(Aku) Sibuk.
Jadi ceritanya aku dapet tugas bikin cerpen 5.000 kata dari Bu Yattini--cerpen. Olab banget emang bikinnya tapi cukup worth it untuk ukuran cerpen curhat:(( oke.
(Aku) Sibuk.
“Bu,
Ayah mau kemana?”
Mata
bulat Zasya kecil menari-nari melintasi kamar, gelisah. Jemari gendutnya dengan
perlahan menelusuri setiap detail dari koper biru dongker yang tergeletak
begitu saja di lantai. Aku sedang mengosongkan lemari bajuku supaya tidak ada
lagi yang mengenangku.
“Ayah
mau pergi ke luar kota, sayang. Untuk bekerja. Tidak lama, kok.” Aku berkata
sekenanya untuk menghibur. Rosa melipat tangannya. Aku tidak tahu apa yang ada
di air wajahnya. Apakah tenang? Apakah riak? Apakah pusaran? Apakah badai? Apakah
beku?
Aku
harus segera berkemas. Aku tidak peduli. Aku harus meninggalkan rumah ini. Meja
hijau dan sobatnya, ketuk palu dan tinta sakral, telah membelah kami berdua,
mungkin untuk selamanya, karena lidahku. Aku tidak tahu apakah aku akan kembali
ke rumah bergaya 90-an ini atau tidak. Tapi untuk apa?
Cup.
Satu kecupan terakhir untuk Zasya kecil berkucir dua. Cup. Satu kecupan
terakhir untuk Bima yang gagah dengan remah-remah biskuit coklat. Kami bersama
terdiam.
“Hati-hati
di jalan, Ayah.”
“Kalian
jaga diri, ya. Kau juga.”
“Hm.”
Ghina
sudah membunyikan klakson sekali di depan gerbang. Aku menggeret koper besarku
dan memasukkannya ke dalam bagasi BMW 650i berwarna merah menyala yang
dikendarai Ghina.
“Hai.”
Aku tersenyum.“Kau mau aku yang menyetir?”
“Untuk
sekali ini lagi saja, sayang. Setelah ini kau boleh menggunakannya kapanpun. Ini
milik kita.”
Aku
menyandarkan tengkuk di jok depan dan menarik nafas panjang. Sebelum menekan
gas, Ghina mengerlingkan mata coklat keunguannya yang memabukkan ke arah pagar
rumah yang pendek. Aku tidak tahu ia mengerling kepada siapa, karena setahuku
tidak ada yang mengantarku ke luar pintu. Tidak ada yang sudi.
***
Malam
ini terasa sangat sunyi.Bahkan bunyi angin pun tidak ada.Yang ada hanya
kebingungan karena cerita-cerita masa lalu Ibu.
"Ibu
hanya tidak suka padanya, Nak.Dengarkan.Masih banyak waktu untukmu, bahkan
masih satu dekade lagi. Atau lebih.”
“Ada
baiknya jika kamu bicara baik-baik padanya. Mungkin dia akan mengerti, semoga.”
“Kenapa
diam saja?”
Memilin-milin tali guling. “Kenapa,
Bu?”
Ibu
tersenyum. Tidak ada yang lebih mendamaikan di dunia ini daripada senyuman Ibu.
“Kamu sudah dewasa, sudah pakai seragam abu-abu, dan Ibu
semakin renta. Ibu tidak ingin kamu jatuh di lubang yang sama, meniti jalan
yang sama dengan Ibu. Banyak yang bisa kamu lakukan di SMA, Nak. Jadilah
penggerak. Jadilah apa yang kamu mau. Lupakan yang seharusnya tidak kamu
miliki.”
“Aku
ibumu. Kamu bebas memilih, tapi aku ibumu.”
***
Aku
tidak ingin berpusing-pusing sekarang.Yang penting nilaiku tetap bagus dan
tidak ada yang bisa mengganggu rankingku seperti SMP dulu.
Yara
Meiko. X IPA 3. Klub Sains dan Literatur.Dua centang di formulir.
“Kamu
berapa?” aku menarik formulir teman sebangku baruku. Musik Klasik, Jurnalistik,
Pramuka, Sinematografi. “Apa? Kau sudah
gila?”
“Aku
masih waras kok, buktinya masih bisa masuk SMA favorit.” Eh, tertawa dia. Cengengesan.
“Kamu
dari SMP mana, sih?”
“Jenava.”
“Hmph,
swasta. Pantas saja.” Dia belum tahu sulitnya mempertahankan walaupun hanya
satu semester di sekolah negeri.
“Emang
kenapa? Salah?” dia cengengesan lagi. “Kumpulin, yuk.”
***
Tok,
tok, tok. Baton memandu harmoni di atas meja. Mengetuk semakin sempurna.
“Sudah
jam setengah 7. Latihan hari ini kita cukupkan sekian. Semoga satu minggu terakhir ini dapat kita
manfaat sebaik-baiknya untuk meningkatkan kualitas lagu yang akan kita bawakan.
Ingat? Kita akan berbagi kebahagiaan, jadi tetaplah fokus.” Kak Wedya
memasukkan baton Inggris itu ke kotak kayu jatinya. “Nuge, jangan lupa ganti
senarmu.”
Aku
bergegas memasukkan Suma ke tasnya. Mungkin besok aku harus segera mengganti
senarnya yang mulai sumbang.
"Kak,
tolong gulungan karton hitam itu dong..”
Aku
memandang ke ujung ruangan tempat gulungan karton itu berada. Pasti untuk
mading sekolah. Beberapa minggu terakhir ini Zasya ditunjuk sebagai penanggung
jawab mading sekolah. Aku mengetahuinya dari pembicaraan beberapa teman di
kelas.
“Duh,
baru awal kelas 11 sudah sibuk ya. Aku dong, freeman..” aku menepukkan gulungan karton ke kepala Aca,
sebagaimana aku sering memanggilnya begitu.
“Apa
sih kak..” dia tertawa. Aku sangat menyukai tawanya. Jika dia tertawa, seluruh
wajahnya tertawa. Bahkan rambut ikal sepunggungnya ikut tertawa. Jika menjadi
tokoh utama di film kartun, mungkin burung-burung akan berdatangan jika ia
tertawa. Tapi, meskipun tertawa, nampak jelas garis kelelahan di wajahnya.
Tadi dia menggesek
dawai-dawainya dengan indah sekali. Seakan seluruh energinya terpancar hanya
untuk merengkuh semua nada-nada yang ada di partitur.
Bukan
Zasya kalau ia hanya memiliki satu urusan. Entah apa yang ada di pikirannya
hingga ia rela membelah-belah otaknya seperti itu.
***
“Jangan
dari sana. Agak ke bawah sedikit, ya, nah miring seperti itu.Sip.”
Drrrrt.
