Anda menemukan way out?
Selamat menemukan way out-mu, wahai orang dewasa!
"Mbak.." Adikku yang baru berumur 4 tahun minggu lalu memanggil. "..mau beli es krim!"
Dia langsung loncat dari tempat duduknya, nyaris setengah berlari ke arah stand es krim yang satu atap dengan restoran. Aku dengan sigap meraih dan menyetopnya karena dia tidak beralas kaki. Sandal kelincinya tertinggal di mobil. "Jangan lari-lari, nanti jatuh!"
"Digendong saja, Mbak." Kata Ibu sebelum memasukkan sesendok penuh kwetiau goreng ke suapan.
"Nggak mau, nanti aku dikira ibunya." Kataku setengah bercanda. Maklum, usia kami berdua terpaut jauh. 16 tahun jarak kelahiran kami cukup membuat orang awam mengira aku seorang ibu muda yang menemani anaknya membeli es krim.
Adikku, yang sudah mengulurkan kedua tangannya untuk diraih, kembali diam dengan wajah setengah berpikir. "Gimana kalau gandengan aja?"
"Nggak.. Sama saja." Aku jadi geli.
"Gimana kalau.. Kita jalan berjauhan aja?" Kalimat terakhirnya membuatku tergelak. Serial TV yang pagi-pagi suka ditonton berdampak pada susunan katanya yang sangat baku. Akhirnya aku menggendong dia pergi membeli es krim.
Sekembalinya kami dari stand es krim, aku mendudukkan adikku di tempat duduknya. Saat aku hendak melanjutkan santap bistik sapiku, Ibu berdeham.
"Dengar tadi adek bilang apa?'
"Yang mana, Bu?"
"Waktu kamu mau gendong dia."
"Mhm.. Kenapa, Bu?"
"Anak umur segitu.. Dia sudah bisa membuat way out."
"Way out?"
"Kalo nggak digendong, digandeng. Kalo nggak digandeng, jalan berjauhan."
"Aah.. Aku ngerti, Bu. Seperti rencana A, B, dan C, kan?"
"Betul, Nak. Berarti apa? Way out itu alami, kemampuan dasar manusia."
Aku tercengang.
"Jadi, kalau sampai sekarang masalahmu itu belum selesai.."
Aku jadi sedikit kesal, tapi segera teralih oleh pikiran tentang peristiwa tadi. Orang-orang dewasa sekarang tidak semudah itu merencanakan sesuatu. Mengapa? Jawabannya mudah. Bukan karena skill yang kurang, tapi karena pikiran yang berlipat-lipat dan berkelok-kelok. Keputusan untuk beralih ke rencana B dapat menimbulkan berbagai polemik, sehingga orang dewasa seringkali hanya tenggelam dalam renungan ketika sedang menentukan "way out".
Aku jadi iri melihat anak-anak yang sangat jernih dan polos, sehingga way out terasa seterang kamar yang lampunya baru diganti.
Terlepas dari kompleksnya pikiran orang dewasa dan seberapa ahli mereka dalam menjelimetkan suatu masalah sehingga way out terlihat seperti simpul tali yang tidak lepas-lepas, orang dewasa wajib untuk selalu sadar bahwa setiap masalah pasti punya way out. Serumit apapun. Salah satu jalan untuk meredakan kesulitan berpikir adalah sekali-kali mencoba untuk menjadi jernih dan sederhana kembali. Bayangkan saja ketika Anda masih berusia SD. Sesederhana apa cara Anda menemukan way out?
Selamat menemukan way out-mu, wahai orang dewasa!
Comments