Warteg
Pengap, riuh. Sendok garpu berdentang, kuali-kuali besar bergolak. Siang ini berdesakan Warteg Bu Romlah, penuh seluruh bangkunya, hawa percakapan terasa dimana-mana.
Kinan sakit, Dhana keluar kota. Menyisakan aku makan siang lotek sendiri, duduk di tengah-tengah massa berseragam putih-abu yang tidak aku kenal.
Duk! Aku tidak sengaja menyikut mangkuk sop seseorang hingga tumpah beruap-uap di tangannya.
"Aw!"
"Maaf.."
Ternyata kita satu sekolah.
***
Ini hari Minggu, biar sepi sih katanya. Memang, Warteg Bu Romlah jadi lengang. Hanya beberapa kuli bangunan yang sedang makan siang sambil duduk mengangkat kaki di bangku luar warung.
Aku memesan lotek dan kamu memesan sop.
***
Setelah bel pulang berdering, aku segera angkat kaki keluar kelas karena waktu yang tersisa tidak banyak. Ini sudah kali ke empat belas, aku menghitung hari-hari masuk sekolah. Mengambil bangku kosong biar bersebelahan atau berhadapan sangatlah sulit dengan persaingan seketat ini.
"Bu Rom, lotek satu sama.."
"..Sop satu? Siap, cah ayu." Bu Rom sudah terkekeh.
***
Ada surat kaleng nyasar ke kolong mejaku pagi ini. Surat itu mengatakan Warteg Bu Romlah, bel pulang.
Kamu sakit, tidak masuk sekolah, tidak mungkin mengirimkan surat macam ini. Tapi aku penasaran, akhirnya aku pergi ke warung untuk memastikan siapa yang mengirim surat itu.
Aku datang terlambat, warung terlanjur penuh sesak. Tapi ada sebuah bangku yang sengaja dikosongkan. Di atas meja terlihat sepiring lotek, membuatku lapar. Aku memicingkan mata melalui sela-sela jendela. Seseorang duduk di seberang bangku kosong dengan tangan menopang dagu dan semangkuk sop ayam yang mengular uapnya, belum disentuh.
Itu jelas bukan kamu, karena kamu tidak suka sop ayam. Kamu selalu pesan sop sayur. Apalagi ditambah segelas es jeruk (yang sudah habis setengahnya). Tidak, aku tidak lapar, aku pulang saja.
Hari ini aku tidak ke Warteg Bu Romlah. Mungkin Bu Rom bertanya-tanya, kemana anak perempuan yang suka pesan lotek dan sop itu?
***
Hari ini, Minggu, seperti biasanya. Entah sudah kali ke berapa ratus berapa puluh berapa. Hari ini aku masih menerima beberapa telepon dari klien dan atasanku. Sesampainya di warung, aku menyetop angkot dan turun dengan perasaan tidak sabaran.
Ternyata kamu duluan datang, dengan kaos dan celana jeans. Belum memesan, seperti biasanya. Meminta aku untuk memesankannya kepada Bu Rom.
Hari ini kaos dan celana jeansmu nampak spesial (apa-apamu memang selalu spesial). Aku menarik bangku yang bersebrangan denganmu dan berseru, "Bu, lotek satu sama sop satu!"
"Sama pinjam pisin satu, Bu."
Pesanan yang berbeda setelah 7 tahun pas.
Aku dan kamu makan, berbincang. Dentang sendok-garpu yang menyenangkan. Pisin itu belum disentuh olehmu sampai kami benar-benar selesai makan. Kamu mengaduk-aduk isi celana jeansmu, mengeluarkan selembar kain lembut berwarna marun. Aku berpura-pura tidak melihat, sibuk membaca sinopsis novel yang kamu berikan minggu lalu, tapi belum aku baca sampai sekarang.
Hingga aku menangkap dengan ujung mataku, cincin berkilauan yang kamu letakkan di atas pisin berlapiskan kain marun yang disodorkan padaku. Kamu tisak banyak berkata, tapi rasanya aku mau berteriak gembira.
