Susa, Sasi, Sisu

Gunjing, gunjing, gunjing. Terdengar seperti camilan, dan memang sepertinya saya dan orang-orang secara sadar maupun terpeleset melakukan hal ini setiap waktu luang. Tidak usah rumpi deh, person to person bergunjing juga tetap renyah.
Supaya sedap, tersebutlah tiga orang yaitu Susa, Sasi, dan Sisu. Di suatu hari yang sepi, Susa berkesah kepada Sasi tentang Sisu yang arogan dan tetek bengeknya. Sasi, seperti manusia pada umumnya, menyanggupi untuk menjaga rahasia itu layaknya formalitas dalam cerita antar teman. Sayangnya, seperti manusia pada umumnya, rahasia seperti ember yang isinya sudah terlalu penuh lalu diisi lagi: luber. Sasi merasa baik-baik saja ketika keesokan harinya ia membocorkan rahasia itu pada Sisu. Entah karena ia merasa harus menyelesaikan masalah di antara kedua temannya, atau dia merasa bak agen rahasia yang berhasil membobol brankas isi hati temannya. Kalau bumbu-bumbunya tidak usah disebutkan, komplit all in one, yang tidak cocok dicocok-cocokkan. Tentu saja, seperti manusia pada umumnya, timbul gelegak rasa tak suka dari diri Sisu kepada Sasi. Kemudian tindakan yang diambil adalah Sisu secara sengaja menempeleng Susa dengan perkataan bahwa Sasi telah melapor kepadanya bahwa Susa tidak suka padanya. Sontak, pandangan Sasi terhadap Sisu langsung berubah anjlok. Dari kejauhan, gunjing saling berjabat tangan satu sama lain atas nama kesuksesan.
Tinggal dipilih mau dari sudut pandang siapa komentar pedasnya: Kenapa Sasi sebegitu sensitifnya kepada Sisu? Kenapa rahasia seucrit itu tidak bisa dijaga oleh Sasi? Kenapa Sisu sebegitu sensitifnya sehingga dikatai arogan saja sudah marah-marah?
Yang disebutkan di atas merupakan contoh diferensial gunjing.

Gunjing bukan sembarang makelar kasus perpecahan antar manusia, melainkan sudah di-blacklist kitab suci. Bagaimana cara menyikapinya?
Gunjing seakan mempermainkan manusia di batas tipis antara terkontrol dan tidak terkontrol. Seakan, karena gunjing bermain secara samar-samar tanpa dengung, menelusup di kalbu dan lisan. Manusia yang berperang dengan api gunjing, dalam hatinya sedang menjerit presto: yang didalam mendidih, tapi tidak ada uap yang bebas lepas keluar dari tutup panci. Namun setelah api gunjing mati dan tutup kembali dibuka, apa yang terjadi? Daging yang sedang dipresto menjadi lembut dan empuk. Analogi ini tetap memiliki kekurangan, karena apabila api terlalu lama dan jerit presto terlalu lama, maka daging yang empuk akan menjadi hancur dan robek.
Sesusah itu ya untuk tetap stabil dan terkontrol. Bikin analoginya saja susah.
Gimana dong cara menyikapinya?
Api kalah oleh air. Jadilah air. Walaupun panas atau dingin, api tetap padam. Kalau terlihat titik-titik api, dinginkan dengan topik yang tidak sinkron dengan gunjing, dimana fangirling tidak lagi terlihat aneh apabila tujuannya untuk mencegah gunjing. Dapat juga dilakukan dengan menjadikan diri sebagai tempat penampungan gunjing apabila kita telah terjebak dalam pusaran gunjing, alias tidak perlu jadi agen gunjing selanjutnya. Yang paling mulia adalah dengan memutarbalikkan gunjing menjadi berlian, awalnya "dia bodoh" menjadi "dia suka tersenyum". Nah, yang satu itu sudah mendobrak hukum alam yang mana saja?
Oh iya, jangan tutup-tutupi air dengan wadah, karena air di dalam wadah tidak sanggup memadamkan api.

Comments

See also

Supermarket

Truth or Dare

Resep Tahu Gejrot Luezaaat