Kayang
Aku adalah seorang pelajar kelas 12,5 alias pejuang sekaligus pengikut berbagai tes tertulis maupun tes melalui rapor di berbagai perguruan tinggi agar segera menyusul teman-temanku yang telah punya sekolah duluan. Jauh sebelum pengumuman kelulusan, aku telah melakukan itu semua. Selain sebagai seorang pelajar, aku memiliki pekerjaan sampingan: babysitter. Syukurlah dapat menambah penghasilan cinta. Kalau ibu sibuk memasak, aku akan menjaga adik perempuanku yang masih bayi dan sedang belajar berjalan. Tubuhnya belum begitu kuat, sehingga bisa celaka kapan saja. Harus diawasi seratus persen. Saat ia sudah tidur, aku beringsut ke meja belajar yang berantakan. Menikmati hari-hari tanpa masuk sekolah (karena tahun ajaran sudah berakhir) begitu saja.
Tapi kali ini aku tak tahan lagi.
Aku sudah berusaha menutup pintu kamar, belajar di lantai, di karpet, di ruang makan, di ruang tamu, di balkon, di pinggir kolam ikan, di garasi, bahkan telah nekat belajar di genteng kala mendung hari, namun segala upaya belajar itu belum membuat rantai-rantai rumus dan teks menempel di otak depan besar ini. Terdapat semacam perisai yang menolaknya, yaitu suara tangis adik perempuanku yang masih bayi dan teriakan kedua adik kembar laki-lakiku yang rebutan apa saja dan jarang akur, ditambah suara ibu-bapak kami yang menggelegar untuk menenangkan mereka semua. Suara menggelegar radius 40 m yang sanggup membuatku menoleh saat sedang memilih makanan ringan di pasar swalayan ramai awal bulan.
Bapak sibuk, hanya terkadang menyempatkan waktu mengasuh ketiga anak di bawah sepuluh tahun tersebut meski sambil tangannya terus memegang handphone. Kalau kondisi sedang tidak baik, anak-anak sedang sulit diatur dan handphone berdering menunjukkan nama kontak "BANK X", Bapak akan kesal sejadi-jadinya. "Halo! Iya, sekarang memang malam, kenapa mesti kasih tau saya lagi?" begitu katanya sambil mencak-mencak.
Seminggu setelah pengumuman kelulusan, aku mengutarakan batu ujian ini di forum ayah-ibu-anak sulung.
"Bu, aku ingin kos."
"Apa?"
"Iya, kos."
"Mau dimana?"
"Dimana saja."
"Untuk apa?"
"Untuk belajar."
"Kamu tidak suka belajar di rumah ini?"
Skak mat.
Beruntunglah ketika Oma datang ke rumah dan memperbaiki segala keadaan dan pekerjaanku sebagai babysitter diambil alih olehnya. Tapi itu bukan berarti keadaan membaik bagi proses belajar mandiriku. Akhirnya Bapak menemukanku menerawang lembar latihan yang masih kosong dengan pandangan kosong dan pensil diam di tempat.
"Kamu harus bisa menerima semua ini dengan lapang dada, dengan ikhlas. Semoga keikhlasan kamu menjadi amal baik yang dapat memberikan pertolongan-Nya saat tes nanti."
Iya, Bapanda.
"Kakaak!"
"Kemana Kakak? Harusnya suara Ibu kedengaran dong sampai ke kamarnya."
Akhirnya Ibu naik menuju kamarku, meninggalkan Oma dan adik perempuanku yang masih bayi. Kamarku kosong. Angin malam semilir terasa di kulit Ibu dari arah balkon. Saat Ibu melongok ke luar, suara menggelegar radius 40 meter itu terdengar hanya dari jarak 1,5 meter.
"Kakaaak!!! Kamu lagi ngapain kayak begitu??"
Sontak aku jatuh berdebum dengan punggung mencium lantai. Nyeri tak tertahankan membuat aku tidak bicara sedikit saja.
"Kayang, Bu."
"Bukankah dokter sudah melarang kamu melakukan segala bentuk senam lantai? Kamu mau terus-terusan terapi?"
