Cerita tentang Apa yang Aku Alami Saat Menjadi Mahasiswa Tingkat Akhir

Terhitung satu hari sudah setelah semua, bisa dibilang, kekacauan yang membingkai garis finish perjalanan akademik strata satu dari diriku sendiri. Aku, yang masih memandang kata-kata seperti "revisi" dan "bimbingan" sebagai sesuatu yang asing dan hanya dialami oleh orang-orang dengan "level hidup" yang lebih tinggi dariku, dan menganggap seluruh "revisi" dan "bimbingan" yang telah aku alami berkali-kali hanyalah jalan timik-timik, not a big deal.

Melalui tulisan ini aku ingin bercerita tentang status cara berpikir dan bertindakku, apa yang dominan aku rasakan dan dampak dari perasaan itu, serta hal-hal lainnya yang sampai di paragraf ini rasanya masih abstrak tapi ingin aku bagi, sehingga kamu-kamu yang membaca bisa mengambil sesuatu untuk mencerahkan masa tingkat akhir yang sedang atau akan dialami.

Peringatan: isinya mirip diary, bukan narasi-narasi berbahasa elegan.

Semester 4 pertengahan, aku dapat ajakan dari teman setingkat untuk bergabung dengan proyek salah satu dosen. Waktu itu kami semua belum mendapatkan vibe tingkat akhir karena memang belum masanya memilih peminatan (cabang ilmu yang nanti dikembangkan untuk penelitian skripsi), apalagi memilih atau dipilihkan dosen pembimbing. Aku ingat betul kata ibuku, kalau bisa segera penelitian dan lulus, segera. I took the chance, menawarkan diri dan langsung mendapatkan arahan ke proyek tertentu untuk penelitian skripsiku. Bahkan teman-teman di sekitarku kagum dengan "pencapaian" ini. Di posisi ini aku melakukan sesuatu yang sangat riskan: I feel enough. Hal ini jelas memperlambat pace-ku, seakan-akan semua baik karena orang lain juga memang belum punya "kepastian" seperti aku.

Semester 5 dan 6 aku habiskan dengan mengerjakan penelitian skripsi dan juga membantu proyek dosen pembimbing (plus magang, itu cerita seru lainnya). Secara natural, aku merupakan mahasiswa yang "baik": melakukan sesegera mungkin apa yang diperintahkan dosen pembimbing, bekerja rapi, berteman baik dengan anggota tim proyek dosen pembimbing yang terdiri dari mahasiswa strata satu sampai tiga, curious, mengeksplor apa yang sedang aku teliti, berdiskusi dan berbagi apa yang aku tahu dengan anggota tim lainnya. Aku sangat senang dengan apa yang aku lakukan, tapi aku melupakan sesuatu: mengerjakan draft usulan penelitianku. Mengapa? Karena aku merasa itu tidak butuh waktu lama. Menurutku, aku punya cukup kemampuan untuk membuat satu subbab salam waktu 20 menit. Tapi ketika aku melakukannya, memang awalnya baik, tapi kemudian aku tenggelam dalam laman-laman sumber yang akan aku sitasi dalam draft. Membongkar google scholar, research gate, elsevier, springer, sampai z-lib. Dari satu keyword ke keyword lainnya. Dari baca-baca yang penting sampai terlena baca-baca yang cuma curiosity based. 20 menit itu merenggang sampai satu hari. Membuat tinjauan pustaka adalah musuh, karena waktu yang terpakai sangat lama.

Kelihatannya memang kehidupan akademik terlihat baik-baik saja. Jiwa yang dari zaman baru masuk kuliah aku paksa pendam, memanggil-manggil lagi. Aku ingin sibuk. Aku ingin punya kegiatan lainnya. Himpunan, UKM, name it. I still wanted to participate. I wanted my face there, my opinion, my contribution, my influence. Aku bergabung dalam beberapa kepanitiaan sambil petak umpet dengan orang tua yang menyarankan dengan tegas untuk tidak ikut-ikutan lagi kepanitiaan, mengingat pengalaman SMA dulu dimana aku super keteteran secara akademik akibat otak yang terbagi ke segala tempat. Terbukti, aktivitas-aktivitas tersebut menyita beberapa bulan proses penyusunan draft usulan penelitian.

