Lolos

Ingar bingar. Entahlah ada berapa puluh anak kecil yang berseliweran, loncat-loncat, menggiring mobil-mobilan, memanjat, berseluncur, atau menangis minta tinggal lebih lama. Di tengah lautan anak kecil itu tampak para orang tua, kakak, kakek, nenek, om, tante, atau pengasuh yang mendampingi, sambil mojok memandangi layar smartphone atau memandang pengin ke arah mainan-mainan seru.

Dan aku serta bapak yang duduk dekat balok-balok busa empuk, memandangi adik yang petakilan dengan bebas.

"Mbak sudah lolos dari maut." omongan bapak memecah keramaian. Aku bergidik, membayangkan seberapa tipis kesempatanku hidup malam itu. Peristiwa yang membuatku enggan menatap diri cermin dan segala yang sejenis, karena enggan melihat diri yang seakan-akan adalah 'produk gagal'.

Dan seberapa terlambat aku menyadarinya.

"Kemarin itu, Mbak sudah disentil sama Allah." bapak melanjutkan. "Besar kecil peristiwanya, pasti ada pesan yang dalam yang mau disampaikan Gusti Allah ke Mbak."

Adik mampir, memintaku 'mengisi bensin' mobil-mobilannya.

"Mbak tahu, kenapa ada yang lolos dari maut?" aku diam saja, menunggu kelanjutan dari bapak. Tapi kemudian suaraku sendiri terdengar bergema di sukma: karena aku masih banyak hutang..

Comments

See also

Supermarket

Truth or Dare

Resep Tahu Gejrot Luezaaat