Drrrrt.
“Action!”
Drrrrt.
Drrrrt.
“Kamu
kemana saja?”
“Ekskul..
hehehe.”
“Tadi
aku menelponmu berkali-kali.”
“Maaf,
tadi aku lagi pegang kamera sih..”
“Sinematografi?”
“Yap.”
“Hm..
Apa aku mengganggumu?”
“Tidak
ada yang menggangguku, kok. Makasih udah bela-belain menelpon.”
“Besok
ke Slurprise, yuk.”
“Wah,
café baru?”
“Nggak, sudah lama ada
kok.”
“Tapi aku les. Bagaimana
kalau lusa?”
“Aku
yang les.”
“Kalau
begitu besok aku bolos les.”
“Ya
ampun, jangan dong, nanti aku yang disalahin. Ya udah, lain kali saja.”
“Maaf..
Maaf banget.”
“Maaf
juga.”
“Aku
mau turun angkot, dah Andri.”
“Dah,
Aca.Hati-hati di jalan.”
Kapan
aku harus bilang padanya? Ini adalah bulan ketiga aku tidak bertemu dengannya,
padahal sekolah kami tidak terlalu jauh. Tapi rasanya lebih jauh daripada jarak
rumah ke tempat tinggal Kabim. Rasanya lebih buruk dari nilai 5 di ulangan
fisika hari ini.
“Kiri!”
***
Siang
ini cukup terik. Kepalaku berdenyut keras seiring dengan keringat dingin yang mengalir
dari pelipisku. Aku tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk memimpin rapat hari
ini. Tapi sepulang sekolah, semua anggota sudah berkumpul dengan mengenakan
seragam dan kacu mereka di ruang ambalan. Tenang, Pandu. Siapa yang akan
memperhatikan kamu? Dia?
“Lomba
ini cukup penting.” Aku menyodorkan lembaran suratdan poster itu di tengah
lingkaran.
“Ah..
Kak Pandu, teman-teman, maaf terlambat..” ternyata Zasya dan Juan. Duh,
ternyata dia datang, padahal aku berniat untuk memberitahu dia lewat jalur pribadi
kalau dia memang tidak datang. Mereka tergopoh-gopoh memasuki ruangan dan
segera menempati tempat kosong setelah yang lain bergeser. “Ada info apa nih,
kak?”
“Iya,
tidak apa-apa. Baru mulai, kok. Jadi begini, lomba ini cukup penting.” Aku
membetulkan posisi poster yang tergelar, mengulang apa yang barusan aku ucapkan.
“Setelah 4 tahun kita vakum dari berbagai lomba, saya ingin kali ini kita
mengambil kesempatan untuk memenangkan
lomba-lomba kembali.”
Setiap
anggota memperhatikan poster yang diberikan olehku. Lombanya masih dua bulan
lagi, setidaknya tidak mengganggu UAS minggu depan. “Ada yang berminat? Saya
harap semuanya berminat.”
“Saya,
Kak.” Seperti yang sudah kuduga, Zasya mengacung terlebih dahulu. Kemudian yang
lain menyusul sehingga seluruh anggota mengacungkan tangannya kecuali dua
orang.
“Di
tanggal yang sama saya sedang intensif robotik untuk persiapan lomba di
Singapura, Kak. Yudha juga.”Michael menjelaskan. Aku memahaminya.
“Baik,
kita mulai latihan setelah UAS, jangan lupa untuk mempersiapkan diri kalian
untuk menerima berbagai materi dari Kak Zaki dan Kak Wulan. Informasi dari saya
cukup sekian. Tadi katanya Sam ingin menyampaikan sesuatu ya? Silahkan, saya
izin duluan ya. Terima kasih.”
***
Aku
mengusap kerutan-kerutan yang ada di ujung mataku. Cermin memang tidak akan
pernah berbohong, aku telah renta. Kesepian. Erik memang telah menyendirikan
aku selama 10 tahun—ah, bukan menyendirikan aku, hanya mengajari aku tentang
kemandirian. Menghadapi hidup sendiri—ah, bukan sendiri, tetapi bersama Bima
dan Zasya yang sama-sama kuat.
Bima
sudah genap setahun menuntut ilmu di Swiss, beasiswa menjadi seorang koki
pastri. Aku sangat bisa membayangkan betapa manisnya masa tuaku ketika ia kembali
ke tanah air. Aku harap ia mendapatkan wanita yang mampu mendampingi
kegagahannya.
Aca
sekarang sudah kelas sebelas. Ah, anak
perempuan manis berkucir dua itu kini tumbuh dengan cepat menjadi seorang gadis
cantik yang sibuk. Empat ekstrakurikuler ia rengguk sekaligus berdampingan
dengan kegiatan akademiknya. Benar-benar anak pemberani. Aku sempat cemas
karena hampir setiap hari ia pulang malam semenjak dua bulan pertama SMA-nya.
Aku takut hal itu mengganggu kesehatan dan tentu saja prestasinya di sekolah, namun
aku tahu aku tidak mungkin melarangnya.
“Aku
hanya ingin mencoba melupakan dia, Bu. Tidak dilarang, kan? Ibu meng-inginkannya,
kan?”
Andri,
Andri dan Andri. Pebasket yang sejak setahun lalu berhasil menjatuhkan gadis
kuatku ke dalam gelora. Tidak, tidak. Tidak kali ini. Betapa aku melihat
sendiri ketika ia menyambangi sebuah kafe bersama teman-teman yang tidak aku
kenali wajahnya. Slurprise, Bar and Café. Aku mencoret namanya dalam-dalam di pikiranku.
Aku tidak perlu menceritakan bagian itu pada Aca.
Sudah
jam setengah 8 malam. Petir menyambar-nyambar langit, kulihat awan menjadi
putih seperti siang hari ketika petir menyentuhnya. Sudah dari jam 5 tadi
telepon genggam Aca tidak aktif. Semoga dia tidak kehujanan.
Decit
pagar membuyarkan lamunan. Aku bergegas membukakan pintu depan.
“Assalamualaikum
Ibu..”Aca mencium tanganku dengan lembut. Aku menjawab salamnya. Seperti
biasanya, tasnya selalu berat dan selalu membawa sesuatu yang lain di
tangannya. Entah itu gulungan karton untuk mading, clear holder berisi surat-surat izin untuk acara-acara
ekskul-ekskulnya, atau binder biru langit berisi seluruh catatan penting yang
selalu ia bawa kemana-mana apabila tas coklat bergaris putihnya tidak mampu
menampung seluruh benda. Kali ini ia membawa bindernya.
Wajahnya
pucat sekali, bibirnya juga seperti berbedak. Kalau telambat pulang sedikit,
mungkin dia sudah pingsan di tengah jalan. Aku segera membawakan tas pejalnya
dan menyuruhnya berbaring segera setelah berganti baju.
