Saya ingin bertemu dengannya, bahkan walaupun dengan cara terburuk sekalipun
Seperti tugas akhir yang merupakan syarat terakhir sebelum sama bebas lepas dari rimba perkuliahan ini, seperti deadline yang menggedor-gedor segala fokus, saya sangat ingin bertemu dengannya. Dengan cara bagaimanapun, di waktu kapanpun, dalam keadaan apapun, saya ingin sekali bertemu dengannya. Walaupun sebenarnya kurang tahu juga transaksi apa yang akan saya mulai atau akhiri dengannya, saya begitu menggebu untuk bertemu dengannya.
Bahkan walaupun dengan cara dan waktu terburuk sekalipun.
Perempatan jalan ini masing-masing ruas jalannya hanya berkisar 5-6 meter saja. Lengang, lampu merah menyala. Menyetop satu dua motor. Saya bergegas menyebrangi zebra cross.
Lengang, lampu merah menyala. Menyetop satu dua motor, kecuali satu mobil yang terburu-buru menerobosnya, seakan-akan seisi jagad perempatan akan memakluminya karena lampu merah baru menyala 5 detik.
Saya sempat menangkap mata sang pengemudi ugal-ugalan yang.... oh tidak. Sejenak, waktu terasa melambat dan selamanya mobil putih itu akan berada 5 senti dari pinggang saya. Detik selanjutnya seperti masuk ke dalam black hole menuju dunia lain serba merah dan hitam. Rasanya, itulah dead line saya. Komat kamit saya berucap mohon ampun sebelum tidak akan pernah sempat lagi, lalu sebelum segalanya redup, berbisik halo, Tuhan..
Suara pip pip pip mesin ECG membangunkan saya, dan segera meluruskan segala logika saya bahwa saya masih hidup. Saya di rumah sakit. Saya memakai infus. Saya memakai perban dimana-mana. Kaki saya kebas. Saya merunut semua yang terjadi, menghindar dari basa basi sinetron di atas ranjang rumah sakit. Syukurlah, otak saya masih aman.
Eh, aman?
Meskipun saya berusaha tenang, masih ada sedikit perasaan kaget yang mungkin meningkatkan sedikit tekanan darah dan gunung-gunung di ECG. Ternyata bukan cuma saya yang kaget, tapi juga penunggu yang mungkin sudah sejak awal duduk di sofa kecil di sebelah ranjang, tersentak dari sedikit rasa kantuk. Dan itu sudah cukup untuk menduakalilipatkan kekagetan saya.
Keinginan saya terwujudkan tidak hanya dengan cara terburuk, tetapi juga dengan cara yang paling saya tidak inginkan.
Sungguh, saya lebih ingin dikasih uang begitu saja untuk biaya perawatan sampai saya bisa kembali berjalan normal daripada harus ditunggui seperti ini. Tiga hari berturut-turut sudah saya hanya melihatnya dari sudut mata tanpa berbicara sedikitpun. Ketika saya berpura-pura tidur, saya bisa mendengar langkahnya mendekat ke ranjang sebentar, lalu langkah itu menjauh bersamaan dengan kernyit pintu. Selebihnya basa-basi dengan suster. Sekali dia menyebutkan bahwa dia adalah sepupu saya, saya mendelik kearahnya, tapi wajah datarnya mencegah saya berbicara.
Ibu dua kali menelepon saya, tidak terlalu banyak basa basi. Mendoakan seperlunya dengan suaranya yang lembut dari tanah suci. Masih dua minggu lagi bapak dan ibu pulang ke rumah. Saya tidak tahu apakah dua minggu lagi saya sudah bisa jalan apa belum.
Hari keempat, saya menyadari bahwa dia sudah baik-baik menunggui saya tapi saya malah jutek padanya.
"Mobil aman?" Itu pertanyaan pertama yang menyembur tanpa terpikirkan.
"Gores sedikit, kena motor dari kanan." Sejenak kemudian dia tertawa lepas terpaksa. "Pantas saja aku dulu tidak lulus tes SIM."
Hening. Jujur, saya ingin dia minta maaf karena telah menciptakan pertemuan ini. Saya bisa saja menuntutnya ke pengadilan, tapi melihat berapa banyak uang yang telah dia keluarkan di rumah sakit ini, saya anggap masalah itu sudah selesai.
Dia membalikkan badan menghadap jendela, berbicara di telepon genggam tentang hal yang tidak saya ketahui. "Saat itu keren sekali," celetuknya setelah memutus percakapan di telepon genggam. "Tidak ada polisi. Seperti materi tumbukan, momentum dan impuls dulu, kamu terjengkang, terguling-guling, membuat motor-motor ngerem mendadak," nadanya mengalami descressendo, "membuat orang-orang banjir ke tengah jalan, membuat jalanan berdarah," suaranya tidak mengecil, tapi menggantung, "aku keluar dari mobil beserta makian orang-orang yang saling bersahutan," omongannya terputus oleh suster yang masuk membawa nampan makan siang. Oi, tidak sama sekali dia meminta maaf!
