Sebentar

Lo tau di Bandung ada hutan dari kaki gunung sampai ujung gunung? Beneran, itu masih ada! Gue sendiri sekarang lagi naik motor ke rumah temen gue deket Tangkuban Perahu. Halo? Udah konek? Sekarang 2075, Jabodetabek udah jadi laut, makanya gue sekeluarga pindah ke Bandung.

***

Deru mesin motor sport Arkan membelah hening jalan menuju Tangkuban Perahu yang dirimbuni pinus. Sesekali tubuhnya harus menahan ngilu tusukan angin malam bersuhu sekitar 16°C. Namun pada akhirnya tubuhnya tak mampu lagi. Arkan memarkirkan motornya di pinggir jalan.
Gue harus kencing.
Arkan menelisik di antara pohon-pohon, mencari calon 'toilet'nya. Memang tergolong buang air kecil sembarangan, tapi yang namanya alam kembali ke alam tidak akan meninggalkan jejak yang membuat tidak nyaman lingkungan sekitar. Belum membongkar sabuknya, Arkan menangkap suara gemerisik yang dibuat manusia dan suara manusia. Suara itu teredam. Arkan tidak percaya hal-hal gaib macam makhluk halus, lagi pula sekarang mitos-mitos mistis sudah menipis popularitasnya.
Satu meter, dua meter, tiga meter. Rambut tengkuk Arkan meremang menemukan seorang gadis dililiti tali tambang dari selangka hingga pinggangnya, mulutnya disumpal kain dan diikat oleh kain lainnya, rambut panjangnya tergerai berceceran, dan tidak menangis.
Sial, kebelet gue langsung ilang.

***

"Makasih." kata pertama yang terucap gadis itu meluncur seperti kepul uap minuman hangat.
"Orang yang nyekap saya lagi pergi, nggak lama lagi dia bakal balik lagi."
Krik, krik, krik.
"Woy."
Buyar, buyar, buyar lamunan Arkan. "Eh, maaf! Gu, aku bawa pisau lipat. Sebentar." Arkan bingung sendiri mendengar kata 'aku' keluar dari mulutnya. Dengan cekatan ia membuka satu per satu ikatan di tubuh gadis itu. Di tengah temaram malam ia bisa melihat pakaian gadis itu, rok terusan sebetis lecek dan berwarna merah muda kusam. Dia juga memakai jaket yang terlihat cukup tebal dan hangat.
Sial.
"Ayo, cepat." Arkan hendak menggaet tangan gadis itu, tapi berakhir menarik ujung jaket yang menjuntai melebihi panjang tangan. Mereka segera menerobos hutan pinus menuju motor Arkan sembari berwaspada terhadap suara apapun yang mencurigakan.
"Nih, pakai helmku." Arkan mengoper helmnya.
"Kamu pakai apa dong?"
"Ada helm satu lagi." Arkan mengeluarkan boks metal seukuran empat kali boks korek api dari tas pinggangnya. Satu tombol ditekan, boks itu langsung merakit dirinya menjadi sebuah helm. "Helm portable, masih diproduksi terbatas di Indonesia. Katakanlah ini masih prototype-nya."
Gadis itu menatap dengan heran sekaligus kagum. "Saya kelamaan di desa, sepertinya."
Mereka berdua tertawa, lalu menaiki motor. Detik kemudian motor sport itu langsung melesat menjauhi Tangkuban Perahu, menuju kota.
"Maaf, rumah saya naik."
Arkan menepuk helmnya. Motor gagahnya putar balik dengan konyol.

***

Detik terasa menit dilindas motor menanjak, kelok, elok.
"Masih jauh?"
"Sebentar lagi."
"Ada jalan yang lebih memutar?"
"Hey, ini kan jalan nanjak ke gunung. Cuma ada satu. Kenapa?"
"Perjalanan ini kurang lama."
Hening.
"Halo?"
"Maaf, saya ngantuk." suara desir angin semakin jelas ketika gadis itu melepas helmnya. Mengancingkan tali pengamannya, lalu menggelangkannya di lengan. Hoodie dirapatkan hingga mengerudungi seluruh rambutnya. "Numpang, ya."
Milidetik terasa menit ketika ubun-ubun gadis itu menyentuh punggung Arkan. Radiasi itu. Detak jantung gadis itu serasa tertransfer ke seluruh syaraf Arkan. Terserah kalau gadis itu tinggal di kawah Tangkuban Perahu, atau bahkan di Gunung Putri, atau bahkan lebih jauh lagi. Tidak apa kalau tidak sampai-sampai ke rumahnya.

***

Radiasi itu putus.
"Kamu," setengah berteriak ke telinga Arkan, "disini aja."
Motor Arkan ngerem, bingung. Gadis itu segera meloncat turun dan menyerahkan helmnya.
"Beneran? Terus kamu mau lewat mana?"
"Lewat tebing ini. Jalannya sempit, jelek, tidak bisa lewat motor kamu."
"Aku antar."
Hening sebentar. "Terus motornya ditinggal dong?"
"Masa bodo. Ayo." Arkan menarik ujung jaket gadis itu lagi. Untung saja, kali ini Arkan tidak salah jalan lagi.

