Bincang Malam

 "Ada yang udah 21 tahun tapi merasa masih anak-anak." sahut Papa. Bukannya merasa tersinggung, Adek malah mendukung penuh statement Bapak. "Bener, Pa. Rasanya masih childish padahal udah tua gini."

"Memangnya menurut Mbak dan Adek, definisi dewasa itu seperti apa?"

Aku memandang kimlo yang tinggal separuh, memutar-mutar sendok. "Mandiri finansial. Orang yang sudah mikirin tagihan listrik, bayar cicilan, belanja sendiri. Bertanggungjawab penuh atas dirinya sendiri. Kaitannya sama uang, sih. Mungkin karena selama ini kita hidup dalam privilege, nggak usah risau soal kebutuhan primer yang perlu dibayar, jadi melihat orang-orang yang kayak gitu kesannya dewasa."

Adek menyetujui, mengangguk penuh semangat. "Makanya sekarang rasanya masih kayak bocah."

"Gini ya, dewasa itu bukan cuma soal finansial. Dewasa itu adil. Adil disini adalah menempatkan diri dengan baik sesuai dengan perannya. Misal sekarang lagi jadi anak, ya bersikaplah sebagai anak yang baik. Kalau anak kecil sudah bisa menempatkan dirinya, itu sudah dewasa."

Jawaban itu rasanya memang tepat, hanya klise. Aku tidak sepenuhnya membenarkan 'adil' sebagai vibe utama dari seorang dewasa.

Percakapan terus berlanjut di meja makan antara Papa dan Adek, keduanya saling melemparkan contoh-contoh orang terdekat yang dianggap 'dewasa' (lebih tepatnya cuma Adek saja). Aku mengosongkan mangkok, acuh pada keadaan, buram karena otak yang berisik. Seakan-akan dalam otak ada konferensi besar antar fraksi-fraksi. Fraksi satu bilang Papa benar soal sikap, fraksi dua kontra Papa, fraksi tiga menyalahkan keadaan yang menjadikan aku seperti ini, dan fraksi-fraksi lainnya. Riuh.

Comments

See also

Supermarket

Truth or Dare

Resep Tahu Gejrot Luezaaat