Pulang
Kami bersahabat satu SD dan satu kampung. Rumah kami berdekatan dan kami selalu pulang-pergi bersama. Yang membedakan, teman-temanku lebih suka naik ojeg yang memudahkan nanjak ke rumah kami di kampung lereng gunung, sedangkan aku jalan kaki. Ya, teman-temanku memang selalu lebih berada. Kalau sekali naik ojeg saat pulang sekolah lima ribu rupiah dan jajan tujuh ribu rupiah sehari, sebulan uang yang mereka pakai sudah dua-ratus-empat-puluh-ribu rupiah. Ibuk saja sudah mendelik mendengar kata seratus ribu rupiah, seakan bisa beli rumah dengan uang segitu.
Meskipun kami selalu main bersama, ada kalanya mereka menyinggung status kekayaan bapakku.
"Eh, bapak kamu sudah punya uang buat ganti sepatu?"
"Kamu puasa lagi hari ini?"
"Awalnya kita mau ajak kamu main hujan-hujanan pulang sekolah, tapi kayaknya kamu sebaiknya pulang aja. Nanti kalau kamu sakit, siapa yang bayar dokternya?"
"Kemarin aku naik ojeg, muka tukang ojegnya mirip sama kamu! Bapak kamu sekarang jadi tukang ojeg?"
Aku bersyukur masih ada yang temanan denganku.
Suatu hari aku merasa meriang. Ibuk sudah menyuruhku istirahat, tapi aku pikir siang nanti aku akan sehat lagi. Aku memutuskan untuk tetap sekolah. Siang hari saat bel pulang sekolah berbunyi, aku memang sudah merasa baikan, tapi tidak dengan pemandangan yang biasa aku lihat setiap hari: melihat teman-temanku sudah memanggil tukang ojeg yang akan membawa mereka nanjak tiga-empat kilometer ke kampung. Aku menghela napas dan mengumpulkan tenaga, memberi sugesti kepada perut supaya tidak keroncongan sebelum sampai depan pintu rumah. Seketika itu juga, sebuah motor menghampiriku.
"Wah, tumben kamu naik ojeg! Pegangan yang erat, barangkali kamu jatuh!" sahut salah satu temanku sambil berlalu dengan ojegnya.
Aku mengenalinya bahkan tanpa tukang ojek itu harus membuka kaca helm. Tapi aku berusaha tetap tenang supaya teman-teman tidak tahu kalau itu bapak. Bahkan saat aku naik ke motor bapak, aku tidak tahu nanti harus bayar dengan apa supaya tidak terlihat seperti diantar bapak pulang.
Bapak tahu-tahu menyodorkan selembar uang lima ribu rupiah kepadaku, tangannya terlihat muncul dari pinggangnya. "Ini, pakai uang bapak dulu." Kami pun berangkat.
Sebenarnya, jalan menuju kampung sangat menyenangkan bila dilalui dengan jalan kaki, tetapi ojeg menghemat waktu dengan amat sangat. Walaupun ojeg bapak melaju cepat, sedikit beriringan dengan ojeg yang ditumpangi teman-teman, pemandangan tetap menyejukkan. Nampak gagah barisan pohon hutan yang meskipun dibelah jalan aspal, tetapi dahan-dahan dan dedaunan dari tiap sisi jalan menyeberang ke sisi lainnya, berangkulan, membentuk tajuk tipis yang menyaring sinar matahari panas menjadi pilar-pilar tipis cahaya yang lembut. Tidak ada hawa panas lagi, yang ada malah angin yang cukup dingin. Sayang sekali, kalau aku merentangkan tangan untuk menikmati semua ini, aku akan terjatuh dari motor.
Sepuluh menit berlalu dengan cepat hingga akhirnya rumah-rumah kami terlihat. Ojeg-ojeg berhenti berurutan, menurunkan penumpangnya. Aku turun tepat di depan halaman rumah panggung pemberian kakekku sebelum beliau meninggal sepuluh tahun silam, rumah panggung sederhana dibandingkan rumah-rumah yang ada di sekitar. Teman-teman yang melihatku dari rumah-rumah sebelah tidak berkomentar apa-apa. Aku memberikan uang lima ribu rupiah itu kepada bapak, lebih tepatnya mengembalikan, dan mengucapkan terima kasih. Motor bapak berlalu, mengejar kembali rezeki yang bertebaran di pinggir jalan.