“Ibu
buatkan teh hangat ya, Ca. Gulanya Ibu ganti jadi madu. Ditambah lemon juga.
Mau kan?” ia mengangguk cepat. Meniti tangga pelan-pelan, tasnya sengaja aku
letakkan di bawah saja.
Uap
teh mengular di udara dingin.Hujan kini mulai turun deras. Aca terlihat masih
sangat pucat meskipun tidak seburuk saat pertama kali ia memasuki rumah.
“Kenapa
pulangnya malam sekali?”
"Latihan konser, Bu.
Lusa aku harus ke Grha Kresna soalnya ada gladiresik sampai jam 9 malam. Nanti
aku telpon Pak Ajo untuk menjemputku. Ibu nonton konser Aca, kan?”
“Iya, iya..Ibu nonton,
kok. Besok tidak usah masuk, ya? Sepertinya tubuhmu sudah protes, tuh.”
“Ah,
Bu, aku tidak apa-apa. Aku cuma butuh tidur sekarang..”
Benar
saja, ketika pagi menjelang, Aca tergopoh-gopoh menuruni tangga dengan wajah yang
sangat cerah dan enerjik. Tidak ada sisa kelelahan semalam sama sekali. Mata
cantiknya bersinar seperti yang biasanya terlihat.
“Ibu,
sarapannya aku bekal saja.. Aku hampir terlambat. Hari ini ulangan lisan bahasa
Indonesia jam pertama! Assalamualaikum Buuu..”
Ah,
anakku. Dan, oh, sepertinya dia melupakan ikat rambut hitamnya.
***
Hari ini kita
akan mengerjakan mading tema Chocolatier di ruang Jurnalistik. Jangan pada
kabur ya, soalnya sekolah pulang lebih awal dan jangan lupa bawa alat dan bahan
yangsudah dibagi-bagi di pertemuan sebelumnya. Cheer up!:)
Jarkom
rutinan selesai.Aku menyandarkan 3 gulungan karton coklat muda di meja makan
dan menyantap nasi goreng cabai hijau yang selalu terlezat buatan Ibu. Tidak
lupa segelas susu coklat hangat. Hari ini hujan turun syahdu, rintik-rintiknya
sangat kusenangi. Untung saja aku tidak harus membawa biolaku karena sudah
dititipkan di sekolah.
Bunyi
klakson Pak Ajo menembus jendela rumah, menyambangi telingaku.“Bu, Aca
berangkat ya. Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumussalam..”
“Acaa..
Gulungan kartonnya ketinggalan!”
Duh,
kenapa aku masih saja ceroboh? Mungkin aku terlalu bersemangat.
Aku
gelisah menunggu bel pulang sekolah yang dijanjikan lebih awal dua jam
pelajaran.Ketika bel akhirnya berdentang, rasanya seperti loncat dari kursi.Aku
bergegas membereskan barang-barangku dan melangkah menuju ruang Jurnalistik di
lantai dua.
Ruang
Jurnalistik nampak sepi. Aku memutar kunci dan melangkah masuk, mendapati ruang
Jurnalistik begitu berantakan oleh potongan kertas, sampah stereofoam yang
dipotong, debu, gulungan kertas hias kusam, dan sarang laba-laba. Tanpa pikir
panjang aku segera mengambil sapu dan pengki untuk membersihkan ruang
Jurnalistik.
Dua
puluh menit kemudian, semuanya tampak normal kembali. Seluruh sampah telah
diamankan, debu-debu kugiring pergi hingga aku bersin-bersin. Namun, ada satu
hal yang janggal. Kemana semua orang yang menerima jarkomku?
Aku
menggelar karton-kartonku di atas jajaran ubin. Membuat sketsa tipis untuk
memudahkan pemasangan konten. Dua lembar kertas berisi konsep mading bulan ini
aku tempel di dinding agar mudah dilihat. Namun, yang lain belum juga datang.
Aku
mengunci ruang Jurnalistik, meninggalkan tasku dan bergegas menuju kantin
sekolah. Mungkin aku bisa menemukan satu dua tim yang bisa membantuku. Satu dua
dari lima belas sudah sangat membantu.
Kulihat Juan dan Nagit
yang sedang menikmati nasi dan ayam goreng Bu Mul yang terkenal rasanya
menandingi restoran-restoran bintang lima. Aku pun teringat kalau aku belum
makan siang.
“Hai,
kalau sudah selesai makan langsung ke ruang Jurnalistik, ya! Bawa
bahan-bahannya kan?”
“Oh,
maaf Ca.. Aku harus segera ke tempat les.” Ujar Juan, menutup sendok dan
membereskan tasnya yang isinya berceceran.
“Aku
juga sudah dijemput Mom.” Nagit kembali memberikan jawaban yang mengecewakan.
Aku melangkah pergi mencari teman-teman yang lain.
Aku
melihat Nadine dan Femmy yang sedang mengobrol di depan gerbang luar sekolah.
“Hai,
ke ruang Jurnalistik yuk! Bawa bahan-bahannya kan?”
“Ah,
maaf Zas.. Aku nggak enak badan, sebentar lagi supirku menjemput.” Femmy
berkata dengan agak memelas, lalu menyilangkan tangannya di dada.
“Aku
juga tidak enak badan..” Nadine mengelak, memandang ke arah lain. Aku mendengus
pelan padanya. Bilang saja tidak mau ikut
kalau Femmy tidak ikut.
Aku
tidak menemukan yang lain. Mungkin yang lain juga sudah pulang. Mungkin sudah
bertebaran dengan kegiatan dan prioritasnya masing-masing. Dengan lesu aku
melangkah kembali ke ruang Jurnalistik. Sekarang jam 14.20, masih ada waktu 25
menit lagi.
Hari
ini Andri bahkan sama sekali tidak mengirimkan SMS padaku.
Aku
mengerjakan beberapa konten mading semampuku.Membuat pola di kertas-kertas
hias, menulis dengan tinta berbagai warna, menempelkan pita sebagai pemanis,
membuat judul mading dengan bentuk chocolate
chip cookies, dan menempelkan stiker-stiker permen sambil memutar playlist-ku. Sisanya mungkin bisa
dikerjakan yang lain, kalau mereka mau. Namun aku tidak bisa mencicilnya lagi
selain hari ini. Aku tidak mungkin membawa kata-kata dan warna-warna manis ke
dalam partitur-partiturku. Kak Wedya bisa pusing melihatnya.
If you could see
me now, would you recognize me?
“Oh
tidak, 14.50!” aku segera menggulung karton-kartonku, mengamankan konten-konten
berbentuk lucu di tasku, lalu segera mengunci ruang Jurnalistik dan berlari
menuruni tangga menuju halaman sekolah. Semoga saja aku tidak ditinggal mobil
sekolah yang berangkat menuju Grha Kresna, karena aku harus latihan duet biola
dan gitar dengan Kak Nuge.