Dulu, waktu TK dan SD, aku ikut kursus bela diri dan yoga. Ketika kelas 9 SMP, intensitas olahragaku menurun drastis hingga tidak pernah lagi kulakukan, hingga akhirnya aku divonis menderita skoliosis 25 derajat. Bukan ringan, bukan parah, tapi tetap berbahaya. Kayang satu kali saja bisa membatalkan puluhan kali terapi yang aku lakukan.
Setelah temperatur keadaan menurun, aku dan Ibu duduk di kasur kamarku.
"Baiklah, begini saja." terdengar suara ribut dari arah ruang keluarga. "Selama ini pasti kamu sudah berusaha maklum dan menenangkan diri, jadi mungkin suasana rumah Om yang ada dekat sekolahmu bisa meningkatkan konsentrasi belajar kamu."
Ini pertanda yang selalu baik. Aku membayangkan koper besar (berisi buku pelajaran) yang akan aku bawa.
Aku sudah berusaha menutup pintu kamar, belajar di lantai, di karpet, di ruang makan, di ruang tamu, di depan TV, di balkon, di pinggir kolam ikan, di garasi, bahkan telah belajar di sebelah kandang burung beo yang rajin meniru hal-hal yang berusaha aku hapalkan, namun segala upaya belajar itu belum membuat rantai-rantai rumus dan teks menempel di otak depan besar ini. Terdapat semacam perisai yang menolaknya, yaitu suara tangis adik perempuanku yang masih bayi dan teriakan kedua adik kembar laki-lakiku yang rebutan apa saja dan jarang akur, ditambah suara ibu-bapak kami yang menggelegar untuk menenangkan mereka semua. Suara menggelegar radius 40 m yang sanggup membuatku menoleh saat sedang memilih makanan ringan di pasar swalayan ramai awal bulan. Orkestra yang menempel erat menjadi baju otakku, merontokkan rambut karena stres yang tidak jelas, serta membuat nafsu makan coklat meningkat.
Sore hari Ibu janji menjemputku untuk terapi skoliosis. Ibu mengetuk pintu saat Om sedang pergi ke warung. Aku membukakan pintu dengan wajah lesu dengan rambut mengembang yang telah lepek belum keramas.
"Kenapa lagi?"
"Aku masih belum bisa belajar, Bu."
"Kenapa?"
"Suara mereka masih terdengar jelas disini, Bu. Ramai sekali." aku menunjuk telinga.
"Apa Ibu harus mengantar kamu ke psikolog sekarang?"
Tapi kali ini aku tak tahan lagi.
Aku sudah berusaha menutup pintu kamar, belajar di lantai, di karpet, di ruang makan, di ruang tamu, di balkon, di pinggir kolam ikan, di garasi, bahkan telah nekat belajar di genteng kala mendung hari, namun segala upaya belajar itu belum membuat rantai-rantai rumus dan teks menempel di otak depan besar ini. Terdapat semacam perisai yang menolaknya, yaitu suara tangis adik perempuanku yang masih bayi dan teriakan kedua adik kembar laki-lakiku yang rebutan apa saja dan jarang akur, ditambah suara ibu-bapak kami yang menggelegar untuk menenangkan mereka semua. Suara menggelegar radius 40 m yang sanggup membuatku menoleh saat sedang memilih makanan ringan di pasar swalayan ramai awal bulan.
Bapak sibuk, hanya terkadang menyempatkan waktu mengasuh ketiga anak di bawah sepuluh tahun tersebut meski sambil tangannya terus memegang handphone. Kalau kondisi sedang tidak baik, anak-anak sedang sulit diatur dan handphone berdering menunjukkan nama kontak "BANK X", Bapak akan kesal sejadi-jadinya. "Halo! Iya, sekarang memang malam, kenapa mesti kasih tau saya lagi?" begitu katanya sambil mencak-mencak.
Seminggu setelah pengumuman kelulusan, aku mengutarakan batu ujian ini di forum ayah-ibu-anak sulung.
"Bu, aku ingin kos."
"Apa?"
"Iya, kos."
"Mau dimana?"
"Dimana saja."
"Untuk apa?"
"Untuk belajar."
