Pesimisme atau Objektivitas?

Aku rebah di gelaran karpet sajadah empuk. Pemandangan kini terpampang jelas, sebuah ornamen langit-langit masjid luar biasa detail yang dipasang secara beautifully impossible. Bagaimama mungkin kemiringan itu? Material itu? Estetika itu?
Seorang arsitek, ahli konstruksi, ahli material, dan atau mungkin pekerja seni terbaik pastilah turun tangan dalam penyelesaian ornamen itu. Apakah mereka berpikir untuk memulainya? Memulai untuk menjadi luar biasa?
Apakah arsitek menginginkan dirinya menjadi arsitek? Memilih takdirnya? Ah, dia pasti pintar sekali. Pasti dia lulusan sekolah terbaik. Dan apakah ahli konstruksi, ahli material, dan pekerja seni juga memilih takdirnya? Sungguh luar biasa inteligensi dalam satu karya ornamen masjid ini.
Aku tenggelam di gelaran karpet sajadah empuk, tenggelam dalam analisis. Layaknya sebuah desktop Windows 8, aku mengimajinasikan hologram panel-panel bermacam cahaya itu melayang sejarak pandang. Bertuliskan nama-nama masa depan. Aku menggeser panel-panel yang sangat banyak itu, melihat paparan dari masing-masing panel. Panel-panel itu seakan menyuruhku memilih salah satu di antara mereka. Aku hendak meraih sebuah panel dengan sinar paling terang. Sesaat kemudian, aku menarik tangan menjauh. Ragu.
Sinar yang terlalu terang, apakah aku bisa bertanggung  jawab atas seluruh sinar itu? Aku merasa tidak mampu, atau aku merasa kemampuanku hanya cukup untuk... itu. Panel itu tidak terang, tidak redup, tapi cukup temaram lampu tidur. Sesaat kemudian, aku menarik tangan menjauh. Ragu.
Apa yang terjadi? Apakah ini sebuah pesimisme? Atau sebuah objektivitas? Panel-panel ini seakan menguji kemampuanku untuk memahami kemampuanku.
Aku menarik diri dari imajinasi, duduk kembali di karpet sajadah masjid. Menelusuri lembutnya karpet dengan jari, mengikuti garis-garis pola yang tercetak. Yang tadi itu benar-benar merepresentasikan seseorang atau banyak orang di dunia ini, termasuk aku juga. Terombang-ambing dalam memilih masa depan, apakah yang terbaik itu sesuai dengan kemampuan atau tidak. Terjebak bahkan hanya dalam mendefinisikan apakah sikap itu merupakan bentuk kepiawaian dalam mengukur kemampuan, atau upaya menjatuhkan dan meragukan diri sendiri.
Lantas kenapa? Aku mengimajinasikan lagi panel-panel itu, berusaha memahami bahwa setiap panel punya risiko. Panel terbercahaya letaknya begitu tinggi, bisa jadi bunuh diri terjatuh bahkan sesaat sebelum panel itu tersentuh apabila aku memang tidak mampu. Panel tergelap begitu nyata di hadapan telapak tangan, bahkan dapat tersentuh tanpa berusaha, namun panel itu tak berguna, gelap hitam tanpa menggambarkan wibawa elegan.
Tapi, apakah dunia ini hanya hitam dan putih? Terang dan gelap? Terbaik dan terburuk? Tidak ada hitam dan putih apabila tidak ada warna-warna yang menyokong jarak di antara mereka. Tidak ada terang dan gelap apabila tidak ada proses sepersekian detik gradasi intensitas cahaya di antara mereka. Tidak ada terbaik dan terburuk apabila tidak ada kaum "menengah" yang menyokong tolak ukur di antara mereka.
Dan setiap manusia memiliki satu-satu panel masa depan itu beserta porsi cahayanya masing-masing. Hanya saja, beberapa orang menolak porsinya, menginginkan yang terbaik dan menyisihkan yang lainnya sebagai yang terburuk.
Di antara panel-panel itu, aku mencoba naik hingga sampai di suatu titik dimana aku tidak mampu lagi menahan cahayanya, lalu aku mengambil panel itu. Aku mengambilnya dan aku menyukainya. Cahaya itu cukup terang menerangi lorong waktu masa depan, ideal dan tidak berlebihan. Lalu aku memikirkan hal lain. Bisa jadi orang lain berusaha mencapai panelnya dengan mengambil panel tergelap untuk dijadikan pijakan naik dan panel yang lebih terang lagi, begitu seterusnya membuat pijakan meningkat hingga sampai ke titik maksimal yang dituju.
Dengan cara apapun kita meraih panel cahaya kita, panel cahaya itu harusnya cukup terang untuk menerangi lorong masa depan. Kalau berlebihan, panel cahaya akan membutakan, lantas menjalani hidup dalam kesombongan atau kewalahan. Kalau kurang, akan memburamkan, lantas menjalani hidup dalam keterbatasan dan kerendahan diri. Meskipun kita bukan yang paling terang, tentu saja bukan yang paling terang merupakan sangkaan dari diri sendiri saja. Dengan panel cahaya yang mungkin sudah kita miliki sekarang, kita menjadi diri sendiri, kemudian bergabung dengan orang-orang lain yang sudah menemuksn dirinya dan membentuk sebuah harmoni cahaya, dalam kata lain dunia.
Sudah adzan. Aku bangkit dan berwudhu. Mungkin habis ini aku akan shalat istikharah. Sampai bertemu dengan diri sendiri!

Comments

See also

Kulkas

Hari Minggu

Surga Abu-Abu dan Cahaya Allah