(Aku) Sibuk.

Jadi ceritanya aku dapet tugas bikin cerpen 5.000 kata dari Bu Yattini--cerpen. Olab banget emang bikinnya tapi cukup worth it untuk ukuran cerpen curhat:(( oke.



(Aku) Sibuk.

             “Bu, Ayah mau kemana?”
        Mata bulat Zasya kecil menari-nari melintasi kamar, gelisah. Jemari gendutnya dengan perlahan menelusuri setiap detail dari koper biru dongker yang tergeletak begitu saja di lantai. Aku sedang mengosongkan lemari bajuku supaya tidak ada lagi yang mengenangku.
         “Ayah mau pergi ke luar kota, sayang. Untuk bekerja. Tidak lama, kok.” Aku berkata sekenanya untuk menghibur. Rosa melipat tangannya. Aku tidak tahu apa yang ada di air wajahnya. Apakah tenang? Apakah riak? Apakah pusaran? Apakah badai? Apakah beku?
          Aku harus segera berkemas. Aku tidak peduli. Aku harus meninggalkan rumah ini. Meja hijau dan sobatnya, ketuk palu dan tinta sakral, telah membelah kami berdua, mungkin untuk selamanya, karena lidahku. Aku tidak tahu apakah aku akan kembali ke rumah bergaya 90-an ini atau tidak. Tapi untuk apa?
            Cup. Satu kecupan terakhir untuk Zasya kecil berkucir dua. Cup. Satu kecupan terakhir untuk Bima yang gagah dengan remah-remah biskuit coklat. Kami bersama terdiam.
            “Hati-hati di jalan, Ayah.”
            “Kalian jaga diri, ya. Kau juga.”
            “Hm.”

        Ghina sudah membunyikan klakson sekali di depan gerbang. Aku menggeret koper besarku dan memasukkannya ke dalam bagasi BMW 650i berwarna merah menyala yang dikendarai Ghina.
            “Hai.” Aku tersenyum.“Kau mau aku yang menyetir?”
      “Untuk sekali ini lagi saja, sayang. Setelah ini kau boleh menggunakannya kapanpun. Ini milik kita.”
            Aku menyandarkan tengkuk di jok depan dan menarik nafas panjang. Sebelum menekan gas, Ghina mengerlingkan mata coklat keunguannya yang memabukkan ke arah pagar rumah yang pendek. Aku tidak tahu ia mengerling kepada siapa, karena setahuku tidak ada yang mengantarku ke luar pintu. Tidak ada yang sudi.
***
            Malam ini terasa sangat sunyi.Bahkan bunyi angin pun tidak ada.Yang ada hanya kebingungan karena cerita-cerita masa lalu Ibu.
          "Ibu hanya tidak suka padanya, Nak.Dengarkan.Masih banyak waktu untukmu, bahkan masih satu dekade lagi. Atau lebih.”
            “Ada baiknya jika kamu bicara baik-baik padanya. Mungkin dia akan mengerti, semoga.”
            “Kenapa diam saja?”
            Memilin-milin tali guling. “Kenapa, Bu?”                                         
           Ibu tersenyum. Tidak ada yang lebih mendamaikan di dunia ini daripada senyuman Ibu. “Kamu sudah dewasa, sudah pakai seragam abu-abu,  dan  Ibu semakin renta. Ibu tidak ingin kamu jatuh di lubang yang sama, meniti jalan yang sama dengan Ibu. Banyak yang bisa kamu lakukan di SMA, Nak. Jadilah penggerak. Jadilah apa yang kamu mau. Lupakan yang seharusnya tidak kamu miliki.”
           “Aku ibumu. Kamu bebas memilih, tapi aku ibumu.”
***
          Aku tidak ingin berpusing-pusing sekarang.Yang penting nilaiku tetap bagus dan tidak ada yang bisa mengganggu rankingku seperti SMP dulu.
           Yara Meiko. X IPA 3. Klub Sains dan Literatur.Dua centang di formulir.
          “Kamu berapa?” aku menarik formulir teman sebangku baruku. Musik Klasik, Jurnalistik, Pramuka,  Sinematografi. “Apa? Kau sudah gila?”
           “Aku masih waras kok, buktinya masih bisa masuk SMA favorit.”  Eh, tertawa dia. Cengengesan.
           “Kamu dari SMP mana, sih?”
           “Jenava.”
          “Hmph, swasta. Pantas saja.” Dia belum tahu sulitnya mempertahankan walaupun hanya satu semester di sekolah negeri.
          “Emang kenapa? Salah?” dia cengengesan lagi. “Kumpulin, yuk.”
***
          Tok, tok, tok. Baton memandu harmoni di atas meja. Mengetuk semakin sempurna.
         “Sudah jam setengah 7. Latihan hari ini kita cukupkan sekian.  Semoga satu minggu terakhir ini dapat kita manfaat sebaik-baiknya untuk meningkatkan kualitas lagu yang akan kita bawakan. Ingat? Kita akan berbagi kebahagiaan, jadi tetaplah fokus.” Kak Wedya memasukkan baton Inggris itu ke kotak kayu jatinya. “Nuge, jangan lupa ganti senarmu.”
        Aku bergegas memasukkan Suma ke tasnya. Mungkin besok aku harus segera mengganti senarnya yang mulai sumbang.
          "Kak, tolong gulungan karton hitam itu dong..”
       Aku memandang ke ujung ruangan tempat gulungan karton itu berada. Pasti untuk mading sekolah. Beberapa minggu terakhir ini Zasya ditunjuk sebagai penanggung jawab mading sekolah. Aku mengetahuinya dari pembicaraan beberapa teman di kelas.
        “Duh, baru awal kelas 11 sudah sibuk ya. Aku dong, freeman..” aku menepukkan gulungan karton ke kepala Aca, sebagaimana aku sering memanggilnya begitu.
       “Apa sih kak..” dia tertawa. Aku sangat menyukai tawanya. Jika dia tertawa, seluruh wajahnya tertawa. Bahkan rambut ikal sepunggungnya ikut tertawa. Jika menjadi tokoh utama di film kartun, mungkin burung-burung akan berdatangan jika ia tertawa. Tapi, meskipun tertawa, nampak jelas garis kelelahan di wajahnya.
        Tadi dia menggesek dawai-dawainya dengan indah sekali. Seakan seluruh energinya terpancar hanya untuk merengkuh semua nada-nada yang ada di partitur.
     Bukan Zasya kalau ia hanya memiliki satu urusan. Entah apa yang ada di pikirannya hingga ia rela membelah-belah otaknya seperti itu.
***
            “Jangan dari sana. Agak ke bawah sedikit, ya, nah miring seperti itu.Sip.”
            Drrrrt. Drrrrt.
            Action!”
            Drrrrt. Drrrrt.