***
Minggu ini aku dan kamu tidak ke Warteg Bu Romlah, karena Bu Rom sedang ada acara pernikahan. Aku dan kamu juga sebenarnya memang sedang tidak bisa datang ke Warteg Bu Romlah seperti biasanya, karena kami kedatangan tamu istimewa di antara tamu-tamu kami, yaitu Bu Rom.
***
Hari-hari ini cukup merepotkan, tapi kamu selalu meluangkan waktu di tengah padatnya proyek. Beli ini-itu, kesana kemari, dan tentu saja ke Warteg Bu Romlah. Tapi akhir-akhir ini kamu lebih suka duduk bersebelahan denganku, padahal sudah seharusnya kamu tahu kalau aku makan itu tidak bisa dijaga. Senggol sana, senggol sini.
Suasana ramai, seperti biasanya. Sudah bertahun-tahun cita rasa Warteg Bu Rom tidak pernah berubah. Selalu memikat hati. Hanya saja harga tetap mengikuti perkembangan zaman, berubah seperlunya.
"Lotek satu sama sop satu, Bu."
"Loteknya jadi dua, Bu. Ada yang butuh makan rakus siang ini."
Kamu memang suka iseng mengubah-ubah kebiasaan, tapi aku berterima kasih.
***
Minggu siang terik, Bu Rom sedang sakit, jadi anak laki-lakinya yang menjaga warung. Ray sudah besar, sudah tiga setengah tahun, jadi tidak mau lagi digendong. Siang ini Ray memisahkan jarak duduk kita.
"Loteknya satu sama sopnya dua."
"Ray mau makan ayam goreng, Bun."
"Dua hari ini belum makan sayur. Ingat kata nenek kemarin, makan sayur supaya sehat."
Pesanan yang bertambah.
***
Pagi tadi Bu Rom meninggal, aku diberitahu secara eksklusif oleh anak laki-lakinya yang secara resmi mewarisi usaha warung ini. Ray, yang bertemu seorang anak laki-laki yang seumuran dengannya, sekarang sudah tertawa-tawa sambil berkejaran di sekitar warung membawa mobil-mobilan. Rampung menyuapi Aster, aku menyerahkannya padamu. Piring lotek milikku belum tersentuh sama sekali. Aster baru belajar berjalan, jadi kamu harus mengikutinya kemana-mana. Jarak yang tadinya hanya terpisah dua jengkal, kini menjadi berubin-ubin. Akankah jarak ini terus menjauh?
Aku menggerutu kepada perpisahan, seakan hal itu dilarang ada di dunia. Tapi seberapa kerasnya aku protes, tetap saja Bu Rom harus berpisah denvan warunvnya.
"Bun.. Aster kesandung kaki meja tadi." kamu tergopoh-gopoh menghampiri. Aster menangis kencang sekali, meminta aku menggendongnya.Aku meninggalkan lotek yang baru separo habis.
Setidaknya jarak antara aku dan kamu lebih dekat sedikit.
***
Menjadi ibu rumah tangga sangat menyenangkan, namun semuanya berubah saat Ray kuliah di luar kota, Aster sekolah asrama, dan kamu ada proyek di luar pulau. Siang yang sunyi di rumah, aku mendapat telepon darimu. Menyuruhku makan. Kamu begitu paham kalau aku belum makan. Aku memustuskan pergi ke warung sendiri.
"Loteknya satu, Mas."
Kamu menelpon sambil makan. Tadinya jarak kita hanya beberapa ubin, sekarang menjadi ribuan kilometer. Akankah jarak ini terus menjauh?
***
Sore ini hujan, rasanya indah sekali bisa duduk bersamamu lagi. Berbicara apa saja yang telah terjadi 35 tahun ke belakang, di warung ini.
Hujan sudah reda. Sepertinya aku lupa memesan. Aku dan kamu pergi begitu saja tanpa memesan.
***
Dokter memperbolehkanmu pulang hari ini setelah dua bulan berada di rumah sakit. Selama dua bulan itulah aku dan kamu tidak pernah ke warung lagi.
