Zasya: Side Story (2)
Akhir tahun, 4 bulan yang berat akan segera dijalani sebelum aku menjejakkan kaki di universitas. Waktu sepertinya sedang senang lari maraton.
Aku mematut diri. Jarang-jarang aku mengenakan blus floral dan rok warna pastel gelap selutut seperti sekarang. Sepatunya aku pikirkan nanti. Kepang yang baru aku pelajari tadi nampak sangat cocok. Sangat.. manis.
Tidak. Aku mengurainya kembali. Aduh, aku kenapa sih? Bertemu sekitar 20 orang kan tidak bisa disamakan dengan wawancara kerja. Siapa yang akan menilai kepribadian dari jenis pakaian yang dikenakan dan jenis tata rambut yang digunakan? Bertemu sekitar 20 orang kan.. tidak bisa disamakan dengan bertemu satu orang secara subjektif. Jantungku serasa di-dribble menyeberangi lapangan basket, dari ring satu ke ring lainnya.
Sudah, sudah.
Mengecek pagar melalui jendela rumah. Aku yakin Kak Pandu berbohong soal mengantarku ke restoran tempat reuni SMP-ku. Baru masuk gerbang komplek saja mungkin Ibu sudah akan tahu koordinat keberadaannya, jadi mungkin saja ninja-nya akan dijungkirbalikkan atau yang lebih parah lagi: diloak.
Aku tersenyum sendiri. Pakai bedak jangan?
"Jadi berangkat tidak? Katanya acaranya jam 10? Udah kurang lima belas menit." Pak Ajo.
"Iya pak, sebentar lagi!"
"Eh, si artis.. Ups!" colek Mutia. Dulu aku sering disebut 'artis', karena si kapten basket yang sudah aku buang jauh-jauh membuat nama Zasya Narendra naik daun di sekolah. Populer, aku sebenarnya tidak suka jadi populer. Aku tertawa lepas, mengatakan kalau joke seperti itu diperbolehkan di dalam reuni ini menurutku, tidak tahu kalau menurut dia.
Omong-omong soal Andri, aku beneran sangat ingin bertemu dengannya. For nothing important, sesuatu yang mendesakku untuk berbicara lagi dengannya setelah setahun tidak pernah berkata apapun. Cuma tertawa di gerbang belakang sekolah dan lari.
Ah, itu dia. Di meja agak pojok, bersama beberapa teman dekatnya sedang mengobrol ringan dan beberapa teguk jus. "Andri!"
Gegabah sekali, ya.
Mereka langsung diam kebingungan, Andri gelagapan tapi diam saja.
"Oke, oke.." tanpa persetujuan, semua teman Andri meninggalkan meja, memberikan ruang. Untuk apa? Aku kan cuma ingin mengobrol dengan mereka, bukan Andri saja.
"Apa kabar? Nggak kedengeran setahun."
Tidak apa-apa kan? Ada yang salah?
Aku mematut diri. Jarang-jarang aku mengenakan blus floral dan rok warna pastel gelap selutut seperti sekarang. Sepatunya aku pikirkan nanti. Kepang yang baru aku pelajari tadi nampak sangat cocok. Sangat.. manis.
Tidak. Aku mengurainya kembali. Aduh, aku kenapa sih? Bertemu sekitar 20 orang kan tidak bisa disamakan dengan wawancara kerja. Siapa yang akan menilai kepribadian dari jenis pakaian yang dikenakan dan jenis tata rambut yang digunakan? Bertemu sekitar 20 orang kan.. tidak bisa disamakan dengan bertemu satu orang secara subjektif. Jantungku serasa di-dribble menyeberangi lapangan basket, dari ring satu ke ring lainnya.
Sudah, sudah.
Mengecek pagar melalui jendela rumah. Aku yakin Kak Pandu berbohong soal mengantarku ke restoran tempat reuni SMP-ku. Baru masuk gerbang komplek saja mungkin Ibu sudah akan tahu koordinat keberadaannya, jadi mungkin saja ninja-nya akan dijungkirbalikkan atau yang lebih parah lagi: diloak.
Aku tersenyum sendiri. Pakai bedak jangan?
"Jadi berangkat tidak? Katanya acaranya jam 10? Udah kurang lima belas menit." Pak Ajo.
"Iya pak, sebentar lagi!"
*****
"ZASYA!!!!" aduh, geng. Aku kangen sekali pada mereka semua. Tidak terlalu banyak yang berubah dari mereka, hanya aura-aura kedewasaan dari mereka semakin menguat berhubung sebentar lagi jadi mahasiswa."Eh, si artis.. Ups!" colek Mutia. Dulu aku sering disebut 'artis', karena si kapten basket yang sudah aku buang jauh-jauh membuat nama Zasya Narendra naik daun di sekolah. Populer, aku sebenarnya tidak suka jadi populer. Aku tertawa lepas, mengatakan kalau joke seperti itu diperbolehkan di dalam reuni ini menurutku, tidak tahu kalau menurut dia.
Omong-omong soal Andri, aku beneran sangat ingin bertemu dengannya. For nothing important, sesuatu yang mendesakku untuk berbicara lagi dengannya setelah setahun tidak pernah berkata apapun. Cuma tertawa di gerbang belakang sekolah dan lari.
Ah, itu dia. Di meja agak pojok, bersama beberapa teman dekatnya sedang mengobrol ringan dan beberapa teguk jus. "Andri!"
Gegabah sekali, ya.
Mereka langsung diam kebingungan, Andri gelagapan tapi diam saja.
"Oke, oke.." tanpa persetujuan, semua teman Andri meninggalkan meja, memberikan ruang. Untuk apa? Aku kan cuma ingin mengobrol dengan mereka, bukan Andri saja.
"Apa kabar? Nggak kedengeran setahun."
Tidak apa-apa kan? Ada yang salah?
Comments