Hari
ini aku akan melakukan gladi resik konser musik klasik perdanaku. Besok adalah
konser musik
klasik perdanaku, dan aku masih harus mengerjakan mading sekolah. Sendirian.
***
Tik,tik,tik.
Satu paragraf lagi,
maka tugas makalah ini selesai. Sudah bosan aku dihantui SMS dari Bu Yani yang
menyuruhku untuk segera menyelesaikan makalah yang sudah telat 2 minggu ini. Bunyi
printer tenggelam dalam sorak sorai siaran ulang pertandingan Persib melawan
Persipura.
Sudah
pukul 17.00, satu jam mungkin cukup untuk perjalanan. “Keenan, kakak berangkat
dulu. Tolong gembok pagar rumah.”
Keenan
menyahut sekenanya sambil menurunkan volume televisi.
Hari
ini aku akan bertemu Aca, atau kadang aku memanggilnya Ratu, lagi. Sudah lama
sekali setelah kami terakhir bertemu di reuni kecil-kecilan SMP. Aku tidak tahu
harus merasa senang atau malah gundah. Sepertinya bertemu Aca hanya akan
mendorongku ke jurang. Mungkin analoginya begini, Aca adalah kondisi dimana aku
berada di tepi jurang tanpa dasar. Dan Tante Rosa adalah yang akan mendorongku
seketika kedalam jurang itu. Mungkin Tante Rosa memang sudah mendorongku ke
jurang. Semengerikan itukah bersamamu?
Ah,
sudahlah.
Sebelum
men-starter motor, aku mengecek
telepon genggamku yang sedari tadi bergetar. Beberapa pesan masuk hari ini.
Mevia Sharon (7) 17.03
Aku tunggu di lobby Grha ya, nanti Haykal ikut(…)
Zasya (2) 16.47
hehehe:)
Bismo Dewantoro (1) 16.46
ah males nanti malem aja sekalian sama cheat(…)
XI MIA 4 (12) 16.31
FIX MINGGU DEPAN YA NO GOSCOY!
Aku tunggu di lobby Grha ya, nanti Haykal ikut(…)
Zasya (2) 16.47
hehehe:)
Bismo Dewantoro (1) 16.46
ah males nanti malem aja sekalian sama cheat(…)
XI MIA 4 (12) 16.31
FIX MINGGU DEPAN YA NO GOSCOY!
Aku sebenarnya tidak ingin membalasnya.
I’m heading there. See you soon;)
***
Tirai
merah tertutup. Gemuruh tepuk tangan terdengar sangat menyenangkan. Bukannya
rasa lelah yang menerpa, tetapi energi baru yang terus disuntikkan ke dalam
jiwa. Tidak sia-sia latihan yang selama ini kami semua lakukan. Konser ini
rasanya begitu sempurna. Ketika tirai dibuka kembali, aku segera menuruni
tangga depan panggung dan menghampiri Ibu yang duduk di barisan ke lima paling
depan.
Ibu
berdiri, tersenyum padaku. Dan lelaki di sampingnya, yang berperawakan tinggi,
berkulit putih, memakai kacamata, dan memakai kaos almamater kampus,…
“KABIM!!”
aku menghambur ke pelukan kakakku, tameng keluargaku.
Aku kangen sekali padanya.Jerawatnya sudah banyak berkurang sekarang.Model kacamatanya sudah berubah,
mungkin silindrisnya naik lagi.Dan tubuhnya makin tinggi, seperti Ayah.
Aku
menggelengkan kepala pelan, berusaha menghilangkan kata ‘Ayah’ seperti kucing
atau anjing yang sedang menggoyang-goyangkan badannya untuk menghilangkan kutu.
“Surprise..”
kata Ibu. Aku juga memeluk Ibu. Tidak ada yang lebih membahagiakan kecuali jika
kami bertiga bisa berkumpul lagi.
“Gott arbete, Aca! Tadi duetnya keren banget.
Partner duetnya ganteng, ya?”Kata Kabim menggodaku sambil mengacak-acak
rambutku, yang sebenarnya tidak bisa diacak-acak karena aku menggunakan
hairspray. “Apa sih, Kabim.Kakak kapan kesini?” tanyaku.
“Pesawat
landing sekitar jam 3 tadi, terus kakak
langsung dianter Ibu ke sini. Kakak sengaja meliburkan diri seminggu biar bisa
main!” kata Kabim sambil tertawa ringan. Aku juga tertawa. Aku senang, senang
sekali. Lebih senang lagi kalau Ayah juga bisa ikut tertawa di sini.
Aku
tidak perlu memikirkannya lebih lanjut. Aku menggelengkan kepala pelan, lagi,
berusaha menghilangkan kata ‘Ayah’ seperti kucing atau anjing yang sedang
menggoyang-goyangkan badannya untuk menghilangkan kutu.
“Kakak
temani Ibu ke toilet dulu, ya.” Kata Kabim, kemudian mereka berlalu.
Aku
melihat Andri, mematung di atas kedua kaki jenjang dan kekarnya, di pinggir
deretan kursi.Akhirnya aku melihat Andri. Aku tidak tahu harus merindukannya
atau tidak. Harus bertemu dengannya lagi atau tidak.
Harus mencintainya
terus atau tidak.
Tapi dia menepati
janjinya untuk menonton konser musik klasik ini.
“Andri.”
Dia
tidak menjawab, hanya tersenyum. Kami duduk bersebelahan di sembarang kursi
penonton. Lebih tepatnya di tengah, menampakkan panggung secara keseluruhan,
membuat segalanya terasa lebih dramatis. Andri bersandar di kursi penonton dan
menatap lurus. Tidak pernah sekalipun aku tidak terpesona oleh lekuk wajahnya,
ketajaman pandangannya, kumis tipisnya.
“Kamu
cantik.”
“Tadi
aku sempat salah memainkan senar, jadi nadanya sumbang.”
“Kamu
cantik.”
“Tadi
yang mendandani aku terlalu tebal menambahkan pensil alis.”
“Kamu
cantik. Sampai kapanpun. Ngomong-ngomong, kemana pipi tembamnya? Kamu makan,
ya?” kami tertawa. Andri seperti Mbak Dewi yang mendandaniku di belakang
panggung tadi, dia dengan baik memberikan perona pipi sampai tebal sekali.
“Kamu
pasti capek sekali. Sibuk, bahkan aku tidak tahu kapan aku bisa bertemu
denganmu.” Dia menatap lurus sambil tersenyum. “Apa aku mengganggumu?”
“Kenapa
terus menanyakan itu? Tidak, kok.”