Besoknya, dia memperlihatkan selembar hasil rontgen yang selalu tersimpan lemari kecil sebelah ranjang. Saya mengalami compound fracture di tulang femur kiri dan sedikit retak di tulang keringnya. Saya merinding melihatnya. Butuh waktu beberapa hari atau minggu lagi agar saya boleh pulang, karena beberapa luka dalam masih harus diistirahatkan.
Berhari-hari di rumah sakit dengan pakaian rumah sakit yang sama, hingga akhirnya tibalah hari dimana besok saya sudah boleh istirahat di rumah. Pen di femur saya akan dilepas sekitar tiga bulan lagi. Saya berkesah sambil menggaruk kepala yang gatal. Suster, boleh saya panggil mbak-mbak salon kesini?
Setelah menghabiskan sarapan, dia masuk membawa kantung-kantung. Meletakkan kantung-kantung itu di samping saya dan mengeluarkan isinya. "Mau keluar rumah sakit pakai baju pasien atau baju berlumuran darah?" Perkataannya membuat saya mendelik kesal, lalu senang bukan kepalang, lalu jatuh menjadi rasa bersalah yang luar biasa. Berhari-hari saya menuntutnya untuk meminta maaf bukannya diam, tapi sesungguhnya berhari-hari ini adalah permintaan maaf yang sebenarnya. Sekarang tinggal berdoa, semoga bajunya pas.
Pagi ini saya pulang sebagai orang-orangan sawah dengan baju kebesaran dan celana kedodoran dan rambut kusut masai dan memakai kurk. Saya siap pesta halloween.
Mobil mengerem tepat di depan pagar rumah. Kurang lebih sudah 2 minggu saya berada di rumah sakit, ditambah beberapa hari lagi untuk latihan berjalan menggunakan kurk. Dia membukakan pintu mobil, persis seperti yang semua perempuan bayangkan. Terdengar bunyi gemeletuk kurk yang saya gunakan hingga sampai ke depan pintu rumah. Dia membukakan pintu rumah dan memasukkan semua kebutuhan saya ke ruang tamu. Butuh waktu begitu lama untuk menyusun segala bentuk ucapan terima kasih, namun yang keluar hanya:
"Terimamakaafsih."
Karena terlalu bersamaan dan bertumpukan, kedengarannya jadi aneh sekali. Kami tertawa cukup lama lalu meredup, lalu dia pamit dan segera melajukan mobilnya.
Plak! Saya menampar pipi sendiri. Dua setengah minggu sudah terlalu cukup untuk..
..untuk apa?
Tulang femur sama berdenyut-denyut.
Bahkan walaupun dengan cara dan waktu terburuk sekalipun.
Perempatan jalan ini masing-masing ruas jalannya hanya berkisar 5-6 meter saja. Lengang, lampu merah menyala. Menyetop satu dua motor. Saya bergegas menyebrangi zebra cross.
Lengang, lampu merah menyala. Menyetop satu dua motor, kecuali satu mobil yang terburu-buru menerobosnya, seakan-akan seisi jagad perempatan akan memakluminya karena lampu merah baru menyala 5 detik.
Saya sempat menangkap mata sang pengemudi ugal-ugalan yang.... oh tidak. Sejenak, waktu terasa melambat dan selamanya mobil putih itu akan berada 5 senti dari pinggang saya. Detik selanjutnya seperti masuk ke dalam black hole menuju dunia lain serba merah dan hitam. Rasanya, itulah dead line saya. Komat kamit saya berucap mohon ampun sebelum tidak akan pernah sempat lagi, lalu sebelum segalanya redup, berbisik halo, Tuhan..
Suara pip pip pip mesin ECG membangunkan saya, dan segera meluruskan segala logika saya bahwa saya masih hidup. Saya di rumah sakit. Saya memakai infus. Saya memakai perban dimana-mana. Kaki saya kebas. Saya merunut semua yang terjadi, menghindar dari basa basi sinetron di atas ranjang rumah sakit. Syukurlah, otak saya masih aman.
Eh, aman?
Meskipun saya berusaha tenang, masih ada sedikit perasaan kaget yang mungkin meningkatkan sedikit tekanan darah dan gunung-gunung di ECG. Ternyata bukan cuma saya yang kaget, tapi juga penunggu yang mungkin sudah sejak awal duduk di sofa kecil di sebelah ranjang, tersentak dari sedikit rasa kantuk. Dan itu sudah cukup untuk menduakalilipatkan kekagetan saya.
Keinginan saya terwujudkan tidak hanya dengan cara terburuk, tetapi juga dengan cara yang paling saya tidak inginkan.
