Cinta Tanpa Dosa (Akhir)

Pintu ruang konseling yang tenang diketuk oleh seseorang. Ketukannya kecil, berarti tangan yang mengetuknya juga kecil.
"Masuklah, pintunya tidak dikunci."

Anak kelas 3 SD itu masuk dengan wajah malu-malu, namun kemudian terbiasa dengan suasana ruang konseling yang nyaman, warna-warni, dan banyak mainannya. Celingak-celinguk ia berjalan ke arahku. Ia kemudian duduk berhadapan denganku, beralaskan karpet kecil, tangan-tangan kami menopang diri masing-masing di satu meja oval yang rendah.
Aku menggeser ke samping beberapa dokumen yang sedang aku baca, beberapa aku simpan di bawah, menunjukkan atensiku penuh kepadanya. "Apa yang ingin kamu ceritakan hari ini?"
Anak itu menunduk, memandang jari-jarinya yang mungil. Mukanya gusar, wajahnya memerah malu, tapi sedih. "Ibuku selalu marah padaku." katanya pelan.
Ah, benar. Pantas saja prestasi belajarnya menurun akhir-akhir ini.
"Apa kamu berbuat keliru padanya?"
"Tidak, tidak tahu." Diam sebentar. "Sepertinya semua perbuatanku salah."
"Mungkin dia sedang ada masalah yang lain, tapi bukan tentang kamu." tanpa pikir panjang aku lontarkan usaha optimistis itu.
Anak itu diam saja.

Aku bernapas sekali, panjang. "Kamu tahu, setiap ibu, setiap mama di dunia ini pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya."
"Tapi Ibu bilang dia tidak mau punya aku. Setiap hari aku tidak pernah diajak ngobrol. Kalau aku cerita tentang pelajaran hari ini, dia pasti menyuruhku diam karena aku berisik."
Aku diam lagi, kali ini lebih panjang. Membiarkan si anak mengatur nafasnya yang tersendat, terburu-buru.

"Bisa diam nggak? Mama lagi sibuk."
"Bawel banget sih jadi anak!"
"Sana, pergi saja. Mama lagi nggak mau lihat kamu."
"Mama didik kamu biar kamu bisa peduli sama Mama. Lihat sekarang, ngomong baik-baik aja nggak bisa!"
Suara itu tidak bisa berhenti bergema di kepalaku, mengingatkanku pada salah satu gejala skizofrenia. Aku sangat bersyukur tidak sempat sedetikpun terjerat dalam skizofrenia, karena kalau aku kena, aku tidak mungkin jadi guru bimbingan konseling.

Luka-luka yang setiap saat aku ajak kompromi agar tidak perih lagi, karena meskipun sudah sembuh, bekasnya rapuh.

Anak itu perlahan-lahan menguap kesedihannya. "Sebentar lagi Hari Ibu. Waktu pelajaran seni kemarin, aku buatkan kartu ucapan dan origami bunga untuk Ibu. Mungkin Ibu akan senang."
Aku mau menangis saja melihat kepolosan anak itu, tapi aku menutupnya dengan tertawa kecil. "Itu bunga yang bagus! Oh iya, kamu mau ibu ajarkan cara membuat bentuk hati dari origami?"
Wajah anak itu berubah senang.

Jadilah kelas konseling dadakan itu berubah menjadi kelas origami dadakan. Yang paling mengharukan yang pernah aku ikuti.

***

Aku tiba lebih dulu di rumah. Setelah menaruh tas di kamar dan membersihkan diri, aku menyiapkan bahan-bahan untuk membuat puding coklat susu kesukaan Nisrina dan Mama. Belum menyala kompor di dapur, bunyi klakson mobil jemputan terdengar di depan pagar.

Aku berlari keluar.

Nisrina membuka sendiri pagar rumah. Belum sampai ke teras rumah dia berjalan, aku berlari menghampirinya. Benar, berlari seperti belum bertemu dengannya selama bertahun-tahun.

"Inaa!" aku memeluknya. Menangis.
"Bundaa!" Nisrina balas memelukku. "Bunda kenapa nangis?"

Ditanya kenapa, aku malah makin menangis. Hidup bersama Nisrina (dan juga ayahnya) selama 10 tahun ini seakan menjadi hidup paling hati-hati yang pernah aku jalani. Setiap detik lewat, rasanya seakan meniti kembali 10 tahun pertama hidupku. Apa yang seharusnya diberikan kepada anak agar tumbuh bahagia dan sempurna adalah hal yang selalu berusaha aku gapai sebisa-bisanya.

"Udah, bunda jangan nangis terus.. Nanti pohon jeruknya ikutan nangis juga." Nisrina menunjuk pohon jeruk kecil yang baru ditanam di halaman depan. Aku tertawa, pipiku diseka Nisrina.

"Yuk, masuk. Kita buat puding susu coklat sama-sama."
"Asiiik!"

***

Ketika dia pulang, dia tidak langsung menyapaku karena aku memang sedang tidur di kamar.

Tidak, aku sedang tidak tidur. Cuma pura-pura saja. Sampai Ina pulang, aku memandangi mereka berdua dari jendela kamar yang menghadap langsung ke halaman depan. Pemandangan yang membuat aku terhenyak, seakan momen melemparku ke dua puluh, dua puluh lima, tiga puluh tahun lalu.

Momen-momen yang menciptakan gejala self-harming cukup parah pada anakku. Tahunan penuh masa pemulihan yang dia lakukan sendiri. Tahunan penuh ketidaktahuan dan ketidakpedulianku. Aku cuma bisa bersyukur, bersyukur sejadi-jadinya karena dia adalah anak yang beruntung. Bahunya baja, jiwanya baja. Lihatlah, dia masih mau aku tinggal di rumahnya setelah semua yang aku lakukan padanya.

Aku membuka pintu kamar ketika mereka berdua hendak berjalan ke arah dapur. Ina sudah bersih, memakai baju rumah bergambar kelinci merah muda kesukaannya.

"Eh, Mama sudah bangun." ia menyapaku hangat, mengusap pipinya yang berkilauan. Aku tercekat, menangis detik itu juga.

"Loh, Eyang kenapa nangis juga?" Ina heran sendiri. Aku dan dia tertawa.

"Yuk, kita masak puding susu coklat sama-sama."

Comments

See also

Supermarket

Truth or Dare

Resep Tahu Gejrot Luezaaat