Memaknai Kehilangan

"Kau sedang sela, Nak?"
"Iya, Pakde."
Hatsyi!
Memang sudah hampir setahun ini aku belum membuka tudung penutup grand piano buatan tahun 1960-an itu. Pernah, waktu itu sebulan yang lalu ketika aku sedang ada waktu luang di antara deadline pekerjaan kantor yang menumpuk dan aku begitu stres.
Krieeet. Bunyi engsel penutup piano yang haus oli, berbarengan dengan isak pelan seorang anak yang haus kasih sayang..
Tidak jadi. Aku tidak akan terus-terusan terlarut dalam kesedihan, kenangan, dan memorial tentang Ibu. Kata Ibu, ..
Tidak, tidak. Tidak boleh menangis lagi, Sophie.
*****
Bagaikan sebagian puing hati yang dicabut, meninggalkan luka menganga, adalah kehilangan seseorang yang begitu berarti dalam hidup. Luka menganga selalu menimbulkan perih dan darah, dalam dan membuat menderita. Tidak serasa sempurna matahari maupun purnama, yang ada cuma gerhana.
Aku mendengus gusar.
Mengobati luka? Meneteskan antiseptik sedikit saja susah merintih. Sama seperti mengenang beliau. Walaupun sedikit, tapi mencungkil sakit yang berusaha dipendam sejak lama. Mengenang matanya, hidungnya, mulutnya yang melengkung tersenyum bijak sekali, suaranya, denting lagu "Kasih Ibu" yang kami nyanyikan bersama. Aku tidak mau perih, aku tidak ingin kesakitan. Tapi sama saja seperti membiarkan luka itu terus menganga dan menjadi lebih parah.
Apakah harus kembali menyelam ke dalam palung memori untuk membuka kembali time capsule berisi seluruh kenangan tentang Ibu dan bintang-bintang kejora yang telah ia tebarkan? Kehilangan orang-orang yang begitu berarti dalam hidup seakan membuat menjadi begitu lemah, tak ada tempat untuk berpegang, menuangkan susah dan gundah. Luka-luka mendesiskan perih. Namun lama kelamaan luka itu pasti akan tertutup dan sembuh. Memang tidak akan tertutup sempurna. Tidak ada yang sempurna di dunia ini, termasuk rasa kehilangan dan kebijaksanaan untuk mengontrol rasa kehilangan itu. Namun hal tersebut menunjukkan bahwa kita adalah yang terhebat dalam menyayangi orang-orang yang telah mencatat epilog dalam hidup mereka, berusaha selalu bersama mereka meskipun rasanya begitu hampa. Berusaha selalu memelihara mereka dalam kenangan manis.
Aku tersenyum senang. Aku akan menunjukkan kepada Ibu bahwa aku adalah yang akan selalu ada untuknya, menjadi yang selalu mencintainya walau dalam kenangan
*****
Aku mengelap pusaka berwarna coklat klasik itu dengan hati-hati. Kemudian, aku menjajarkan empat lembar partitur berwarna gading pada penyangganya.
Kali ini Clair de Lune, salah satu kesukaan Ibu. Seperti yang selalu beliau ungkapkan, klasik akan selalu menjadi yang terbaik.

Comments

See also

Supermarket

Truth or Dare

Resep Tahu Gejrot Luezaaat