            “Kamu kemana saja?”
            “Ekskul.. hehehe.”
            “Tadi aku menelponmu berkali-kali.”
            “Maaf, tadi aku lagi pegang kamera sih..”
            “Sinematografi?”
            “Yap.”
            “Hm.. Apa aku mengganggumu?”
            “Tidak ada yang menggangguku, kok. Makasih udah bela-belain menelpon.”
            “Besok ke Slurprise, yuk.”
            “Wah, café baru?”
“Nggak, sudah lama ada kok.”
“Tapi aku les. Bagaimana kalau lusa?”
            “Aku yang les.”
            “Kalau begitu besok aku bolos les.”
            “Ya ampun, jangan dong, nanti aku yang disalahin. Ya udah, lain kali saja.”
            “Maaf.. Maaf banget.”
            “Maaf juga.”
            “Aku mau turun angkot, dah Andri.”
            “Dah, Aca.Hati-hati di jalan.”

        Kapan aku harus bilang padanya? Ini adalah bulan ketiga aku tidak bertemu dengannya, padahal sekolah kami tidak terlalu jauh. Tapi rasanya lebih jauh daripada jarak rumah ke tempat tinggal Kabim. Rasanya lebih buruk dari nilai 5 di ulangan fisika hari ini.
            “Kiri!”
***
         Siang ini cukup terik. Kepalaku berdenyut keras seiring dengan keringat dingin yang mengalir dari pelipisku. Aku tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk memimpin rapat hari ini. Tapi sepulang sekolah, semua anggota sudah berkumpul dengan mengenakan seragam dan kacu mereka di ruang ambalan. Tenang, Pandu. Siapa yang akan memperhatikan kamu? Dia?
          “Lomba ini cukup penting.” Aku menyodorkan lembaran suratdan poster itu di tengah lingkaran.
          “Ah.. Kak Pandu, teman-teman, maaf terlambat..” ternyata Zasya dan Juan. Duh, ternyata dia datang, padahal aku berniat untuk memberitahu dia lewat jalur pribadi kalau dia memang tidak datang. Mereka tergopoh-gopoh memasuki ruangan dan segera menempati tempat kosong setelah yang lain bergeser. “Ada info apa nih, kak?”
          “Iya, tidak apa-apa. Baru mulai, kok. Jadi begini, lomba ini cukup penting.” Aku membetulkan posisi poster yang tergelar, mengulang apa yang barusan aku ucapkan. “Setelah 4 tahun kita vakum dari berbagai lomba, saya ingin kali ini kita mengambil kesempatan  untuk memenangkan lomba-lomba kembali.”
      Setiap anggota memperhatikan poster yang diberikan olehku. Lombanya masih dua bulan lagi, setidaknya tidak mengganggu UAS minggu depan. “Ada yang berminat? Saya harap semuanya berminat.”
       “Saya, Kak.” Seperti yang sudah kuduga, Zasya mengacung terlebih dahulu. Kemudian yang lain menyusul sehingga seluruh anggota mengacungkan tangannya kecuali dua orang.
          “Di tanggal yang sama saya sedang intensif robotik untuk persiapan lomba di Singapura, Kak. Yudha juga.”Michael menjelaskan. Aku memahaminya.
         “Baik, kita mulai latihan setelah UAS, jangan lupa untuk mempersiapkan diri kalian untuk menerima berbagai materi dari Kak Zaki dan Kak Wulan. Informasi dari saya cukup sekian. Tadi katanya Sam ingin menyampaikan sesuatu ya? Silahkan, saya izin duluan ya. Terima kasih.”
***
      Aku mengusap kerutan-kerutan yang ada di ujung mataku. Cermin memang tidak akan pernah berbohong, aku telah renta. Kesepian. Erik memang telah menyendirikan aku selama 10 tahun—ah, bukan menyendirikan aku, hanya mengajari aku tentang kemandirian. Menghadapi hidup sendiri—ah, bukan sendiri, tetapi bersama Bima dan Zasya yang sama-sama kuat.
           Bima sudah genap setahun menuntut ilmu di Swiss, beasiswa menjadi seorang koki pastri. Aku sangat bisa membayangkan betapa manisnya masa tuaku ketika ia kembali ke tanah air. Aku harap ia mendapatkan wanita yang mampu mendampingi kegagahannya.
          Aca sekarang sudah kelas sebelas.  Ah, anak perempuan manis berkucir dua itu kini tumbuh dengan cepat menjadi seorang gadis cantik yang sibuk. Empat ekstrakurikuler ia rengguk sekaligus berdampingan dengan kegiatan akademiknya. Benar-benar anak pemberani. Aku sempat cemas karena hampir setiap hari ia pulang malam semenjak dua bulan pertama SMA-nya. Aku takut hal itu mengganggu kesehatan dan tentu saja prestasinya di sekolah, namun aku tahu aku tidak mungkin melarangnya.
           “Aku hanya ingin mencoba melupakan dia, Bu. Tidak dilarang, kan? Ibu meng-inginkannya, kan?”
          Andri, Andri dan Andri. Pebasket yang sejak setahun lalu berhasil menjatuhkan gadis kuatku ke dalam gelora. Tidak, tidak. Tidak kali ini. Betapa aku melihat sendiri ketika ia menyambangi sebuah kafe bersama teman-teman yang tidak aku kenali wajahnya. Slurprise, Bar and Café. Aku mencoret namanya dalam-dalam di pikiranku. Aku tidak perlu menceritakan bagian itu pada Aca.
           Sudah jam setengah 8 malam. Petir menyambar-nyambar langit, kulihat awan menjadi putih seperti siang hari ketika petir menyentuhnya. Sudah dari jam 5 tadi telepon genggam Aca tidak aktif. Semoga dia tidak kehujanan.
             Decit pagar membuyarkan lamunan. Aku bergegas membukakan pintu depan.
          “Assalamualaikum Ibu..”Aca mencium tanganku dengan lembut. Aku menjawab salamnya. Seperti biasanya, tasnya selalu berat dan selalu membawa sesuatu yang lain di tangannya. Entah itu gulungan karton untuk mading, clear holder berisi surat-surat izin untuk acara-acara ekskul-ekskulnya, atau binder biru langit berisi seluruh catatan penting yang selalu ia bawa kemana-mana apabila tas coklat bergaris putihnya tidak mampu menampung seluruh benda. Kali ini ia membawa bindernya.
          Wajahnya pucat sekali, bibirnya juga seperti berbedak. Kalau telambat pulang sedikit, mungkin dia sudah pingsan di tengah jalan. Aku segera membawakan tas pejalnya dan menyuruhnya berbaring segera setelah berganti baju.
          “Ibu buatkan teh hangat ya, Ca. Gulanya Ibu ganti jadi madu. Ditambah lemon juga. Mau kan?” ia mengangguk cepat. Meniti tangga pelan-pelan, tasnya sengaja aku letakkan di bawah saja.
        Uap teh mengular di udara dingin.Hujan kini mulai turun deras. Aca terlihat masih sangat pucat meskipun tidak seburuk saat pertama kali ia memasuki rumah.
            “Kenapa pulangnya malam sekali?”
"Latihan konser, Bu. Lusa aku harus ke Grha Kresna soalnya ada gladiresik sampai jam 9 malam. Nanti aku telpon Pak Ajo untuk menjemputku. Ibu nonton konser Aca, kan?”
“Iya, iya..Ibu nonton, kok. Besok tidak usah masuk, ya? Sepertinya tubuhmu sudah protes, tuh.”
            “Ah, Bu, aku tidak apa-apa. Aku cuma butuh tidur sekarang..”
            Benar saja, ketika pagi menjelang, Aca tergopoh-gopoh menuruni tangga dengan wajah yang sangat cerah dan enerjik. Tidak ada sisa kelelahan semalam sama sekali. Mata cantiknya bersinar seperti yang biasanya terlihat.
            “Ibu, sarapannya aku bekal saja.. Aku hampir terlambat. Hari ini ulangan lisan bahasa Indonesia jam pertama! Assalamualaikum Buuu..”
            Ah, anakku. Dan, oh, sepertinya dia melupakan ikat rambut hitamnya.
***
Hari ini kita akan mengerjakan mading tema Chocolatier di ruang Jurnalistik. Jangan pada kabur ya, soalnya sekolah pulang lebih awal dan jangan lupa bawa alat dan bahan yangsudah dibagi-bagi di pertemuan sebelumnya. Cheer up!:)
            Jarkom rutinan selesai.Aku menyandarkan 3 gulungan karton coklat muda di meja makan dan menyantap nasi goreng cabai hijau yang selalu terlezat buatan Ibu. Tidak lupa segelas susu coklat hangat. Hari ini hujan turun syahdu, rintik-rintiknya sangat kusenangi. Untung saja aku tidak harus membawa biolaku karena sudah dititipkan di sekolah.
                Bunyi klakson Pak Ajo menembus jendela rumah, menyambangi telingaku.“Bu, Aca berangkat ya. Assalamu’alaikum..”
               “Wa’alaikumussalam..”
               “Acaa.. Gulungan kartonnya ketinggalan!”
               Duh, kenapa aku masih saja ceroboh? Mungkin aku terlalu bersemangat.