Draftku sudah hampir selesai, tapi menurutku belum. Kurang bagus. Kurang sempurna. Aku mau kritikan yang sedikit ketika aku menyerahkan draft ke dosen pembimbing. Bimbingan dan revisi dengan dosen pembimbing 1 (empunya proyek) tidak makan waktu banyak, tapi tetap saja ada revisi yang dilakukan. Aku kembali masuk ke dalam pasir hisap: mencari sitasi. Semester 7 belum habis di penghujung liburan akhir tahun, tapi aku kepincut teman-teman lainnya yang mengejar seminar usulan penelitian sebelum liburan akhir tahun. Aku memburu draftku ke dosen pembimbing 2. Setelah aku menyerahkan cetak draft, aku diminta datang dalam tiga hari. Aku merasa tidak sopan untuk mengingatkan dosen pembimbing 2 pada H-1 kalau aku akan menemui beliau untuk membahas draft, jadi aku tidak melakukan komunikasi apa-apa sampai pada hari aku masuk ke ruangan beliau lagi. Nasib, draft itu tertinggal di rumah beliau. Dengan otomatis (tidak pikir dua kali langsung diomongkan), aku menawarkan untuk mencetak draft kembali. Ketergesa-gesaan ini tertangkap oleh beliau yang notabene strict soal aturan dan konsep. Beliau kemudian menawarkan agar aku mencetak draft kembali dan menemui beliau lagi sore hari agar bisa bimbingan di hari itu juga. Aku mengiyakan. Kemudian beliau menyinggung keinginanku untuk segera seminar, sehingga aku diberi waktu untuk revisi dan seminar pada hari terakhir perkuliahan sebelum libur, dan apabila tidak terjadi, dosen pembimbing 2 menolak hadir pada seminar-seminarku selanjutnya.Aku tidak menyangka sampai beberapa hari kemudian kalau ternyata beliau menegur sikap ketergesa-gesaanku tempo hari, sampai-sampai menyalahi aturan pendaftaran seminar yang seharusnya H-7 (pendaftaran aku lakukan di H-5). Aku menjadi sangat malu dan takut kalau sesedikit mungkin kesalahan di waktu-waktu kedepan bisa membawaku pada zona merah, peduli amat artinya apa.

Akhirnya di akhir semester 7, aku bisa seminar usulan penelitian. Setelah lewat setahun dari penelitianku (penelitianku sudah selesai sebelum aku seminar).

Semester 8, aku sangat optimis bisa menyelesaikan skripsi. Tapi, tetap saja awalnya kurang baik. Aku merasa takut membuka catatan hasil seminar usulan penelitian (yang berisi masukan dari seluruh dosen penguji), sampai-sampai aku baru membukanya sebulan setelah seminar usulan penelitian. Aku takut kalau aku ketahuan melakukan kesalahan-kesalahan konyol. Aku takut dianggap memiliki cara penulisan yang tidak jelas. Aku bahkan takut kalau rasa takut ini menyeruak keluar dan terpampang secara implisit dalam penulisan draftku kemarin. Ternyata setelah dibuka, masukan-masukan tersebut aku terima dengan baik dan malah meningkatkan semangatku untuk menyelesaikan skripsi. Aku merasa seperti langit mendung lalu matahari muncul perlahan di balik awan suram. 

Aku diperbolehkan tidak pulang pergi untuk menyelesaikan skripsiku. Tawaran ini sudah ada sejak awal tahun, tapi aku cukup skeptis karena sejak dulu kala restu orang tua agar aku tinggal di kost selama weekdays mirip ombak di pantai: maju mundur. Aku senang bukan kepalang. Terbayang di kepala rencana-rencana yang akan terwujud dengan mudah. Ekspektasi-ekspektasi positif bermunculan. Pada kenyataannya, tidak juga. Memang otak lebih ringan karena tidak lagi harus melalui lika liku kemacetan yang makan hampir empat jam setiap harinya, tetapi tantangan procrastinating sangat besar. Aku merasa bisa menunda karena keluangan waktuku, which was very very wrong. Ditambah lagi aku tidak hanya mengerjakan skripsi, tapi juga draft publikasi. Waktu pengerjaan skripsi jadi molor, meskipun diri masih merasa kalau mengerjakan skripsi di kost cuma makan waktu sekitar dua-tiga bulan dan setelah itu aku bisa lulus hore.