"Kamu tidak suka belajar di rumah ini?"
Skak mat.
Beruntunglah ketika Oma datang ke rumah dan memperbaiki segala keadaan dan pekerjaanku sebagai babysitter diambil alih olehnya. Tapi itu bukan berarti keadaan membaik bagi proses belajar mandiriku. Akhirnya Bapak menemukanku menerawang lembar latihan yang masih kosong dengan pandangan kosong dan pensil diam di tempat.
"Kamu harus bisa menerima semua ini dengan lapang dada, dengan ikhlas. Semoga keikhlasan kamu menjadi amal baik yang dapat memberikan pertolongan-Nya saat tes nanti."
Iya, Bapanda.
***
"Kakaak!""Kakaak!"
"Kemana Kakak? Harusnya suara Ibu kedengaran dong sampai ke kamarnya."
Akhirnya Ibu naik menuju kamarku, meninggalkan Oma dan adik perempuanku yang masih bayi. Kamarku kosong. Angin malam semilir terasa di kulit Ibu dari arah balkon. Saat Ibu melongok ke luar, suara menggelegar radius 40 meter itu terdengar hanya dari jarak 1,5 meter.
"Kakaaak!!! Kamu lagi ngapain kayak begitu??"
Sontak aku jatuh berdebum dengan punggung mencium lantai. Nyeri tak tertahankan membuat aku tidak bicara sedikit saja.
"Kayang, Bu."
"Bukankah dokter sudah melarang kamu melakukan segala bentuk senam lantai? Kamu mau terus-terusan terapi?"
Dulu, waktu TK dan SD, aku ikut kursus bela diri dan yoga. Ketika kelas 9 SMP, intensitas olahragaku menurun drastis hingga tidak pernah lagi kulakukan, hingga akhirnya aku divonis menderita skoliosis 25 derajat. Bukan ringan, bukan parah, tapi tetap berbahaya. Kayang satu kali saja bisa membatalkan puluhan kali terapi yang aku lakukan.
Setelah temperatur keadaan menurun, aku dan Ibu duduk di kasur kamarku.
"Baiklah, begini saja." terdengar suara ribut dari arah ruang keluarga. "Selama ini pasti kamu sudah berusaha maklum dan menenangkan diri, jadi mungkin suasana rumah Om yang ada dekat sekolahmu bisa meningkatkan konsentrasi belajar kamu."
Ini pertanda yang selalu baik. Aku membayangkan koper besar (berisi buku pelajaran) yang akan aku bawa.
***
Sekarang telah resmi dua pagi aku "kos" di rumah Om.Aku sudah berusaha menutup pintu kamar, belajar di lantai, di karpet, di ruang makan, di ruang tamu, di depan TV, di balkon, di pinggir kolam ikan, di garasi, bahkan telah belajar di sebelah kandang burung beo yang rajin meniru hal-hal yang berusaha aku hapalkan, namun segala upaya belajar itu belum membuat rantai-rantai rumus dan teks menempel di otak depan besar ini. Terdapat semacam perisai yang menolaknya, yaitu suara tangis adik perempuanku yang masih bayi dan teriakan kedua adik kembar laki-lakiku yang rebutan apa saja dan jarang akur, ditambah suara ibu-bapak kami yang menggelegar untuk menenangkan mereka semua. Suara menggelegar radius 40 m yang sanggup membuatku menoleh saat sedang memilih makanan ringan di pasar swalayan ramai awal bulan. Orkestra yang menempel erat menjadi baju otakku, merontokkan rambut karena stres yang tidak jelas, serta membuat nafsu makan coklat meningkat.
Sore hari Ibu janji menjemputku untuk terapi skoliosis. Ibu mengetuk pintu saat Om sedang pergi ke warung. Aku membukakan pintu dengan wajah lesu dengan rambut mengembang yang telah lepek belum keramas.
"Kenapa lagi?"
"Aku masih belum bisa belajar, Bu."
"Kenapa?"
"Suara mereka masih terdengar jelas disini, Bu. Ramai sekali." aku menunjuk telinga.
"Apa Ibu harus mengantar kamu ke psikolog sekarang?"
Comments
-Fer