Meskipun kami selalu main bersama, ada kalanya mereka menyinggung status kekayaan bapakku.
"Eh, bapak kamu sudah punya uang buat ganti sepatu?"
"Kamu puasa lagi hari ini?"
"Awalnya kita mau ajak kamu main hujan-hujanan pulang sekolah, tapi kayaknya kamu sebaiknya pulang aja. Nanti kalau kamu sakit, siapa yang bayar dokternya?"
"Kemarin aku naik ojeg, muka tukang ojegnya mirip sama kamu! Bapak kamu sekarang jadi tukang ojeg?"
Aku bersyukur masih ada yang temanan denganku.
Suatu hari aku merasa meriang. Ibuk sudah menyuruhku istirahat, tapi aku pikir siang nanti aku akan sehat lagi. Aku memutuskan untuk tetap sekolah. Siang hari saat bel pulang sekolah berbunyi, aku memang sudah merasa baikan, tapi tidak dengan pemandangan yang biasa aku lihat setiap hari: melihat teman-temanku sudah memanggil tukang ojeg yang akan membawa mereka nanjak tiga-empat kilometer ke kampung. Aku menghela napas dan mengumpulkan tenaga, memberi sugesti kepada perut supaya tidak keroncongan sebelum sampai depan pintu rumah. Seketika itu juga, sebuah motor menghampiriku.
"Wah, tumben kamu naik ojeg! Pegangan yang erat, barangkali kamu jatuh!" sahut salah satu temanku sambil berlalu dengan ojegnya.
Aku mengenalinya bahkan tanpa tukang ojek itu harus membuka kaca helm. Tapi aku berusaha tetap tenang supaya teman-teman tidak tahu kalau itu bapak. Bahkan saat aku naik ke motor bapak, aku tidak tahu nanti harus bayar dengan apa supaya tidak terlihat seperti diantar bapak pulang.
Bapak tahu-tahu menyodorkan selembar uang lima ribu rupiah kepadaku, tangannya terlihat muncul dari pinggangnya. "Ini, pakai uang bapak dulu." Kami pun berangkat.
Sebenarnya, jalan menuju kampung sangat menyenangkan bila dilalui dengan jalan kaki, tetapi ojeg menghemat waktu dengan amat sangat. Walaupun ojeg bapak melaju cepat, sedikit beriringan dengan ojeg yang ditumpangi teman-teman, pemandangan tetap menyejukkan. Nampak gagah barisan pohon hutan yang meskipun dibelah jalan aspal, tetapi dahan-dahan dan dedaunan dari tiap sisi jalan menyeberang ke sisi lainnya, berangkulan, membentuk tajuk tipis yang menyaring sinar matahari panas menjadi pilar-pilar tipis cahaya yang lembut. Tidak ada hawa panas lagi, yang ada malah angin yang cukup dingin. Sayang sekali, kalau aku merentangkan tangan untuk menikmati semua ini, aku akan terjatuh dari motor.
Sepuluh menit berlalu dengan cepat hingga akhirnya rumah-rumah kami terlihat. Ojeg-ojeg berhenti berurutan, menurunkan penumpangnya. Aku turun tepat di depan halaman rumah panggung pemberian kakekku sebelum beliau meninggal sepuluh tahun silam, rumah panggung sederhana dibandingkan rumah-rumah yang ada di sekitar. Teman-teman yang melihatku dari rumah-rumah sebelah tidak berkomentar apa-apa. Aku memberikan uang lima ribu rupiah itu kepada bapak, lebih tepatnya mengembalikan, dan mengucapkan terima kasih. Motor bapak berlalu, mengejar kembali rezeki yang bertebaran di pinggir jalan.
Comments