Then pandemic strikes. Belum sampai dua bulan, aku kembali ke rumah. Rencana-rencana jadi tidak jadi. Waktu pengerjaan skripsi semakin renggang, aku uring-uringan, tidak fokus, kemudian masuk pada fase kecewa. Kecewa pada diri sendiri yang tidak bisa mengontrol jadwalnya sendiri. Sudah disarankan membuat jadwal, malah tidak dikerjakan. Sok-sokan let it flow dan berlindung, mengambinghitamkan pandemi dan situasi di rumah. Otak sangat berisik menghakimi diri sendiri. Menangis kalau tidak berhasil menyelesaikan satu paragraf. Awalnya aku tidak percaya drama-drama skripsi, tapi ternyata aku mengalaminya sendiri. Mengapa aku ingin semuanya sempurna? Orang lain pasti sudah pada selesai karena mengerjakan draftnya dengan santai dan fokus, pegang waktu dan targetnya sendiri. Lah, aku? Aku kesusahan. Aku ingin mengerjakan draft di atap rumah saja, ganti suasana. Aku ingin pergi kemana saja. Aku mau ditinggalkan sendiri supaya tidak merasa harus hadir untuk orang lain dulu. Berisik.

Episode olah data adalah salah satu yang paling membuatku jungkir balik, meskipun overall it was a pleasure to learn things that I freaking hate: statistics and friends. Tidak tanggung-tanggung, butuh 3 bulan untuk memahami proses statistik yang aku alami dalam skripsiku, konsepnya, cara interpretasinya. Frustrasi dengan perangkat lunak konvensional anak-anak kampus, aku merantau di searching engine, mencari kemungkinan-kemungkinan perangkat lunak lainnya. Loncat dari satu free trial ke free trial lainnya. Tanya sana sini. Gagal sana sini. Sampai diajari phyton oleh bapakku dengan sangat bersemangat, tapi akunya pusing. 

Saat tidak berhasil mencapai suatu target mikro berkaitan dengan penyelesaian draft skripsi maupun publikasi, rasanya sangat kecewa. Hampir-hampir setiap hari, ada saja momen dimana otak riuh dengan suara-suara penghakiman. Membuat frustrasi. Usaha menuliskan kegelisahan, berbicara sendiri, menulis rencana harian, rasanya hanya jadi painkiller saja. Kemudian aku membuat terobosan baru: membuat sesuatu yang aku sebut audio diary sampai aku menyetorkan draft skripsiku pada dosen pembimbing. Aku ingat sekali bagian awal dari rekaman tiap-tiap harinya: "Halo, sekarang hari Senin jam 08.15.." Setiap perasaan aku ungkapkan, sampai-sampai hujan yang indah di telinga. Ketika kudengarkan kembali, aku sadar: it wasn't that bad, I just exaggerated situations

Semester 8 tinggal sebulan lagi. Berdoa-doa aku sampaikan ketika berdiri, duduk, berbaring, bersujud. Aku sangat takut kalau kejadian seminar usulan penelitian terulang lagi. Satu hal yang aku tanamkan dalam diri: jangan terburu-buru. Waktu itu aku merasa sangat cemas, bahasa kerennya anxious, kalau aku akan mendapat respon kurang baik dari dosen pembimbing 2, sampai mengirim undangan seminar hasil saja sampai hampir terlambat karena ditunda-tunda. Kalau dilihat orang sebenarnya situasiku biasa-biasa saja, tapi rasanya ruwet sekali.