Kami
terdiam cukup lama. Hiruk pikuk para petugas yang membereskan panggung belum
selesai. Tapi otak ini sepertinya lebih ribut lagi.
“Tadi
nonton sama siapa aja?” aku mencoba memecahkan kebekuan.
“Mevi
sama Haykal.”
“Kamu
yang jadi nyamuk atau malah Haykal yang jadi nyamuk?”
“Kamu
cemburu?” dia tertawa ringan, tangan kanannya berpindah ke punggung tangan
kiriku. “Tidak ada yang jadi nyamuk, kok. Semua baik-baik saja.”
Aku
menarik tanganku, terdiam. Aku teringat Ibu. “Oh iya..”
Aku
mendengar tepukan tangan tiga kali yang sangat keras dari atas panggung. “Semua
pemain diharapkan segera berkumpul dulu di backstage
untuk briefing penutupan.” Rupanya Kak Wedya.
“Oh
iya-nya simpan untuk nanti saja. Cepetan tuh, udah ditungguin.”
“Kamu
pulang saja, jangan tungguin aku. Kecuali kalau mau ketemu dulu sama Ibu.”
“Nggak,
ah.” Andri tertawa getir. “ Keenan pasti menunggu di rumah. Dah, Aca.”
“Dah,
Andri. Terima kasih sudah mau datang.”
Ini
tidak seberat yang kukira, tapi lebih berat.
***
“Terima
kasih ya, Kak.” Kata Ibu sembari kami memasuki ruang kedap suara serbaguna itu
lagi. Beledu merah marun yang melapisi dinding ruangan sangat lembut ketika aku
menyentuhnya. Aku tidak keberatan jika beledu itu suatu saat melapisi sofa di
rumah. Jam analog yang tergantung mungil di sudut dinding menunjukkan pukul
20.35. Mungkin masih setengah jam lagi sebelum Aca selesai dengan urusannya.
Di
pintu masuk, Ibu terhenyak memandangi kursi penonton. “Ada apa, Bu?”
Aku
memandang ke arah pandangan Ibu. Sepertinya kami memikirkan hal yang sama.
“Jag se, mamma.Tidak apa-apa.Namanya juga
anak muda.”
“Kamu
juga anak muda, tapi tidak seperti itu.” Ibu terkekeh.“Kalau Andri seperti
kamu, mungkin sekarang dia sudah pulang.”
"Ibu tidak ingin ada
Andri lagi di kehidupan Aca, Nak. Dia hanya bermain.” Penekanan yang dilakukan
Ibu begitu menusuk, nampak sangat ketidaksukaan Ibu kepada lelaki jangkung itu.
Aku
memahami sekali keadaan ini.
***
“Aca,
makan yuk. Istirahatnya 15 menit lagi, lho.”Aku mencolek bahu Aca yang nampak
tidak rileks karena serius mengerjakan sesuatu di laptopnya.
“Sebentar,
kamu duluan deh.Aku makannya pulang sekolah saja. Surat-surat ini harus sudah
diprint sebelum bel masuk nanti, soalnya sudah ditagih sama Kak Pandu.”
Baru
selesai konser, sekarang Aca sudah tenggelam lagi dengan jabatannya sebagai
sekretaris acara besar sekolah tahun ini: Training for Leaders. Acara yang
diwajibkan oleh sekolah untuk seluruh siswa siswi kelas sepuluh selama empat
bulan berturut-turut. Panitianya adalah siswa siswi kelas sebelas dan dua belas
yang mendaftarkan diri melalui open recruitment.Sekarang sudah berjalan satu
bulan.
Aku
duduk saja memperhatikan Aca di bangkunya. Bukan main gerahnya hari ini, dan
ini adalah botol ketiga yang kuminum. Jemari Aca terus menari di atas keyboard laptopnya tanpa henti,
seakan-akan setiap jarinya memiliki dua mata. Dua puluh mata Aca sedang
mengetikkan surat undangan kepada pemateri Leadership bulan ini. Dan list
surat-surat yang harus ia kerjakan segera masih mengantri di potongan post-it berwarna kuning pucat yang
tertempel mencolok di sampul binder biru langitnya.
Lambungku
sudah meronta-ronta. Ayo, Trian. Triana tidak bisa kalau tidak makan. Ulangan
Matematika Pak Sucipto akan segera datang dengan segala perangkatnya yang
mematikan ketika bel masuk berbunyi. Dan aku yakin, meskipun tidak dengan
makan, Aca masih bisa mendapatkan 90. Aku bergegas meninggalkan Aca yang masih
terpekur di bangkunya.
Di
ujung koridor, aku mendengar seseorang bersuara agak berat berteriak di daun
pintu kelas. “Zasya!”
Ah,
dasar orang sibuk.
***
Selamat malam. Ratu.
Aku menimbun telepon genggamku
dengan dua buah bantal. Malam ini aku akan tidur dengan dua buah bantal di
bawah kepala.
***
Adalah
sebuah kebetulan ketika Ibu memasak mie celor untukku pagi ini.Makanan
Palembang ini adalah pelaku yang membuatku merasakan indahnya cinta pertama.
Oh, tentu saja cinta yang paling pertama adalah Ibu.
“Terima
kasih, Bu.”
“Selamat
makan. Oh iya, Ibu buatkan teh manis dulu, ya.”
Pelangi,
aku melihat pelangi. Pelangi kelabu menggantung, mengambang di antara nyata dan
irrasional. Sepertinya pelangi-pelangi kelabu memijat kepalaku di tempat yang
salah. Rasanya seperti hanyut di arus kabut, tidak ada udara yang bisa kuhirup.
Hanya kebingungan. Gemerisik bunyi angin menerabas telinga kananku hingga
menembus ke telinga kiriku.
Kabutnya
semakin pudar. Aku berharap bisa melihat Andri dan mengatakan kepadanya beban tidak nyata yang selama ini menyumpal otak
dan lidahku. Melemparkan semua
massa tanpa wujud kepadanya, tanpa alasan. Yang aku tahu hanya karena doktrin
yang terindah dari paradigm terindah dan terbijak yang pernah aku tahu.
Sekarang kabutnya sempurna hilang, tapi Andri tidak ada di hadapanku.
“Aca,
mie celornya sudah mau dingin, tuh.” Ibu membangunkanku lembut.
Ini
bukan malam hari, Aca. Tidak mungkin ada kunang-kunang di meja makan, tidak
mungkin pula
Ibu sengaja membiakkannya di meja
makan. Aku mengayunkan kelopak mataku turun dan membuka perlahan. Tanganku
ringkih menopang kepalaku yang terasa seperti bola beton.
“Lihatlah
wajah bulan purnamamu, Nak.” Ibu menyentuh daguku, mengangkatnya dengan satu
jarinya dengan lembut “Apakah bulan purnamamu sedang beristirahat? Ibu
kehilangan cahaya temaram dari wajahmu.”