Sungguh, saya lebih ingin dikasih uang begitu saja untuk biaya perawatan sampai saya bisa kembali berjalan normal daripada harus ditunggui seperti ini. Tiga hari berturut-turut sudah saya hanya melihatnya dari sudut mata tanpa berbicara sedikitpun. Ketika saya berpura-pura tidur, saya bisa mendengar langkahnya mendekat ke ranjang sebentar, lalu langkah itu menjauh bersamaan dengan kernyit pintu. Selebihnya basa-basi dengan suster. Sekali dia menyebutkan bahwa dia adalah sepupu saya, saya mendelik kearahnya, tapi wajah datarnya mencegah saya berbicara.
Ibu dua kali menelepon saya, tidak terlalu banyak basa basi. Mendoakan seperlunya dengan suaranya yang lembut dari tanah suci. Masih dua minggu lagi bapak dan ibu pulang ke rumah. Saya tidak tahu apakah dua minggu lagi saya sudah bisa jalan apa belum.
Hari keempat, saya menyadari bahwa dia sudah baik-baik menunggui saya tapi saya malah jutek padanya.
"Mobil aman?" Itu pertanyaan pertama yang menyembur tanpa terpikirkan.
"Gores sedikit, kena motor dari kanan." Sejenak kemudian dia tertawa lepas terpaksa. "Pantas saja aku dulu tidak lulus tes SIM."
Hening. Jujur, saya ingin dia minta maaf karena telah menciptakan pertemuan ini. Saya bisa saja menuntutnya ke pengadilan, tapi melihat berapa banyak uang yang telah dia keluarkan di rumah sakit ini, saya anggap masalah itu sudah selesai.
Dia membalikkan badan menghadap jendela, berbicara di telepon genggam tentang hal yang tidak saya ketahui. "Saat itu keren sekali," celetuknya setelah memutus percakapan di telepon genggam. "Tidak ada polisi. Seperti materi tumbukan, momentum dan impuls dulu, kamu terjengkang, terguling-guling, membuat motor-motor ngerem mendadak," nadanya mengalami descressendo, "membuat orang-orang banjir ke tengah jalan, membuat jalanan berdarah," suaranya tidak mengecil, tapi menggantung, "aku keluar dari mobil beserta makian orang-orang yang saling bersahutan," omongannya terputus oleh suster yang masuk membawa nampan makan siang. Oi, tidak sama sekali dia meminta maaf!
Besoknya, dia memperlihatkan selembar hasil rontgen yang selalu tersimpan lemari kecil sebelah ranjang. Saya mengalami compound fracture di tulang femur kiri dan sedikit retak di tulang keringnya. Saya merinding melihatnya. Butuh waktu beberapa hari atau minggu lagi agar saya boleh pulang, karena beberapa luka dalam masih harus diistirahatkan.
Berhari-hari di rumah sakit dengan pakaian rumah sakit yang sama, hingga akhirnya tibalah hari dimana besok saya sudah boleh istirahat di rumah. Pen di femur saya akan dilepas sekitar tiga bulan lagi. Saya berkesah sambil menggaruk kepala yang gatal. Suster, boleh saya panggil mbak-mbak salon kesini?
Setelah menghabiskan sarapan, dia masuk membawa kantung-kantung. Meletakkan kantung-kantung itu di samping saya dan mengeluarkan isinya. "Mau keluar rumah sakit pakai baju pasien atau baju berlumuran darah?" Perkataannya membuat saya mendelik kesal, lalu senang bukan kepalang, lalu jatuh menjadi rasa bersalah yang luar biasa. Berhari-hari saya menuntutnya untuk meminta maaf bukannya diam, tapi sesungguhnya berhari-hari ini adalah permintaan maaf yang sebenarnya. Sekarang tinggal berdoa, semoga bajunya pas.
Pagi ini saya pulang sebagai orang-orangan sawah dengan baju kebesaran dan celana kedodoran dan rambut kusut masai dan memakai kurk. Saya siap pesta halloween.
Mobil mengerem tepat di depan pagar rumah. Kurang lebih sudah 2 minggu saya berada di rumah sakit, ditambah beberapa hari lagi untuk latihan berjalan menggunakan kurk. Dia membukakan pintu mobil, persis seperti yang semua perempuan bayangkan. Terdengar bunyi gemeletuk kurk yang saya gunakan hingga sampai ke depan pintu rumah. Dia membukakan pintu rumah dan memasukkan semua kebutuhan saya ke ruang tamu. Butuh waktu begitu lama untuk menyusun segala bentuk ucapan terima kasih, namun yang keluar hanya:
"Terimamakaafsih."
Karena terlalu bersamaan dan bertumpukan, kedengarannya jadi aneh sekali. Kami tertawa cukup lama lalu meredup, lalu dia pamit dan segera melajukan mobilnya.
Plak! Saya menampar pipi sendiri. Dua setengah minggu sudah terlalu cukup untuk..
..untuk apa?
Tulang femur sama berdenyut-denyut.
Comments
Nin apa kabaar :)