            Aku gelisah menunggu bel pulang sekolah yang dijanjikan lebih awal dua jam pelajaran.Ketika bel akhirnya berdentang, rasanya seperti loncat dari kursi.Aku bergegas membereskan barang-barangku dan melangkah menuju ruang Jurnalistik di lantai dua.
          Ruang Jurnalistik nampak sepi. Aku memutar kunci dan melangkah masuk, mendapati ruang Jurnalistik begitu berantakan oleh potongan kertas, sampah stereofoam yang dipotong, debu, gulungan kertas hias kusam, dan sarang laba-laba. Tanpa pikir panjang aku segera mengambil sapu dan pengki untuk membersihkan ruang Jurnalistik.
            Dua puluh menit kemudian, semuanya tampak normal kembali. Seluruh sampah telah diamankan, debu-debu kugiring pergi hingga aku bersin-bersin. Namun, ada satu hal yang janggal. Kemana semua orang yang menerima jarkomku?
           Aku menggelar karton-kartonku di atas jajaran ubin. Membuat sketsa tipis untuk memudahkan pemasangan konten. Dua lembar kertas berisi konsep mading bulan ini aku tempel di dinding agar mudah dilihat. Namun, yang lain belum juga datang.
              Aku mengunci ruang Jurnalistik, meninggalkan tasku dan bergegas menuju kantin sekolah. Mungkin aku bisa menemukan satu dua tim yang bisa membantuku. Satu dua dari lima belas sudah sangat membantu.
  Kulihat Juan dan Nagit yang sedang menikmati nasi dan ayam goreng Bu Mul yang terkenal rasanya menandingi restoran-restoran bintang lima. Aku pun teringat kalau aku belum makan siang.
             “Hai, kalau sudah selesai makan langsung ke ruang Jurnalistik, ya! Bawa bahan-bahannya kan?”
         “Oh, maaf Ca.. Aku harus segera ke tempat les.” Ujar Juan, menutup sendok dan membereskan tasnya yang isinya berceceran.
         “Aku juga sudah dijemput Mom.” Nagit kembali memberikan jawaban yang mengecewakan. Aku melangkah pergi mencari teman-teman yang lain.
             Aku melihat Nadine dan Femmy yang sedang mengobrol di depan gerbang luar sekolah.
             “Hai, ke ruang Jurnalistik yuk! Bawa bahan-bahannya kan?”
            “Ah, maaf Zas.. Aku nggak enak badan, sebentar lagi supirku menjemput.” Femmy berkata dengan agak memelas, lalu menyilangkan tangannya di dada.
          “Aku juga tidak enak badan..” Nadine mengelak, memandang ke arah lain. Aku mendengus pelan padanya. Bilang saja tidak mau ikut kalau Femmy tidak ikut.
            Aku tidak menemukan yang lain. Mungkin yang lain juga sudah pulang. Mungkin sudah bertebaran dengan kegiatan dan prioritasnya masing-masing. Dengan lesu aku melangkah kembali ke ruang Jurnalistik. Sekarang jam 14.20, masih ada waktu 25 menit lagi.
              Hari ini Andri bahkan sama sekali tidak mengirimkan SMS padaku.
           Aku mengerjakan beberapa konten mading semampuku.Membuat pola di kertas-kertas hias, menulis dengan tinta berbagai warna, menempelkan pita sebagai pemanis, membuat judul mading dengan bentuk chocolate chip cookies, dan menempelkan stiker-stiker permen sambil memutar playlist-ku. Sisanya mungkin bisa dikerjakan yang lain, kalau mereka mau. Namun aku tidak bisa mencicilnya lagi selain hari ini. Aku tidak mungkin membawa kata-kata dan warna-warna manis ke dalam partitur-partiturku. Kak Wedya bisa pusing melihatnya.

