Jujur
Lagi, sukma harus kehilangan ikatan tak kasat mata tapi lebih kuat dari akar beringin yang memeluk tanah dan bebatuan. Tidak tersurat, bermaterai, tapi dendanya harus ditanggung seumur hidup, seberat jiwa raga: kepercayaan.
Berulang sukma coba uraikan, apa yang membuat semua orang menjauh ketika raga berusaha menjalin rasa percaya? Apakah men'demi'kan membahagiakan orang lain sudah merupakan usaha paling keras?
Raga kini cuma bisa memandang laut, menunggunya berbicara. Biru langit yang tidak bercampur dengan biru samudra, garis-garis ombak yang menggurat pola alam pada pasir, sukma berusaha keras mencerna pesan yang akan selalu disampaikan panorama ini tanpa diminta.
Ah, itu dia. Kejujuran.
Berapa besar yang sudah ditutup-tutupi untuk menjalin rasa percaya, dengan dalih mengurangi rasa kecewa? Berapa besar yang harus ditanggung sukma, disembunyikan raga? Beban rahasia menggumpal, memberi ganjal yang meresahkan. Membentuk labirin yang menyulitkan orang lain untuk lebih memahami. Alih-alih percaya, malah jadi curiga.
Pernahkah ombak berusaha tidak kencang menghempas supaya pantai tidak kesakitan? Pernahkah samudra berusaha tidak bergejolak supaya ombak tidak perlu menghempas terlalu kencang? Pernahkah angin berusaha tidak keras menghembus supaya samudra tidak perlu bergejolak?
Pernahkah terpikir bahwa alam terbentuk dari kejujuran dan rasa percaya?
Kini sukma raga terpaku ke arah horizon, tapi menggemakan pertanyaan ke setiap benda dan jiwa lainnya. "Apa kamu percaya padaku?"
Ditulis sebagai bentuk partisipasi dalam 30 Hari Bercerita tahun 2019. #30HariBercerita #30HBC1901
Ditulis sebagai bentuk partisipasi dalam 30 Hari Bercerita tahun 2019. #30HariBercerita #30HBC1901
Comments