Saat aku dan kamu memasuki warung, aku melihat anak laki-laki Bu Rom yang usianya hanya beberapa tahun lebih muda.Ubannya memenuhi seluruh kepala.Aku dan kamu duduk tanpa memesan, mencoba berbicara apa saja.
Lama kelamaan pembicaraan itu semakin aneh. Aku merasakan jarak nyata yang begitu dekat, namun disertai jarak irrasional yang semakin menjauh. Apa yang terjadi? Aku kembali menggerutu pada perpisahan.
***
Pengap, riuh. Sendok-garpu berdentang, kuali-kuali besar bergolak. Siang ini berdesakan Warteg Bu Romlah, penuh seluruh bangkunya, hawa percakapan terasa dimana-mana. Menyisakan aku makan siang lotek sendiri, duduk ditengah-tengah massa berseragam putih-abu
Benar-benar sendiri, tidak bersamamu.
Aku benar-benar tidak memutuskan begitu, perpisahan yang memutuskan begitu. Aku menangis bersama perpisahan yang nampak datar-datar saja memandangiku.
Tadinya aku dan kamu hanya berjarak ribuan kilometer, tapi sekarang, ah.. Entah sudah berapa jauh.
Jarak nyata mungkin hanya beberapa kilometer antara pusara dan warung ini, tapi jarak irrasional rasanya begitu jauh. Membuat pilu ingin mengejar jarak itu. Namun perpisahan tidak mungkin menciptakan semua jarak yang menjauhkan. Doa menjadi jalan pintas pemutus jarak, dan aku tahu di setiap doaku, ada jarak yang begitu dekat, lebih nyata dari nyata dan lebih irrasional dari irrasional.
Aku berdoa untukmu, dan untukku, dan Ray, Aster, seluruh keluarga mereka, seluruh cucu-cucu kita, cucu-cucu dari cucu-cucu kita, seluruh keluarga kita,. Dan itulah bagaimana aku memutus jarak drnganmu, terus menatapmu, hingga aku tidak bisa lagi menatap.
Kinan sakit, Dhana keluar kota. Menyisakan aku makan siang lotek sendiri, duduk di tengah-tengah massa berseragam putih-abu yang tidak aku kenal.
Duk! Aku tidak sengaja menyikut mangkuk sop seseorang hingga tumpah beruap-uap di tangannya.
"Aw!"
"Maaf.."
Ternyata kita satu sekolah.
***
Ini hari Minggu, biar sepi sih katanya. Memang, Warteg Bu Romlah jadi lengang. Hanya beberapa kuli bangunan yang sedang makan siang sambil duduk mengangkat kaki di bangku luar warung.
Aku memesan lotek dan kamu memesan sop.
***
Setelah bel pulang berdering, aku segera angkat kaki keluar kelas karena waktu yang tersisa tidak banyak. Ini sudah kali ke empat belas, aku menghitung hari-hari masuk sekolah. Mengambil bangku kosong biar bersebelahan atau berhadapan sangatlah sulit dengan persaingan seketat ini.
"Bu Rom, lotek satu sama.."
"..Sop satu? Siap, cah ayu." Bu Rom sudah terkekeh.
***
Ada surat kaleng nyasar ke kolong mejaku pagi ini. Surat itu mengatakan Warteg Bu Romlah, bel pulang.
Kamu sakit, tidak masuk sekolah, tidak mungkin mengirimkan surat macam ini. Tapi aku penasaran, akhirnya aku pergi ke warung untuk memastikan siapa yang mengirim surat itu.
Aku datang terlambat, warung terlanjur penuh sesak. Tapi ada sebuah bangku yang sengaja dikosongkan. Di atas meja terlihat sepiring lotek, membuatku lapar. Aku memicingkan mata melalui sela-sela jendela. Seseorang duduk di seberang bangku kosong dengan tangan menopang dagu dan semangkuk sop ayam yang mengular uapnya, belum disentuh.