If you could see me now, would you recognize me?

          “Oh tidak, 14.50!” aku segera menggulung karton-kartonku, mengamankan konten-konten berbentuk lucu di tasku, lalu segera mengunci ruang Jurnalistik dan berlari menuruni tangga menuju halaman sekolah. Semoga saja aku tidak ditinggal mobil sekolah yang berangkat menuju Grha Kresna, karena aku harus latihan duet biola dan gitar dengan Kak Nuge.
           Hari ini aku akan melakukan gladi resik konser musik klasik perdanaku. Besok adalah konser musik 
klasik perdanaku, dan aku masih harus  mengerjakan mading sekolah. Sendirian.
***
            Tik,tik,tik.
Satu paragraf lagi, maka tugas makalah ini selesai. Sudah bosan aku dihantui SMS dari Bu Yani yang menyuruhku untuk segera menyelesaikan makalah yang sudah telat 2 minggu ini. Bunyi printer tenggelam dalam sorak sorai siaran ulang pertandingan Persib melawan Persipura.
         Sudah pukul 17.00, satu jam mungkin cukup untuk perjalanan. “Keenan, kakak berangkat dulu. Tolong gembok pagar rumah.”
            Keenan menyahut sekenanya sambil menurunkan volume televisi.
            Hari ini aku akan bertemu Aca, atau kadang aku memanggilnya Ratu, lagi. Sudah lama sekali setelah kami terakhir bertemu di reuni kecil-kecilan SMP. Aku tidak tahu harus merasa senang atau malah gundah. Sepertinya bertemu Aca hanya akan mendorongku ke jurang. Mungkin analoginya begini, Aca adalah kondisi dimana aku berada di tepi jurang tanpa dasar. Dan Tante Rosa adalah yang akan mendorongku seketika kedalam jurang itu. Mungkin Tante Rosa memang sudah mendorongku ke jurang. Semengerikan itukah bersamamu?
            Ah, sudahlah.
            Sebelum men-starter motor, aku mengecek telepon genggamku yang sedari tadi bergetar. Beberapa pesan masuk hari ini.

Mevia Sharon (7) 17.03
   Aku tunggu di lobby Grha ya, nanti Haykal ikut(…)
Zasya (2) 16.47
   hehehe:)
Bismo Dewantoro (1) 16.46
   ah males nanti malem aja sekalian sama cheat(…)
XI MIA 4 (12) 16.31
   FIX MINGGU DEPAN YA NO GOSCOY!

            Aku sebenarnya tidak ingin membalasnya.
I’m heading there. See you soon;)
***
            Tirai merah tertutup. Gemuruh tepuk tangan terdengar sangat menyenangkan. Bukannya rasa lelah yang menerpa, tetapi energi baru yang terus disuntikkan ke dalam jiwa. Tidak sia-sia latihan yang selama ini kami semua lakukan. Konser ini rasanya begitu sempurna. Ketika tirai dibuka kembali, aku segera menuruni tangga depan panggung dan menghampiri Ibu yang duduk di barisan ke lima paling depan.
            Ibu berdiri, tersenyum padaku. Dan lelaki di sampingnya, yang berperawakan tinggi, berkulit putih, memakai kacamata, dan memakai kaos almamater kampus,…
      “KABIM!!” aku menghambur ke pelukan kakakku, tameng keluargaku. Aku kangen sekali padanya.Jerawatnya sudah banyak berkurang sekarang.Model kacamatanya sudah berubah, mungkin silindrisnya naik lagi.Dan tubuhnya makin tinggi, seperti Ayah.
         Aku menggelengkan kepala pelan, berusaha menghilangkan kata ‘Ayah’ seperti kucing atau anjing yang sedang menggoyang-goyangkan badannya untuk menghilangkan kutu.
           “Surprise..” kata Ibu. Aku juga memeluk Ibu. Tidak ada yang lebih membahagiakan kecuali jika kami bertiga bisa berkumpul lagi.
       Gott arbete, Aca! Tadi duetnya keren banget. Partner duetnya ganteng, ya?”Kata Kabim menggodaku sambil mengacak-acak rambutku, yang sebenarnya tidak bisa diacak-acak karena aku menggunakan hairspray. “Apa sih, Kabim.Kakak kapan kesini?” tanyaku.
         “Pesawat landing sekitar jam 3 tadi, terus kakak langsung dianter Ibu ke sini. Kakak sengaja meliburkan diri seminggu biar bisa main!” kata Kabim sambil tertawa ringan. Aku juga tertawa. Aku senang, senang sekali. Lebih senang lagi kalau Ayah juga bisa ikut tertawa di sini.
       Aku tidak perlu memikirkannya lebih lanjut. Aku menggelengkan kepala pelan, lagi, berusaha menghilangkan kata ‘Ayah’ seperti kucing atau anjing yang sedang menggoyang-goyangkan badannya untuk menghilangkan kutu.
            “Kakak temani Ibu ke toilet dulu, ya.” Kata Kabim, kemudian mereka berlalu.
      Aku melihat Andri, mematung di atas kedua kaki jenjang dan kekarnya, di pinggir deretan kursi.Akhirnya aku melihat Andri. Aku tidak tahu harus merindukannya atau tidak. Harus bertemu dengannya lagi atau tidak.
Harus mencintainya terus atau tidak.
Tapi dia menepati janjinya untuk menonton konser musik klasik ini.
            “Andri.”
         Dia tidak menjawab, hanya tersenyum. Kami duduk bersebelahan di sembarang kursi penonton. Lebih tepatnya di tengah, menampakkan panggung secara keseluruhan, membuat segalanya terasa lebih dramatis. Andri bersandar di kursi penonton dan menatap lurus. Tidak pernah sekalipun aku tidak terpesona oleh lekuk wajahnya, ketajaman pandangannya, kumis tipisnya.
            “Kamu cantik.”
            “Tadi aku sempat salah memainkan senar, jadi nadanya sumbang.”
            “Kamu cantik.”
            “Tadi yang mendandani aku terlalu tebal menambahkan pensil alis.”
           “Kamu cantik. Sampai kapanpun. Ngomong-ngomong, kemana pipi tembamnya? Kamu makan, ya?” kami tertawa. Andri seperti Mbak Dewi yang mendandaniku di belakang panggung tadi, dia dengan baik memberikan perona pipi sampai tebal sekali.
        “Kamu pasti capek sekali. Sibuk, bahkan aku tidak tahu kapan aku bisa bertemu denganmu.” Dia menatap lurus sambil tersenyum. “Apa aku mengganggumu?”
            “Kenapa terus menanyakan itu? Tidak, kok.”
          Kami terdiam cukup lama. Hiruk pikuk para petugas yang membereskan panggung belum selesai. Tapi otak ini sepertinya lebih ribut lagi.
            “Tadi nonton sama siapa aja?” aku mencoba memecahkan kebekuan.
            “Mevi sama Haykal.”
            “Kamu yang jadi nyamuk atau malah Haykal yang jadi nyamuk?”
            “Kamu cemburu?” dia tertawa ringan, tangan kanannya berpindah ke punggung tangan kiriku. “Tidak ada yang jadi nyamuk, kok. Semua baik-baik saja.”
             Aku menarik tanganku, terdiam. Aku teringat Ibu. “Oh iya..”
        Aku mendengar tepukan tangan tiga kali yang sangat keras dari atas panggung. “Semua pemain diharapkan segera berkumpul dulu di backstage untuk briefing penutupan.” Rupanya Kak Wedya.
            “Oh iya-nya simpan untuk nanti saja. Cepetan tuh, udah ditungguin.”
            “Kamu pulang saja, jangan tungguin aku. Kecuali kalau mau ketemu dulu sama Ibu.”
            “Nggak, ah.” Andri tertawa getir. “ Keenan pasti menunggu di rumah. Dah, Aca.”
            “Dah, Andri. Terima kasih sudah mau datang.”

