Atlantis
"Cepat, cepat!"
Berlari setengah mengendap, kami menerobos tumpukan kontainer menuju keramaian. Ketika keramaian sudah tinggal beberapa meter lagi, kami segera banting arah menuju pinggiran yang bersentuhan langsung dengan laut. Bertali-tali pengaman kapal feri dikaitkan pada penyangga kokoh.
"Lewat sini."
"Serius kamu?"
"Iya, lah!"
Tepat sebelum bunyi BOONGG menggaung di langit senja, kami berpegangan erat pada tangga-tangga besi yang membantu mekanik dan ahli bersih kapal bekerja, di luar kapal.
Laut begitu tenang malam ini. Angin bertiup lembut-lembut, membuat permukaan air berkilauan terkena cahaya purnama. Bayangan kami terpantul rapi di cermin samudra.
Jadi, seperti ini rasanya?
Kapal tidak melambat, tapi Arneva sudah berseru kepadaku diantara gerung mesin. "Sebentar lagi kita berhenti."
"Berhenti?"
"Maksudku, loncat."
"Loncat??"
Arneva mengajakku pulang ke rumah atau pulang ke pangkuan Tuhan?
"Kamu mau tahu dimana tempatmu pulang, kan?" dia meraih tanganku, menyuruhku memandang mata birunya. "Percaya padaku. Kita loncat sama-sama. Semuanya akan baik-baik saja."
Sebelah tangan bergandengan, sebelah tangan berpegang ke tangga, siap-siap bertolak. Tiga, dua, satu.
Dinginnya samudra merembes ke seluruh paru-paruku. Tak lama setelah itu, kami semakin tenggelam dan aku merasakan perubahan yang di luar nalar: aku bernapas, seperti semua ikan yang ada di dunia, memutar air dalam rongga dada.
"Sudah bisa?"
"Bisa apa?"
"Bernapas."
"Sudah."
Apa tadi kami baru saja bercakap di dalam air?
"Kamu harus mempercayai ini." Arneva terkekeh sambil menggandeng tanganku lagi. Tangannya yang satu lagi menyentuh tato di dahi. Seketika, kami tersedot masuk dalam cahaya yang entah dari mana muncul, menyilaukan, menembus seluruh badan. Arneva terlihat berkilauan, begitu pula aku. Apakah kami akan jadi dewa-dewi lautan? Apakah kami akan hidup bersama selamanya setelah ini?
Delmara, jangan konyol.
Cahaya itu semakin meredup, laut kini terlihat biru kehijauan. Arneva menarik tanganku, lalu kami berenang ke permukaan. Pantai berpasir merah muda menyambut kami.
Aku memandangi Arneva dari jarak sekitar sedepa. Amboi, kalian tidak akan pernah menemukan lagi yang seperti dia. Matanya biru seperti laut di Papua, kharismanya menguar ke penjuru langit. Aku terpaku.
Arneva balas memandangiku, tertawa kecil. "Kenapa? Lihat dirimu, wajahmu sama merah mudanya dengan pasir pantai."
Aku tertawa, menepuk dahi, menendang pasir ke arah ombak. Delmara, jangan konyol.
"Kamu cantik sekali kalau seperti itu."
Sekarang aku tidak tahu matahari temaram terbit dari mana. Apakah darimu?
Kami berjalan ke dalam lebat pohon kelapa dan cemara pantai. Sebuah gerbang berwarna salem dan emas menyambut kami. Di dalamnya, amboi, apa yang kulihat sungguh di luar nalar sekarang. Sebuah peradaban megah di dimensi yang berbeda.
"Selamat datang di Atlantis, rumahmu."
Ditulis sebagai bentuk partisipasi dalam 30 Hari Bercerita tahun 2019. #30HariBercerita #30HBC1902
Comments