***

"Makasih, ini rumah saya."
Mereka berdua berakhir di ujung jalan setapak membelah kecil hutan pinus, dimana sebuah pagar rendah membatasi sebuah rumah hangat dengan dunia luar. Rumah itu nampak berbinar meskipun hanya disinari beberapa lampu petromaks. Sejumlah kawan kunang-kunang melintas, hinggap di pagar kayu.
Sinar bulan melapisi gadis itu dengan kemilau. Seluruh udara berdenyut, seakan diberikan nyawa oleh kemilau yang terpancar dari matanya, tulang pipinya, bibirnya, semu merah di pipinya.
"Aku yang makasih."
"Makasih buat apa?"
"Dikasih kesempatan buat kesini."
Gadis itu tertawa sedikit, tersungging. "Semua orang boleh ke hutan ini."
Arkan ikut-ikutan tersungging. "Mungkin ini kedengaran bodoh, tapi cuma butuh sebentar aja, gue udah mati kutu. Stuck. Terjebak di mata kamu. Sebegitu mudah, sesebentar itu, gue suka sama lo."
Gadis itu nampak terkejut di matanya, lalu segera mencair. "Nggak. Maaf kalau saya cuma bisa percaya apa yang kamu bilang di saat ini aja, karena semua rasa itu cuma sebentar. Saya cuma secangkir teh hangat di lereng Tangkuban Perahu. Cepat dingin. Cepat berlalu."
Jangkrik mengkerik, entah tertawa, entah menanti puisi dari dua orang yang berdiri.
"Tapi adalah kewajiban bagi kita untuk menghargai setiap momen yang terjadi. Hikmat di setiap detik, sebelum momen itu berakhir. Dan sebelum berakhir, semoga aku bisa membingkai momen ini jadi satu paket memori yang baik," gadis itu menatap lurus, kuat namun tidak menusuk, lalu menempatkan punggung jemari tangan kanannya di pipi laki-laki yang baru ia kenal satu jam yang lalu itu. "..Arkan."
"Sabrina," Arkan tercekat. ".. mawar putih."
Arkan butuh waktu untuk mencerna momen yang menerpanya. Barusan ada gadis yang melakukan telepati dengannya dan menebak namanya dengan sekali sentuhan. Namanya Sabrina, dan wajahnya melempar Arkan ke suatu memori acak yang entah diletakkan di otak sebelah mana, Arkan juga masih mencari.
Semenit kemudian mereka cuma berdiri, diam, membiarkan seluruh hutan membingkai momen itu.
"Saya harus ke dalam, sudah terlalu larut. Kamu juga, cepat pulang." Sabrina akhirnya menghentikan kebisuan.
"Aku bakal kesini lagi besok, besoknya, dan besoknya lagi."
"Kamu nggak bakal ketemu saya lagi."
"Kalau begitu, kamu nggak boleh kemana-mana. Satu sentipun dari rumah, tidak boleh."
"Baru satu jam sudah perintah-perintah?" Sabrina tersungging lagi. "Beneran, hanya sekarang kamu bisa ketemu saya."
"Besok mau kemana, sih? Ke kahyangan?"
"Benar."
"Jangan bercanda."
"Malam, Ark."
Sabrina memunggungi Arkan, membuka pagar. "Terima kasih sudah suka sama saya, saat ini. Saya mengharapkannya."

***

Arkan membongkar rak buku di kamarnya, tapi buku satu itu belum ketemu juga. Hingga siku kirinya menyenggol sebuah tumpukan buku dan membuyarkannya.
Oh, iya. Jangan dicari. Buku itu bakal muncul.
Benar saja, ternyata buku itu betengger di atas lemari bajunya. Buku catatan tipis yang dititipkan neneknya sebelum meninggal, warisan untuk cucu satu-satunya. Dulu Arkan masih berumur 10 tahun ketika neneknya bilang, "Buku ini buku rahasia. Jangan dibuka sampai kamu tahu kalau buku ini harus dibuka."
Arkan membuka buku itu untuk pertama kalinya setelah 9 tahun. Nampak tulisan tangan neneknya menceritakan kejadian-kejadian di masa remajanya, hari pernikahannya, dan beberapa momen berbahagia lainnya. Di lembar terakhir buku itu, latar bergaris-garis ditimpa dengan selembar kertas hitam. Catatan itu seakan diberi judul sebuah gambar yang digoreskan dengan tinta putih.
Mawar putih.
Sontak Arkan merasakan kembali suara kepul minuman hangat, kemilau, dan radiasi Sabrina.
Mawar putih artinya lembut, murni, jernih.
Dan seperti itulah cintaku padamu, mawar putih.
Mawar putih bilang cinta ini cuma sebentar.
Sebentar datang, sebentar dilupakan.
Sebentar disesali,
Dan sebentar kemudian aku menyadari, bahwa
mawar putih berkata benar,
karena aku sudah meninggalkan dia malam itu
Oh, mawar putih!
Tolong anggaplah bahwa semalam aku sedang menitipkanmu ke kahyangan!
Maka kalau engkau sudah kembali ke sini,
jadilah bidadari untukku selamanya

***

Arkan memacu motornya secepat mungkin siang itu. Jalan menuju Tangkuban Perahu nampak tentram diiringi beberapa kendaraan yang lalu lalang. Arkan tidak peduli. Setelah memarkirkan motornya, ia segera mengikuti jalan setapak yang dilaluinya semalam. Dan di ujung jalan setapak itu, rumah Sabrina nampak lengang. Lampu petromaks seperti ditinggalkan menyala, Pagar membuka.
Arkan masuk dan mengetuk pintu.
Tidak ada jawaban, pun hingga lima menit Arkan mengetuk pintu dan memanggil Sabrina. Sabrina benar-benar tidak akan bertemu dengannya lagi.
Arkan menjedukkan ubun-ubunnya ke pintu.
"Sabrina, karena kamu adalah bidadari, jadilah bidadari untukku selamanya.."

Comments

See also

Supermarket

Truth or Dare

Resep Tahu Gejrot Luezaaat