            Ini tidak seberat yang kukira, tapi lebih berat.
***
       “Terima kasih ya, Kak.” Kata Ibu sembari kami memasuki ruang kedap suara serbaguna itu lagi. Beledu merah marun yang melapisi dinding ruangan sangat lembut ketika aku menyentuhnya. Aku tidak keberatan jika beledu itu suatu saat melapisi sofa di rumah. Jam analog yang tergantung mungil di sudut dinding menunjukkan pukul 20.35. Mungkin masih setengah jam lagi sebelum Aca selesai dengan urusannya.
         Di pintu masuk, Ibu terhenyak memandangi kursi penonton. “Ada apa, Bu?”
         Aku memandang ke arah pandangan Ibu. Sepertinya kami memikirkan hal yang sama.
         Jag se, mamma.Tidak apa-apa.Namanya juga anak muda.”
     “Kamu juga anak muda, tapi tidak seperti itu.” Ibu terkekeh.“Kalau Andri seperti kamu, mungkin sekarang dia sudah pulang.”
"Ibu tidak ingin ada Andri lagi di kehidupan Aca, Nak. Dia hanya bermain.” Penekanan yang dilakukan Ibu begitu menusuk, nampak sangat ketidaksukaan Ibu kepada lelaki jangkung itu.
            Aku memahami sekali keadaan ini.
***
            “Aca, makan yuk. Istirahatnya 15 menit lagi, lho.”Aku mencolek bahu Aca yang nampak tidak rileks karena serius mengerjakan sesuatu di laptopnya.
            “Sebentar, kamu duluan deh.Aku makannya pulang sekolah saja. Surat-surat ini harus sudah diprint sebelum bel masuk nanti, soalnya sudah ditagih sama Kak Pandu.”
            Baru selesai konser, sekarang Aca sudah tenggelam lagi dengan jabatannya sebagai sekretaris acara besar sekolah tahun ini: Training for Leaders. Acara yang diwajibkan oleh sekolah untuk seluruh siswa siswi kelas sepuluh selama empat bulan berturut-turut. Panitianya adalah siswa siswi kelas sebelas dan dua belas yang mendaftarkan diri melalui open recruitment.Sekarang sudah berjalan satu bulan.
          Aku duduk saja memperhatikan Aca di bangkunya. Bukan main gerahnya hari ini, dan ini adalah botol ketiga yang kuminum. Jemari Aca terus menari di atas keyboard laptopnya tanpa henti, seakan-akan setiap jarinya memiliki dua mata. Dua puluh mata Aca sedang mengetikkan surat undangan kepada pemateri Leadership bulan ini. Dan list surat-surat yang harus ia kerjakan segera masih mengantri di potongan post-it berwarna kuning pucat yang tertempel mencolok di sampul binder biru langitnya.
        Lambungku sudah meronta-ronta. Ayo, Trian. Triana tidak bisa kalau tidak makan. Ulangan Matematika Pak Sucipto akan segera datang dengan segala perangkatnya yang mematikan ketika bel masuk berbunyi. Dan aku yakin, meskipun tidak dengan makan, Aca masih bisa mendapatkan 90. Aku bergegas meninggalkan Aca yang masih terpekur di bangkunya.
         Di ujung koridor, aku mendengar seseorang bersuara agak berat berteriak di daun pintu kelas. “Zasya!”
            Ah, dasar orang sibuk.
***
Selamat malam. Ratu.
          Aku menimbun telepon genggamku dengan dua buah bantal. Malam ini aku akan tidur dengan dua buah bantal di bawah kepala.
***
         Adalah sebuah kebetulan ketika Ibu memasak mie celor untukku pagi ini.Makanan Palembang ini adalah pelaku yang membuatku merasakan indahnya cinta pertama. Oh, tentu saja cinta yang paling pertama adalah Ibu.
            “Terima kasih, Bu.”
            “Selamat makan. Oh iya, Ibu buatkan teh manis dulu, ya.”
           Pelangi, aku melihat pelangi. Pelangi kelabu menggantung, mengambang di antara nyata dan irrasional. Sepertinya pelangi-pelangi kelabu memijat kepalaku di tempat yang salah. Rasanya seperti hanyut di arus kabut, tidak ada udara yang bisa kuhirup. Hanya kebingungan. Gemerisik bunyi angin menerabas telinga kananku hingga menembus ke telinga kiriku.
            Kabutnya semakin pudar. Aku berharap bisa melihat Andri dan mengatakan kepadanya beban tidak nyata yang selama ini menyumpal otak dan lidahku. Melemparkan semua massa tanpa wujud kepadanya, tanpa alasan. Yang aku tahu hanya karena doktrin yang terindah dari paradigm terindah dan terbijak yang pernah aku tahu. Sekarang kabutnya sempurna hilang, tapi Andri tidak ada di hadapanku.
            “Aca, mie celornya sudah mau dingin, tuh.” Ibu membangunkanku lembut.
           Ini bukan malam hari, Aca. Tidak mungkin ada kunang-kunang di meja makan, tidak mungkin pula Ibu sengaja membiakkannya di meja makan. Aku mengayunkan kelopak mataku turun dan membuka perlahan. Tanganku ringkih menopang kepalaku yang terasa seperti bola beton.
           “Lihatlah wajah bulan purnamamu, Nak.” Ibu menyentuh daguku, mengangkatnya dengan satu jarinya dengan lembut “Apakah bulan purnamamu sedang beristirahat? Ibu kehilangan cahaya temaram dari wajahmu.” Setahuku, belum ada yang bisa menandingi kelihaian tutur kata Ibuku. Apakah deritanya selama ini menggerus hatinya hingga selembut garam meja? Sedikit, namun bila dicecap ujung lidah maka rasanya menyebar ke seluruh rongga mulut. “Berceritalah,”
         Aku menopang pipiku yang mulai mengempis di atas sendi-sendi jariku yang semakin kurus. ”Sulit sekali ya, Bu..” Aku tidak suka merasakan hal-hal yang sebetulnya tidak penting ini, apa lagi mengungkapkannya.
        Ibu menguarkan senyum bijaknya sama bersinar seperti wajahnya. Kerut-kerut wajahnya semakin dalam belakangan ini, begitu pula warna rambutnya yang semakin memutih. Kapan aku terakhir memperhatikan wajah Ibu lebih dekat, aku tidak begitu ingat. Hari-hariku mengikis Andri yang menyelusup di setiap lekuk-lekuk otakku begitu mudah merobohkan pilar-pilar waktu. Tapi pepatah tak terpatahkan mengatakan, mati satu tumbuh seribu,dan aku kesulitan sekarang. Begitu cepatkah waktu berlalu?
            “Aca tidak perlu memaksakan diri seperti itu,” kata Ibu.
            Memilin-milin rambut. “Lalu?”
***
           “Terima kasih,” dua mangkok mie ayam terhidang menggiurkan di atas meja, aromanya menyusup ke dalam indra. Namun aku tidak begitu berselera untuk memakannya. Mie ayam ini hanya sekedar formalitas supaya aku bisa menemukan tempat yang agak sepi.
           “Bagaimana keadaannya sekarang?”
       “Dia menghindariku. Amat sangat. Kamu tahu, dia begitu sibuk sekarang. Empat ekskul dia jalani sekaligus sebagai pengurus utama.”
          “Nekat sekali rupanya. Itu pasti lebih berat daripada menjadi pengurus OSIS.”
       "Sayang sekali, dia memang tidak menjadi pengurus OSIS. Dia hanya menjadi orang kepercayaan OSIS apabila ada masalah yang sulit diselesaikan.”
          Dia menepuk dahinya dengan keras. “Astaga.”
          “Sudah tiga hari ini dia tidak membalas semua pesanku.”
          “Dia… sengaja melakukannya.”
      “Bukan dia, tapi Tante Rosa.” Aku menubrukkan punggungku ke sandaran kursi. Kuah mie ayam bergolak pelan, tak tersentuh.
      Mevia diam, tidak memberikan tanggapan apapun. Sehelai demi sehelai mie meluncur ke dalam mulutnya. Wangi sambal menyengat hidung. “Kalian sepertinya sedang mengalami masalah yang lebih besar daripada masalah yang sering dialami orang-orang. Kalian sudah meloncat melebihi orang lain. Kamu sudah diperhatikan oleh Tante Rosa.”
          Analisis pedas Mevia sepertinya melebihi pedas sambal yang ia tambahkan kedalam mangkoknya.
          “Masalahnya adalah, dia tidak suka padamu.”
          Jangan kesimpulan yang sama lagi.
        Aku menyandarkan dahiku di dua tangan, memperhatikan mangkok mie ayamku yang uapnya sudah menghilang. Ludes sudah seluruh nafsu makanku.
         “Kamu ingin dia bahagia, kan?”
         “…iya.” Aku ragu. Selama ini aku hanya ingin, dia bersamaku saja.
       “Lepaskan dia. Jangan desak dia dengan teror-teror kebingungan untuk mening-galkanmu atau tidak. Lakukan duluan.”
         “Semua akan baik-baik saja.”
         “Serius?”
        “Sekarang makan, atau aku yang habiskan. Dan aku akan berterima kasih atas traktiran dua mangkok mie ayam dan segelas es jeruk. Jangan sampai sakit cuma karena memikirkan hal yang sering terjadi.”
          Sekarang aku merasa lebih tenang. Tenang yang berbeda.
***
         Jam menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Suara keyboard menggantikan derik-derik jangkrik yang biasanya menghiasi malam. Laporan ini harus segera kuselesaikan bagaimanapun caranya. Mungkin aku tidak akan tidur malam ini.
         Aku menghentikan pekerjaan. Suasana mendadak sunyi senyap. Ah, untung saja Ibu tidak terbangun. Beberapa kali aku dipergoki tidur terlalu malam, dan sepertinya Ibu kurang menyukainya. Aku kembali memfokuskan diri pada layar yang menyala redup di tengah sinar lampu.
          Drrrt.
          Aku terhenyak, hampir terjungkal dari kursi.

