Zasya: Side Story (1)

      Pandu mempercepat langkahnya. Koridor besar sekolah nampak redup, rimbun tertutup atap-atap bangunan pepat. Dan kosong--hanya beberapa anak berseliweran berbagai tujuan.
      Huft, orang-orang ternyata tidak suka tepat waktu. Pandu bersandar di undakan rendah. Tasnya berat sekali hari ini, seperti mau camping saja. Ingatan Pandu melayang ke selimut tipis kabut Bromo, seikat edelweis, kerak lumpur setebal setengah inci di alas ceko, dan senyuman Vanessa.
      Oh, dan syal biru muda. Seharusnya syal itu yang menjadi tokoh utama, bukan Vanessa.
      Pandu mengerjap sekali, mengubur kembali Vanessa ke dalam lapis-lapis pemakaman memorinya. TIdak diberi tanda, tidak ditabur bunga. Tempat kuburan itu gersang setelah Vanessa membuat Pandu begitu gersang.
      Pandu menatap lurus. Di telinganya, suara detak sepatu itu begitu familiar.
      Zasya.
      "Kak Pandu." sapanya riang, mengambil tempat di sampingnya.
      "Zasya." Pandu berusah amemantulkan senyum paling manis itu. "makasih."
      "Makasih untuk apa?"
      "Makasih udah mau senyum buat aku. Untuk warna-warna yang udah kamu tebar di jalan setapakku. Aku janji, jalannya akan diperlebar. Jadi, nanti kita bisa jalan bersisian."
      Zasya tersipu begitu dalam. Ia tertawa lagi, kali ini pipinya merah sekali. Sekejap kemudian, ia tercenung. Gundah.
      "Kenapa?" tanya Pandu.
      "Ada yang memanggilmu dari tadi, kenapa diam saja?"


      "Kapan mulai rapatnya? Yang lain pada kemana?"
      "Oh.." tadi dia melamun ternyata.

Comments

See also

Supermarket

Truth or Dare

Resep Tahu Gejrot Luezaaat