Itu jelas bukan kamu, karena kamu tidak suka sop ayam. Kamu selalu pesan sop sayur. Apalagi ditambah segelas es jeruk (yang sudah habis setengahnya). Tidak, aku tidak lapar, aku pulang saja.
Hari ini aku tidak ke Warteg Bu Romlah. Mungkin Bu Rom bertanya-tanya, kemana anak perempuan yang suka pesan lotek dan sop itu?
***
Hari ini, Minggu, seperti biasanya. Entah sudah kali ke berapa ratus berapa puluh berapa. Hari ini aku masih menerima beberapa telepon dari klien dan atasanku. Sesampainya di warung, aku menyetop angkot dan turun dengan perasaan tidak sabaran.
Ternyata kamu duluan datang, dengan kaos dan celana jeans. Belum memesan, seperti biasanya. Meminta aku untuk memesankannya kepada Bu Rom.
Hari ini kaos dan celana jeansmu nampak spesial (apa-apamu memang selalu spesial). Aku menarik bangku yang bersebrangan denganmu dan berseru, "Bu, lotek satu sama sop satu!"
"Sama pinjam pisin satu, Bu."
Pesanan yang berbeda setelah 7 tahun pas.
Aku dan kamu makan, berbincang. Dentang sendok-garpu yang menyenangkan. Pisin itu belum disentuh olehmu sampai kami benar-benar selesai makan. Kamu mengaduk-aduk isi celana jeansmu, mengeluarkan selembar kain lembut berwarna marun. Aku berpura-pura tidak melihat, sibuk membaca sinopsis novel yang kamu berikan minggu lalu, tapi belum aku baca sampai sekarang.
Hingga aku menangkap dengan ujung mataku, cincin berkilauan yang kamu letakkan di atas pisin berlapiskan kain marun yang disodorkan padaku. Kamu tisak banyak berkata, tapi rasanya aku mau berteriak gembira.
***
Minggu ini aku dan kamu tidak ke Warteg Bu Romlah, karena Bu Rom sedang ada acara pernikahan. Aku dan kamu juga sebenarnya memang sedang tidak bisa datang ke Warteg Bu Romlah seperti biasanya, karena kami kedatangan tamu istimewa di antara tamu-tamu kami, yaitu Bu Rom.
***
Hari-hari ini cukup merepotkan, tapi kamu selalu meluangkan waktu di tengah padatnya proyek. Beli ini-itu, kesana kemari, dan tentu saja ke Warteg Bu Romlah. Tapi akhir-akhir ini kamu lebih suka duduk bersebelahan denganku, padahal sudah seharusnya kamu tahu kalau aku makan itu tidak bisa dijaga. Senggol sana, senggol sini.
Suasana ramai, seperti biasanya. Sudah bertahun-tahun cita rasa Warteg Bu Rom tidak pernah berubah. Selalu memikat hati. Hanya saja harga tetap mengikuti perkembangan zaman, berubah seperlunya.
"Lotek satu sama sop satu, Bu."
"Loteknya jadi dua, Bu. Ada yang butuh makan rakus siang ini."
Kamu memang suka iseng mengubah-ubah kebiasaan, tapi aku berterima kasih.
***
Minggu siang terik, Bu Rom sedang sakit, jadi anak laki-lakinya yang menjaga warung. Ray sudah besar, sudah tiga setengah tahun, jadi tidak mau lagi digendong. Siang ini Ray memisahkan jarak duduk kita.
"Loteknya satu sama sopnya dua."
"Ray mau makan ayam goreng, Bun."
"Dua hari ini belum makan sayur. Ingat kata nenek kemarin, makan sayur supaya sehat."
Pesanan yang bertambah.
***
Pagi tadi Bu Rom meninggal, aku diberitahu secara eksklusif oleh anak laki-lakinya yang secara resmi mewarisi usaha warung ini. Ray, yang bertemu seorang anak laki-laki yang seumuran dengannya, sekarang sudah tertawa-tawa sambil berkejaran di sekitar warung membawa mobil-mobilan. Rampung menyuapi Aster, aku menyerahkannya padamu. Piring lotek milikku belum tersentuh sama sekali. Aster baru belajar berjalan, jadi kamu harus mengikutinya kemana-mana. Jarak yang tadinya hanya terpisah dua jengkal, kini menjadi berubin-ubin. Akankah jarak ini terus menjauh?