Selamat pagi, Aca.
       Ada apa gerangan Andri memulai percakapan pagi-pagi buta? Aku memang berusaha untuk tidak mengontaknya empat hari belakangan. Lima puluh persen karena pekerjaan, lima puluh persen lagi karena Ibu. Aku mengeraskan bunyi ketikanku, mengetik puluhan kata lebih cepat seperti dirasuki kamus, hingga sepertinya dalam beberapa jam kedepan aku akan merusak laptopku.

Aku tahu kamu masih bangun, Ca.
        Dia tidak pernah salah menebakku.
***
        Sekolah tampak lebih ramai hari ini. Sebagian besar guru sedang rapat di kantor dinas. Sepertinya tidak ada yang mempedulikan akademik, banyak sekali ekstrakurikuler yang melakukan rapat dan sebagainya.
     Aku menumpuk buku-buku supaya mudah dimasukkan ke dalam tas, kemudian mengecek kembali post-it yang tertempel di sampul binder biru langitku, yang catnya mulai terkelupas setelah setahun ditarik-tarik plastik berlumur perekat. Jam 12.05. Aku yakin tidak akan ada pelajaran lagi setelah ini, jadi aku bisa pulang—melakukan rapat-rapat selanjutnya.
        Telepon genggamku terus bergetar seperti hendak meloncat keluar saku.

