Paradoks

paradoks/pa·ra·doks/ n pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran; bersifat paradoks

semoga judulnya sesuai.

***

Malam kamu bertemu cintamu setelah hari yang panjang, kamu bertanya kepadanya yang sedang duduk bertopang dagu: "Kamu sudah makan?"
"Sudah."
"Syukurlah."
Akui sajalah, kamu mengharapkan jawaban "Belum", kan?

***

Saya adalah seorang anak yang sejak sedikit lebih besar mempelajari apa yang harus saya lakukan terhadap hidup saya, namun saya sepertinya terjebak dalam hal yang tidak terlalu penting. Sejauh ini, dan akan selamanya begitu, Ibu adalah orang yang paling berpengaruh terhadap hidup saya. Cinta saya kepadanya besar. Hari-hari dimulai dari saat paling dahulu yang mampu saya ingat, Ibu mengeluarkan banyak emosi untuk membentuk jiwa saya. Marah yang membuat saya ingin sekali membangkang, tawa yang membuat saya merasa lebih bahagia daripada orang-orang lain, tangis yang membuat saya merasa jadi orang paling bodoh di dunia ini.
Suatu hari ketika saya sudah lebih besar lagi, saya merasakan bahwa kemarahan Ibu yang membuat saya menjadi luar bisa kesal, tiba-tiba berganti menjadi Ibu yang tertawa dan mengajak saya bercanda, padahal saya sedang kesal-kesalnya. Rasanya seperti emosi yang terombang-ambing. Kemudian saat kami sedang tertawa bersama, tiba-tiba saya membuat kesalahan mikro sehingga Ibu marah dan membuat keadaan bak harga cabai di pasar pagi: anjlok. Tawa musnah sekejap menjadi nelangsa.
Saya merasa bahwa inilah dunia, bertemu dengan orang-orang dengan pengalaman kejiwaan yang berbeda di setiap saatnya. Manusia seperti angin yang terbawa oleh angin lainnya. Ikut tertawa, ikut gelisah, ikut menangis, ikut mencak-mencak. Dan yang jelas, karena ini adalah dunia, maka semuanya akan berakhir. Bahkan kebahagiaan sekalipun akan berakhir.
Lantas, sikap apa yang harus saya miliki untuk beradaptasi dengan seluruh pengalaman kejiwaan ini? Untuk apa menangis kalau kemudian nanti tertawa, menertawai diri sendiri yang beberapa menit yang lalu menangis hingga sulit bernapas? Untuk apa tertawa kalau kemudian nanti berseteru, menyalahkan tawa yang telah dibuat beberapa detik yang lalu? Untuk apa berseteru kalau kemudian menangis karena malu mengaku kalah?
Jadi, saya memutuskan untuk diam. Baru seminggu, Ibu sudah kebingungan bertanya padaku dengan wajah yang begitu sedih, "Ada apa dengan kamu?".
Ibu merindukan seluruh kelabilan yang telah kami alami bertahun-tahun.
"Ibu kenapa sedih? Kesedihan itu akan segera berakhir, Ibu tidak perlu bersedih atas apapun. Juga tidak perlu tertawa atas apapun. Atau marah atas apapun."
"Kamu melarang Ibu tertawa?"
"Karena semuanya pasti akan berakhir, Bu. Kita di dunia, bukan di surga."
"Kalau senyum saja boleh?"
Saya mengernyitkan dahi, berpikir lagi.

***

Lebih dari lima puluh persen populasi manusia di dunia ini menyukai perdebatan untuk menunjukkan bahwa ialah yang benar, salah satu sifat manusia yang paling dasar. Banyak pula orang yang tidak menginginkan adanya perdebatan karena itu sangat mengganggu ketenangan jiwa dan merusak moral apabila dilakukan berlebihan, dan para pembenci perdebatan akan terus berdebat dengan para pecinta perdebatan agar perdebatan dimusnahkan dari muka bumi.

***

Siapa berkata kalau keluarga adalah rumah? Dengan segala hantunya itu? Dengan segala aturan yang mencekik, kasih sayang yang berlebihan, dan menu makanan yang sangat rumahan? Saya ingin pergi saja. Sudah cukup saya berdebat dengan seluruh komponen keluarga ini. Yang saya inginkan adalah pergi dan berbahagia, menentukan arah sendiri. Saya bukan bayi. Saya pikir cukup tepat bagi saya untuk pergi, toh mengingat komunikasi saya dengan keluarga yang sudah kadaluarsa, banyak cekcok dan basa-basi.
Akhirnya ini adalah hari kedua saya menjejak di luar benteng berhantu itu. Menemukan padang bunga, berbahagia bersama angin, menaklukkan naga.
Siapa berkata bahwa tanda keeratan adalah pertengkaran? Sekarang saya kesakitan menahan rekatan yang saya tarik begitu kuat dari benteng berhantu, menyuruh saya kembali. Rekatan itu maya, tapi seperti secuil kulit yang disangkutkan di gagang pintu lalu aku pergi sejauh-jauhnya, tapi rasanya sakit sekali, minta kembali.

Comments

See also

Supermarket

Truth or Dare

Resep Tahu Gejrot Luezaaat