Aku menggerutu kepada perpisahan, seakan hal itu dilarang ada di dunia. Tapi seberapa kerasnya aku protes, tetap saja Bu Rom harus berpisah denvan warunvnya.
"Bun.. Aster kesandung kaki meja tadi." kamu tergopoh-gopoh menghampiri. Aster menangis kencang sekali, meminta aku menggendongnya.Aku meninggalkan lotek yang baru separo habis.
Setidaknya jarak antara aku dan kamu lebih dekat sedikit.
***
Menjadi ibu rumah tangga sangat menyenangkan, namun semuanya berubah saat Ray kuliah di luar kota, Aster sekolah asrama, dan kamu ada proyek di luar pulau. Siang yang sunyi di rumah, aku mendapat telepon darimu. Menyuruhku makan. Kamu begitu paham kalau aku belum makan. Aku memustuskan pergi ke warung sendiri.
"Loteknya satu, Mas."
Kamu menelpon sambil makan. Tadinya jarak kita hanya beberapa ubin, sekarang menjadi ribuan kilometer. Akankah jarak ini terus menjauh?
***
Sore ini hujan, rasanya indah sekali bisa duduk bersamamu lagi. Berbicara apa saja yang telah terjadi 35 tahun ke belakang, di warung ini.
Hujan sudah reda. Sepertinya aku lupa memesan. Aku dan kamu pergi begitu saja tanpa memesan.
***
Dokter memperbolehkanmu pulang hari ini setelah dua bulan berada di rumah sakit. Selama dua bulan itulah aku dan kamu tidak pernah ke warung lagi.
Saat aku dan kamu memasuki warung, aku melihat anak laki-laki Bu Rom yang usianya hanya beberapa tahun lebih muda.Ubannya memenuhi seluruh kepala.Aku dan kamu duduk tanpa memesan, mencoba berbicara apa saja.
Lama kelamaan pembicaraan itu semakin aneh. Aku merasakan jarak nyata yang begitu dekat, namun disertai jarak irrasional yang semakin menjauh. Apa yang terjadi? Aku kembali menggerutu pada perpisahan.
***
Pengap, riuh. Sendok-garpu berdentang, kuali-kuali besar bergolak. Siang ini berdesakan Warteg Bu Romlah, penuh seluruh bangkunya, hawa percakapan terasa dimana-mana. Menyisakan aku makan siang lotek sendiri, duduk ditengah-tengah massa berseragam putih-abu
Benar-benar sendiri, tidak bersamamu.
Aku benar-benar tidak memutuskan begitu, perpisahan yang memutuskan begitu. Aku menangis bersama perpisahan yang nampak datar-datar saja memandangiku.
Tadinya aku dan kamu hanya berjarak ribuan kilometer, tapi sekarang, ah.. Entah sudah berapa jauh.
Jarak nyata mungkin hanya beberapa kilometer antara pusara dan warung ini, tapi jarak irrasional rasanya begitu jauh. Membuat pilu ingin mengejar jarak itu. Namun perpisahan tidak mungkin menciptakan semua jarak yang menjauhkan. Doa menjadi jalan pintas pemutus jarak, dan aku tahu di setiap doaku, ada jarak yang begitu dekat, lebih nyata dari nyata dan lebih irrasional dari irrasional.
Aku berdoa untukmu, dan untukku, dan Ray, Aster, seluruh keluarga mereka, seluruh cucu-cucu kita, cucu-cucu dari cucu-cucu kita, seluruh keluarga kita,. Dan itulah bagaimana aku memutus jarak drnganmu, terus menatapmu, hingga aku tidak bisa lagi menatap.
Diikutsertakan untuk 30 Hari Bercerita 2023 x Karsa Bercerita dengan sedikit modifikasi.
Comments