Sinematografi (10) 12.35
Zasya mana Zasya, butuh kameramen (…)
Ambalan IF-TP  12.34
Kak Zakinya nggak bisa kalo lusa
Rumpi Cantik Jurnalistik
12.33
Jam 1.15 di ruang Jurlis, jangan lupa ma(…)
Klasik Musik (3) 12.33
Jadwal latihannya udah diupdate Kak(…)
Pandu Adikamalla (2)12.30
Saya tunggu di gerbang belakang, ya

            Derap langkahku tenggelam bersama desak sepatu-sepatu bertali putih kusam yang ribut melangkah ke segala arah. Beberapa lingkaran besar telah terbentuk di selasar kelas sebelas. Sejauh pandanganku terlihat klub softball yang sedang melakukan pemilihan ketua periode baru, kelompok ilmiah remaja yang sedang berlatih presentasi, rapat koordinasi beberapa divisi OSIS,  dan Kak Pandu yang berjalan menuju gerbang belakang sekolah.
         Sudah agak samar ingatanku tentang pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang menurutku paling kharismatik di sekolah, yaitu Kak Pandu, sang ketua OSIS. Sepertinya aku mengenal Kak Pandu pertama kali saat aku ditugasi untuk menjadi sekretaris di kegiatan perkemahan wajib yang diikuti oleh seluruh kelas sebelas sekitar delapan bulan lalu. Aku sendiri tidak menyangka bahwa beberapa minggu yang lalu Kak Pandu berkata kepadaku dengan begitu serius dan objektif, “Kamu bagus. Suatu saat kalau saya ada masalah, boleh nggak saya konsultasi sama kamu?”
Menurutku, belum ada sampai saat ini yang mampu menandingi langkah sigapnya, ketajaman pikirannya, ketenangannya dan kemantapannya dalam mengambil keputusan, serta kemampuannya untuk menggerakkan orang lain. Mungkin, meskipun nanti ketua OSIS yang baru akan dilantik, aku akan tetap menganggap Kak Pandu sebagai ketua.
Aku menunggu sampai Kak Pandu menghilang dari kerumunan, baru berjalan ke arah yang sama, menuju gerbang belakang sekolah. Aku menghiraukan rasa laparku—sebetulnya aku tidak lapar. Perutku sudah penuh dengan berbagai pikiran, sehingga akhir-akhir ini aku  cepat merasa kenyang.
Drrrt. Drrrt. Drrrt.
Argh! 
“Halo?”
“Aca, kamu ditunggu Bu Meri di ruang guru.” Rupanya Triana.
Argh!
***
            80 km/jam dan nyaris lupa untuk memakai helm, dan aku masih terus berusaha memacu motorku di jalan pintas yang agak sepi. Jalan pintas yang kuambil agak lebih jauh, sekitar dua kali jarak yang biasa, sehingga aku harus cepat. Sekarang memang masih jam setengah satu siang, tapi entah mengapa otakku terus meminta jari-jariku untuk memutar gas dan menyusup di antara mobil-mobil.
            TIN!

          12.45, apakah aku terlambat? Aku tahu kalau bel pulang sekolah Aca masih satu setengah jam lagi, tapi kenapa aku begitu terburu-buru?
        Aku menunggu di dekat pintu gerbang belakang, siapa tahu Aca akan keluar atau temannya akan keluar, sehingga aku bisa menanyakan dimana Aca.
***
Kak, kalau ketemuannya jadi jam 1 gimana? Aku harus ke Bu Meri dulu
            Aku menggerutu di depan layar telepon genggam. Berarti aku harus menunggu 15 menit lagi untuk menerima print out seluruh surat-surat yang dibutuhkan untuk Training for Leaders. Ah, tidak apa-apa. Dia sudah bekerja sangat keras.
  Belum pernah aku menemukan seseorang yang lebih berdedikasi tinggi dari Zasya. Dibalik rambut ikal panjangnya yang berwarna kecoklatan alami, aku menemukan kedalaman pikiran dan perasaan yang begitu seimbang dan sinkron. Matanya bercahaya dan penuh dengan rasa optimis. Kepada siapapun ia berbicara, keceriaannya selalu membawa suasana menjadi lebih baik. Namun ketika membawa pembicaraan kepada topik yang berat dan butuh pemikiran tajam, kemampuannya menganalisis keadaan dan solusi-solusinya yang cerdas dan berbeda menguar kuat dari dalam dirinya. Aku tidak ingin memanfaatkannya, tetapi aku ingin mengembangkannya. Aku ingin mengenalnya lebih jauh.
 Aku memutuskan untuk membeli nasi timbel selagi menunggunya. Rasa lapar memukul-mukul lambungku yang kosong.
***
           "Terima kasih, Bu. Nanti saya perbaiki.” Urusan ini ternyata berjalan dengan mudah. Untung saja Bu Meri tidak marah. Aku berjalan keluar ruang guru dengan santai. 12.50, entahlah, kenapa aku selalu mengecek arlojiku? Masih sepuluh menit lagi sebelum bertemu dengan Kak Pandu. Masih 25 menit lagi sebelum rapat Jurnalistik. Hari ini juga tidak ada latihan musik klasik. Latihan lomba pramuka memang hari ini, tapi masih agak lama, jam  setengah 3. Aku tidak membawa kamera untuk penggarapan proyek video dokumenter, jadi aku memutuskan untuk hadir agak terlambat. Kenapa otakku begitu tertekan? Aku mempercepat langkahku tanpa sadar.
            Aku akan bertemu Kak Pandu di gerbang belakang sekolah, tapi aku tidak melihat Kak Pandu. Aku melihat Andri.
***
Lakukan duluan.
            Firasatku tidak meleset. Aca berjalan ke arahku dengan wajah kebingungan.
            “Aca.”
            “Andri, ada apa?”
         “Ada perlu penting.” Wajah Aca berubah semakin bingung. “Kamu tidak membalas apapun selama empat hari.”
            Dia tertawa tipis. Lihat, dia bahkan tertawa. Aku ikut tertawa.
            “Sekarang serius.” Aku terdiam lagi. Aca memandangiku, matanya masih tersenyum.
         “Apa yang terjadi,” aku memikirkan kata-kata yang tepat hingga menjadi terlalu gugup. “kalau aku sudah tidak suka padamu?”
            Astaga, aku mengucapkan hal yang salah. Matanya masih tersenyum.
           “Aku.. Maaf, aku tidak ingin membebanimu. Pasti berat, ya, jika terlalu banyak yang kamu pikirkan. Sekarang berkurang satu.”
            Matanya masih tersenyum. Lihat, matanya masih tersenyum. Tidak ada yang berubah.
            “Aku tahu ibumu..”
          “Ndri.” Dia berkata pendek. “Kamu mendahului aku. Harusnya aku yang mengatakan ini.” Dia terkikik geli, seakan-akan ini semua skenario.
            Aku tidak tahu harus merasa lega atau tidak. “Terima kasih.”
            “Terima kasih juga, Andri.” Matanya masih tersenyum. “Sekarang, boleh nggak aku pergi? Aku mau ketemu Kak Pandu, ada urusan person to person.”
            Alisku naik. “Siapa?”
     “Cemburu? Bukan siapa-siapa kamu lagi, jadi jangan tanya-tanya.” Wajahnya nampak begitu menyenangkan, bahkan dia berbicara dengan nada yang ringan seakan-akan dia sedang bercanda. “Dah, Andri.”
            Aku tertawa getir. “Dah, Aca. Terima kasih banyak.”
            Aca meninggalkanku dengan perasaan bingung yang begitu menghunjam.
***
            “Kak,”
            “Iya, kenapa Ca?”
            “Mau minta tolong, nitip map ini buat Kak Pandu, ya.. Makasih banyak, Kak.”
            “Oh iya, sama-sama Aca.”
           Aku berjalan sejauh, ya, sejauh hingga aku merasa kalau Andri tidak bisa melihatku lagi. Jantungku menggebuk-gebuk heboh seperti para suporter bola yang baru saja menyaksikan gol yang dicetak oleh pemain idola mereka. Aku segera mengecek telepon genggamku.