Setahuku, belum ada yang bisa menandingi kelihaian tutur kata
Ibuku. Apakah deritanya selama ini menggerus hatinya hingga selembut garam meja?
Sedikit, namun bila dicecap ujung lidah maka rasanya menyebar ke seluruh rongga
mulut. “Berceritalah,”
Aku menopang pipiku yang mulai
mengempis di atas sendi-sendi jariku yang semakin kurus. ”Sulit sekali ya, Bu..”
Aku tidak suka merasakan hal-hal yang sebetulnya tidak penting ini, apa lagi
mengungkapkannya.
Ibu menguarkan senyum bijaknya sama bersinar seperti wajahnya. Kerut-kerut
wajahnya semakin dalam belakangan ini, begitu pula warna rambutnya yang semakin memutih. Kapan aku
terakhir memperhatikan wajah Ibu lebih dekat, aku tidak begitu ingat.
Hari-hariku mengikis Andri yang menyelusup di setiap lekuk-lekuk otakku begitu
mudah merobohkan pilar-pilar waktu. Tapi pepatah tak terpatahkan mengatakan, mati satu tumbuh seribu,dan aku kesulitan sekarang. Begitu cepatkah waktu berlalu?
“Aca
tidak perlu memaksakan diri seperti itu,” kata Ibu.
Memilin-milin
rambut. “Lalu?”
***
“Terima
kasih,” dua mangkok mie ayam terhidang menggiurkan di atas meja, aromanya
menyusup ke dalam indra. Namun aku tidak begitu berselera untuk memakannya. Mie
ayam ini hanya sekedar formalitas supaya aku bisa menemukan tempat yang agak sepi.
“Bagaimana
keadaannya sekarang?”
“Dia
menghindariku. Amat sangat. Kamu tahu, dia begitu sibuk sekarang. Empat ekskul
dia jalani sekaligus sebagai pengurus utama.”
“Nekat
sekali rupanya. Itu pasti lebih berat daripada menjadi pengurus OSIS.”
"Sayang
sekali, dia memang tidak menjadi pengurus OSIS. Dia hanya menjadi orang
kepercayaan OSIS apabila ada masalah yang sulit diselesaikan.”
Dia
menepuk dahinya dengan keras. “Astaga.”
“Sudah
tiga hari ini dia tidak membalas semua pesanku.”
“Dia…
sengaja melakukannya.”
“Bukan
dia, tapi Tante Rosa.” Aku menubrukkan punggungku ke sandaran kursi. Kuah mie
ayam bergolak pelan, tak tersentuh.
Mevia
diam, tidak memberikan tanggapan apapun. Sehelai demi sehelai mie meluncur ke
dalam mulutnya. Wangi sambal menyengat hidung. “Kalian sepertinya sedang
mengalami masalah yang lebih besar daripada masalah yang sering dialami
orang-orang. Kalian sudah meloncat melebihi orang lain. Kamu sudah diperhatikan
oleh Tante Rosa.”
Analisis
pedas Mevia sepertinya melebihi pedas sambal yang ia tambahkan kedalam
mangkoknya.
“Masalahnya
adalah, dia tidak suka padamu.”
Jangan
kesimpulan yang sama lagi.
Aku
menyandarkan dahiku di dua tangan, memperhatikan mangkok mie ayamku yang uapnya
sudah menghilang. Ludes sudah seluruh nafsu makanku.
“Kamu
ingin dia bahagia, kan?”
“…iya.”
Aku ragu. Selama ini aku hanya ingin, dia bersamaku saja.
“Lepaskan
dia. Jangan desak dia dengan teror-teror kebingungan untuk mening-galkanmu atau
tidak. Lakukan duluan.”
“Semua
akan baik-baik saja.”
“Serius?”
“Sekarang
makan, atau aku yang habiskan. Dan aku akan berterima kasih atas traktiran dua
mangkok mie ayam dan segelas es jeruk. Jangan sampai sakit cuma karena memikirkan
hal yang sering terjadi.”
Sekarang
aku merasa lebih tenang. Tenang yang berbeda.
***
Jam
menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Suara keyboard
menggantikan derik-derik jangkrik yang biasanya menghiasi malam. Laporan ini
harus segera kuselesaikan bagaimanapun caranya. Mungkin aku tidak akan tidur
malam ini.
Aku
menghentikan pekerjaan. Suasana mendadak sunyi senyap. Ah, untung saja Ibu
tidak terbangun. Beberapa kali aku dipergoki tidur terlalu malam, dan
sepertinya Ibu kurang menyukainya. Aku kembali memfokuskan diri pada layar yang
menyala redup di tengah sinar lampu.
Drrrt.
Aku
terhenyak, hampir terjungkal dari kursi.
Selamat pagi,
Aca.
Ada
apa gerangan Andri memulai percakapan pagi-pagi buta? Aku memang berusaha untuk
tidak mengontaknya empat hari belakangan. Lima puluh persen karena pekerjaan,
lima puluh persen lagi karena Ibu. Aku mengeraskan bunyi ketikanku, mengetik
puluhan kata lebih cepat seperti dirasuki kamus, hingga sepertinya dalam
beberapa jam kedepan aku akan merusak laptopku.
Aku tahu kamu
masih bangun, Ca.
Dia
tidak pernah salah menebakku.
***
Sekolah
tampak lebih ramai hari ini. Sebagian besar guru sedang rapat di kantor dinas.
Sepertinya tidak ada yang mempedulikan akademik, banyak sekali ekstrakurikuler
yang melakukan rapat dan sebagainya.
Aku
menumpuk buku-buku supaya mudah dimasukkan ke dalam tas, kemudian mengecek
kembali post-it yang tertempel di
sampul binder biru langitku, yang catnya mulai terkelupas setelah setahun
ditarik-tarik plastik berlumur perekat. Jam 12.05. Aku yakin tidak akan ada
pelajaran lagi setelah ini, jadi aku bisa pulang—melakukan rapat-rapat
selanjutnya.
Telepon
genggamku terus bergetar seperti hendak meloncat keluar saku.