Seminar hasil penelitian berjalan dengan sangat baik. Aku sangat bahagia. I've done what I wanted: everything progressed by order. Smooth, perfect. Aku merasa bisa memperbaiki draft skripsi dengan cepat, bahkan menjamin satu hari selesai. Kalau satu hari selesai, bisa lanjut bimbingan lagi dan bisa sidang skripsi dengan cepat.

But I slept quickly at night, missing out my whole beautiful plan. Aku sangat kecewa. Kecewa karena aku yang terlalu gampang ketiduran. Kecewa sampai aku butuh waktu lebih banyak untuk memperbaiki draft skripsi. Hal ini berujung pada revisian yang molor, padahal waktu terus berjalan. Semester 8 akan segera habis dan mahasiswa tingkat akhir sudah diberi batas waktu sidang skripsi agar tidak perlu jadi mahasiswa semester 9. Dosen pembimbing 2 belum juga memberikan persetujuan agar aku bisa mendaftar sidang skripsi, tapi aku terlalu takut untuk menanyakan kepastian draft skripsi pada beliau. Hingga akhirnya aku melewatkan batas waktu itu. Cuma gara-gara takut melakukan follow up.

Aku sangat, sangat kecewa pada diri sendiri. What have you done? Wasting more money because the system wont let you graduate on 8th semester, just because you are AFRAID??? Didn't you know that you can just register before everyone agreed to keep up with the campus' system?? Stupid! Rasanya kepala ini isinya api. Kebakaran. Putus asa. Tapi aku coba berpikir di luar diriku sendiri. Anggap saja diri sendiri itu orang lain yang sedang butuh bantuan. Berpikir di luar diri sendiri, ditambah nyerocos pada teman satu bimbingan, membantuku tetap "tenang" ketika berkonsultasi dengan pihak kemahasiswaan terkait status persidanganku.

Hasilnya nihil. Aku sudah harus jadi mahasiswa semester 9 karena sistem kampus sudah berpindah, beserta satu konsekuensi besar.

All because of that freaking anxiety stuffs and being not brave enough to stand for my own.

Kekacauan ini bahkan tidak sampai ke telinga orang tuaku dengan jelas. Bagaimana aku bisa bercerita dengan benar? Aku ingin bercerita kalau semuanya sudah lurus, minimal aku sudah tau akan sidang skripsi kapan. Tapi keinginanku mengulur waktu untuk cerita situasi yang aku hadapi pupus karena orang tuaku sudah keburu kecewa. "Jadi tercapai ya, keinginannya? Menunggu persetujuan dosen dulu baru mendaftar sidang? Semuanya sesuai urutan?"

Kecewanya cuma sehari, kecewaku tidak selesai-selesai.

Setelah kekacauan itu, semua berjalan baik. Memang semuanya baik-baik saja. 

Sidang skripsi selesai dengan baik. Sudah. A part of me was in relief, but another part was not. Things shouldn't go this way. I don't like this way. I want to rewind. I am not make it the way I wanted. Tapi, setelah melihat bahwa orang-orang di sekitarku mensyukuri kelulusanku (unofficially), aku mulai merasa baikan. Baikan dengan diri sendiri.

Proses ini semakin menguatkan apa-apa yang berusaha aku tanam dalam diri.

  • Keep moving forward. You made mistakes? It's okay to be disappointed, but be quick. Learn the solution. Repair. Quick.
  • You need to stand for yourself. Jangan terus-terusan berlindung di balik action orang lain, itu nggak bagus.
  • Do your best, but it doesn't always have to be perfect.
  • Pretty please, plan things out! Sangat bagus untuk melihat timeline yang sudah dibuat untuk waktu-waktu ke depan, karena itu membantu menciptakan motivasi lebih besar
  • Look up, you are fine. You are okay.
Aku sangat bersyukur bisa mencapai titik ini dengan baik dan stabil. Aku sangat bersyukur karena Allah swt. memberikan seluruh circumstance ini. Aku sangat bersyukur atas diriku sendiri.

Apa selanjutnya?

Comments

See also

Supermarket

Truth or Dare

Resep Tahu Gejrot Luezaaat