Pandu Adikamalla (1) 13.07
Saya udah di gerbang belakang, kamu dim(…)
Klasik Musik (6)13.05
Kalo Aca bisa nggak ke Pak Mahmud seka(..)
Rumpi Cantik Jurnalistik
(3) 13.02
Zasya Narendra, dimana kamu nak?:(
Ambalan IF-TP (5) 13.02
Jadi yang bisa siapa aja nih?
Sinematografi (3) 13.00
Pada dimana mantemaan

            Aku terdiam memandangi layar telepon genggam.

Pandu Adikamalla 13.08
Maaf, aku sakit
Klasik Musik 13.08
Maaf, aku sakit
Rumpi Cantik Jurnalistik
13.08
Maaf, aku sakit
Ambalan IF-TP 13.08
Maaf, aku sakit
Sinematografi 13.08
Maaf, aku sakit

            Hati mengambil alih fungsi otak yang akan memerintahkan kaki untuk melangkah menuju gerbang belakang sekolah, ruang Jurnalistik, lapangan upacara tempat shooting, ruang Pak Mahmud, dan ruang pramuka  dengan sangat otoriter.
***
          Lembut mengalun ketika bow menggesek dawai-dawai biola, menimbulkan nada-nada penuh nostalgia yang begitu indah. Kapan lagi aku bisa merasakan jiwa muda seperti dulu?
            Krieeet.
            Suara pagar yang bergeser membuatku terkejut dan hampir menjatuhkan biola Aca, menghentikan lagu My Heart Will Go On yang belum rampung setengahnya. Siapa gerangan tamu yang datang di siang bolong begini? Jarang sekali.
            “Assalamualaikum Ibu..”
            Aca pulang jam dua siang? Aku nyaris melonjak bahagia ketika membukakan pintu untuknya. “Ada malaikat yang menunggu Ibu membukakan pintu untuknya.” Aku berkata dengan gembira.
            “Ada malaikat yang membukakan pintu untukku.” Aca tersenyum manis dan memasuki rumah.
            Tapi, ada yang berbeda. Seketika wajahnya menjadi merah padam seperti sedang demam, matanya semakin sayu, langkahnya semakin lemah. Aca ambruk begitu saja di kasur kamarku dan meringkuk.
            “Kenapa, Nak?”
            Dia malah tersenyum seperti tidak ada beban sama sekali. “Apa yang Ibu inginkan sudah terlaksana. Lebih tepatnya, Andri yang melakukannya.”
            Aku tidak tahu harus senang atau terkejut, tapi sekarang rasanya aku ingin tertawa.
***
           “Ketika Bunda bebas dari Andri, rasanya seperti burung lepas dari sangkar. Ibu memenangkan lomba pramuka itu, dan beberapa bulan setelah itu Ibu ikut lomba mading tiga dimensi dan meraih juara 1. Film dokumenter buatan kami menjadi begitu bagus sampai diikutsertakan dalam lomba tingkat provinsi.”
            “Lalu, film dokumenter itu bagaimana?” Imelda memandang penasaran.
            “Tentu saja naik ke tingkat nasional.”
            “Terus, terus?”
            Aku memelankan suaraku. “Lalu, Ayah datang.”
            Imelda memandang heran. “Ayah memang sudah datang dari tadi, kan?”
          “Bukan itu maksud Bunda, sayang. Ayah datang.” Aku memberikan penekanan pada frasa terakhir. Bibir Imelda membulat seakan baru mendapatkan sesuatu yang lebih manis daripada coklat yang diberikan pebasket itu kemarin.
            Terdengar suara dari kejauhan. “Imeel, tolong bantu Ayah.”
           “Bun, makasih banget ceritanya. Aku mau membantu Pak Ketua OSIS dulu.” Ujarnya sebelum berlari ke gudang. Aku tertawa geli.
***
            Aku terpekur di depan komputer, memandangi pekerjaan kosong yang aku lakukan selama hampir setengah jam mencari ide. Di sudut meja belajar, aku melihat kotak coklat kosong pemberian Rheza dua hari yang lalu yang sudah kosong. Aku menyimpan kotaknya karena bentuknya yang lucu.
            Mendadak, seperti dibangunkan oleh percikan air, aku mendapatkan ide.
            “Buun.”
            “Iya, Nak?”
            “Aku pakai cerita Ibu untuk membuat tugas cerpen, ya?”
            “Silahkan saja, tapi namanya diganti ya.” Suara tawa dari lantai bawah.
            Sepertinya aku sudah bisa membayangkan prolog dari ceritaku.

Malam ini terasa sangat sunyi.Bahkan bunyi angin pun tidak ada.Yang ada hanya kebingungan karena cerita-cerita masa lalu Ibu.

Putri Ardhya Anindita (30) – XI IPA 2 SMA Negeri 3 Bandung

Comments

Amanda, Faresha said…
KEREN BANGET PARAH SUKA SUKA SUKA

See also

Supermarket

Truth or Dare

Resep Tahu Gejrot Luezaaat