Sinematografi (10) 12.35
Zasya mana Zasya, butuh kameramen (…)
Ambalan IF-TP 12.34
Kak Zakinya nggak bisa kalo lusa
Rumpi Cantik Jurnalistik 12.33
Jam 1.15 di ruang Jurlis, jangan lupa ma(…)
Klasik Musik (3) 12.33
Jadwal latihannya udah diupdate Kak(…)
Pandu Adikamalla (2)12.30
Saya tunggu di gerbang belakang, ya
Zasya mana Zasya, butuh kameramen (…)
Ambalan IF-TP 12.34
Kak Zakinya nggak bisa kalo lusa
Rumpi Cantik Jurnalistik 12.33
Jam 1.15 di ruang Jurlis, jangan lupa ma(…)
Klasik Musik (3) 12.33
Jadwal latihannya udah diupdate Kak(…)
Pandu Adikamalla (2)12.30
Saya tunggu di gerbang belakang, ya
Derap
langkahku tenggelam bersama desak sepatu-sepatu bertali putih kusam yang ribut
melangkah ke segala arah. Beberapa lingkaran besar telah terbentuk di selasar
kelas sebelas. Sejauh pandanganku terlihat klub softball yang sedang melakukan
pemilihan ketua periode baru, kelompok ilmiah remaja yang sedang berlatih
presentasi, rapat koordinasi beberapa divisi OSIS, dan Kak Pandu yang berjalan menuju gerbang
belakang sekolah.
Sudah
agak samar ingatanku tentang pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang
menurutku paling kharismatik di sekolah, yaitu Kak Pandu, sang ketua OSIS.
Sepertinya aku mengenal Kak Pandu pertama kali saat aku ditugasi untuk menjadi
sekretaris di kegiatan perkemahan wajib yang diikuti oleh seluruh kelas sebelas
sekitar delapan bulan lalu. Aku sendiri tidak menyangka bahwa beberapa minggu
yang lalu Kak Pandu berkata kepadaku dengan begitu serius dan objektif, “Kamu
bagus. Suatu saat kalau saya ada masalah, boleh nggak saya konsultasi sama kamu?”
Menurutku, belum ada
sampai saat ini yang mampu menandingi langkah sigapnya, ketajaman pikirannya,
ketenangannya dan kemantapannya dalam mengambil keputusan, serta kemampuannya
untuk menggerakkan orang lain. Mungkin, meskipun nanti ketua OSIS yang baru
akan dilantik, aku akan tetap menganggap Kak Pandu sebagai ketua.
Aku menunggu sampai Kak
Pandu menghilang dari kerumunan, baru berjalan ke arah yang sama, menuju
gerbang belakang sekolah. Aku menghiraukan rasa laparku—sebetulnya aku tidak
lapar. Perutku sudah penuh dengan berbagai pikiran, sehingga akhir-akhir ini
aku cepat merasa kenyang.
Drrrt. Drrrt. Drrrt.
Argh!
“Halo?”
“Aca, kamu ditunggu Bu
Meri di ruang guru.” Rupanya Triana.
Argh!
***
80
km/jam dan nyaris lupa untuk memakai helm, dan aku masih terus berusaha memacu
motorku di jalan pintas yang agak sepi. Jalan pintas yang kuambil agak lebih
jauh, sekitar dua kali jarak yang biasa, sehingga aku harus cepat. Sekarang
memang masih jam setengah satu siang, tapi entah mengapa otakku terus meminta
jari-jariku untuk memutar gas dan menyusup di antara mobil-mobil.
TIN!
12.45,
apakah aku terlambat? Aku tahu kalau bel pulang sekolah Aca masih satu setengah
jam lagi, tapi kenapa aku begitu terburu-buru?
Aku
menunggu di dekat pintu gerbang belakang, siapa tahu Aca akan keluar atau
temannya akan keluar, sehingga aku bisa menanyakan dimana Aca.
***
Kak, kalau
ketemuannya jadi jam 1 gimana? Aku harus ke Bu Meri dulu
Aku
menggerutu di depan layar telepon genggam. Berarti aku harus menunggu 15 menit
lagi untuk menerima print out seluruh
surat-surat yang dibutuhkan untuk Training for Leaders. Ah, tidak apa-apa. Dia
sudah bekerja sangat keras.
Belum pernah aku
menemukan seseorang yang lebih berdedikasi tinggi dari Zasya. Dibalik rambut
ikal panjangnya yang berwarna kecoklatan alami, aku menemukan kedalaman pikiran
dan perasaan yang begitu seimbang dan sinkron. Matanya bercahaya dan penuh
dengan rasa optimis. Kepada siapapun ia berbicara, keceriaannya selalu membawa
suasana menjadi lebih baik. Namun ketika membawa pembicaraan kepada topik yang
berat dan butuh pemikiran tajam, kemampuannya menganalisis keadaan dan
solusi-solusinya yang cerdas dan berbeda menguar kuat dari dalam dirinya. Aku
tidak ingin memanfaatkannya, tetapi aku ingin mengembangkannya. Aku ingin
mengenalnya lebih jauh.
Aku memutuskan untuk
membeli nasi timbel selagi menunggunya. Rasa lapar memukul-mukul lambungku yang
kosong.
***
"Terima
kasih, Bu. Nanti saya perbaiki.” Urusan ini ternyata berjalan dengan mudah.
Untung saja Bu Meri tidak marah. Aku berjalan keluar ruang guru dengan santai.
12.50, entahlah, kenapa aku selalu mengecek arlojiku? Masih sepuluh menit lagi
sebelum bertemu dengan Kak Pandu. Masih 25 menit lagi sebelum rapat
Jurnalistik. Hari ini juga tidak ada latihan musik klasik. Latihan lomba
pramuka memang hari ini, tapi masih agak lama, jam setengah 3. Aku tidak membawa kamera untuk penggarapan
proyek video dokumenter, jadi aku memutuskan untuk hadir agak terlambat. Kenapa
otakku begitu tertekan? Aku mempercepat langkahku tanpa sadar.
Aku
akan bertemu Kak Pandu di gerbang belakang sekolah, tapi aku tidak melihat Kak
Pandu. Aku melihat Andri.
***
Lakukan duluan.
Firasatku
tidak meleset. Aca berjalan ke arahku dengan wajah kebingungan.
“Aca.”
“Andri,
ada apa?”
“Ada
perlu penting.” Wajah Aca berubah semakin bingung. “Kamu tidak membalas apapun
selama empat hari.”
Dia
tertawa tipis. Lihat, dia bahkan tertawa. Aku ikut tertawa.
“Sekarang
serius.” Aku terdiam lagi. Aca memandangiku, matanya masih tersenyum.
“Apa
yang terjadi,” aku memikirkan kata-kata yang tepat hingga menjadi terlalu gugup.
“kalau aku sudah tidak suka padamu?”
Astaga,
aku mengucapkan hal yang salah. Matanya masih tersenyum.
“Aku..
Maaf, aku tidak ingin membebanimu. Pasti berat, ya, jika terlalu banyak yang
kamu pikirkan. Sekarang berkurang satu.”
Matanya
masih tersenyum. Lihat, matanya masih tersenyum. Tidak ada yang berubah.
“Aku
tahu ibumu..”
“Ndri.”
Dia berkata pendek. “Kamu mendahului aku. Harusnya aku yang mengatakan ini.”
Dia terkikik geli, seakan-akan ini semua skenario.
Aku
tidak tahu harus merasa lega atau tidak. “Terima kasih.”
“Terima
kasih juga, Andri.” Matanya masih tersenyum. “Sekarang, boleh nggak aku pergi?
Aku mau ketemu Kak Pandu, ada urusan person
to person.”
Alisku
naik. “Siapa?”
“Cemburu?
Bukan siapa-siapa kamu lagi, jadi jangan tanya-tanya.” Wajahnya nampak begitu
menyenangkan, bahkan dia berbicara dengan nada yang ringan seakan-akan dia
sedang bercanda. “Dah, Andri.”
Aku
tertawa getir. “Dah, Aca. Terima kasih banyak.”
Aca
meninggalkanku dengan perasaan bingung yang begitu menghunjam.
***
“Kak,”
“Iya,
kenapa Ca?”
“Mau
minta tolong, nitip map ini buat Kak Pandu, ya.. Makasih banyak, Kak.”
“Oh
iya, sama-sama Aca.”
Aku
berjalan sejauh, ya, sejauh hingga aku merasa kalau Andri tidak bisa melihatku
lagi. Jantungku menggebuk-gebuk heboh seperti para suporter bola yang baru saja
menyaksikan gol yang dicetak oleh pemain idola mereka. Aku segera mengecek
telepon genggamku.
Pandu Adikamalla (1) 13.07
Saya udah di gerbang belakang, kamu dim(…)
Klasik Musik (6)13.05
Kalo Aca bisa nggak ke Pak Mahmud seka(..)
Rumpi Cantik Jurnalistik (3) 13.02
Zasya Narendra, dimana kamu nak?:(
Ambalan IF-TP (5) 13.02
Jadi yang bisa siapa aja nih?
Sinematografi (3) 13.00
Pada dimana mantemaan
Saya udah di gerbang belakang, kamu dim(…)
Klasik Musik (6)13.05
Kalo Aca bisa nggak ke Pak Mahmud seka(..)
Rumpi Cantik Jurnalistik (3) 13.02
Zasya Narendra, dimana kamu nak?:(
Ambalan IF-TP (5) 13.02
Jadi yang bisa siapa aja nih?
Sinematografi (3) 13.00
Pada dimana mantemaan
Aku terdiam memandangi layar telepon genggam.
Pandu Adikamalla 13.08
Maaf, aku sakit
Klasik Musik 13.08
Maaf, aku sakit
Rumpi Cantik Jurnalistik 13.08
Maaf, aku sakit
Ambalan IF-TP 13.08
Maaf, aku sakit
Sinematografi 13.08
Maaf, aku sakit
Maaf, aku sakit
Klasik Musik 13.08
Maaf, aku sakit
Rumpi Cantik Jurnalistik 13.08
Maaf, aku sakit
Ambalan IF-TP 13.08
Maaf, aku sakit
Sinematografi 13.08
Maaf, aku sakit
Hati
mengambil alih fungsi otak yang akan memerintahkan kaki untuk melangkah menuju
gerbang belakang sekolah, ruang Jurnalistik, lapangan upacara tempat shooting,
ruang Pak Mahmud, dan ruang pramuka
dengan sangat otoriter.
***
Lembut
mengalun ketika bow menggesek dawai-dawai biola, menimbulkan nada-nada penuh
nostalgia yang begitu indah. Kapan lagi aku bisa merasakan jiwa muda seperti
dulu?
Krieeet.
Suara
pagar yang bergeser membuatku terkejut dan hampir menjatuhkan biola Aca,
menghentikan lagu My Heart Will Go On yang
belum rampung setengahnya. Siapa gerangan tamu yang datang di siang bolong
begini? Jarang sekali.
“Assalamualaikum
Ibu..”
Aca
pulang jam dua siang? Aku nyaris melonjak bahagia ketika membukakan pintu
untuknya. “Ada malaikat yang menunggu Ibu membukakan pintu untuknya.” Aku
berkata dengan gembira.
“Ada
malaikat yang membukakan pintu untukku.” Aca tersenyum manis dan memasuki
rumah.
Tapi,
ada yang berbeda. Seketika wajahnya menjadi merah padam seperti sedang demam,
matanya semakin sayu, langkahnya semakin lemah. Aca ambruk begitu saja di kasur
kamarku dan meringkuk.
“Kenapa,
Nak?”
Dia
malah tersenyum seperti tidak ada beban sama sekali. “Apa yang Ibu inginkan
sudah terlaksana. Lebih tepatnya, Andri yang melakukannya.”
Aku
tidak tahu harus senang atau terkejut, tapi sekarang rasanya aku ingin tertawa.
***
“Ketika
Bunda bebas dari Andri, rasanya seperti burung lepas dari sangkar. Ibu
memenangkan lomba pramuka itu, dan beberapa bulan setelah itu Ibu ikut lomba
mading tiga dimensi dan meraih juara 1. Film dokumenter buatan kami menjadi
begitu bagus sampai diikutsertakan dalam lomba tingkat provinsi.”
“Lalu,
film dokumenter itu bagaimana?” Imelda memandang penasaran.
“Tentu
saja naik ke tingkat nasional.”
“Terus,
terus?”
Aku
memelankan suaraku. “Lalu, Ayah datang.”
Imelda
memandang heran. “Ayah memang sudah datang dari tadi, kan?”
“Bukan
itu maksud Bunda, sayang. Ayah datang.” Aku memberikan penekanan pada frasa
terakhir. Bibir Imelda membulat seakan baru mendapatkan sesuatu yang lebih
manis daripada coklat yang diberikan pebasket itu kemarin.
Terdengar
suara dari kejauhan. “Imeel, tolong bantu Ayah.”
“Bun,
makasih banget ceritanya. Aku mau membantu Pak Ketua OSIS dulu.” Ujarnya
sebelum berlari ke gudang. Aku tertawa geli.
***
Aku
terpekur di depan komputer, memandangi pekerjaan kosong yang aku lakukan selama
hampir setengah jam mencari ide. Di sudut meja belajar, aku melihat kotak
coklat kosong pemberian Rheza dua hari yang lalu yang sudah kosong. Aku
menyimpan kotaknya karena bentuknya yang lucu.
Mendadak,
seperti dibangunkan oleh percikan air, aku mendapatkan ide.
“Buun.”
“Iya,
Nak?”
“Aku
pakai cerita Ibu untuk membuat tugas cerpen, ya?”
“Silahkan
saja, tapi namanya diganti ya.” Suara tawa dari lantai bawah.
Sepertinya
aku sudah bisa membayangkan prolog dari ceritaku.
Malam
ini terasa sangat sunyi.Bahkan bunyi angin pun tidak ada.Yang ada hanya kebingungan
karena cerita-cerita masa lalu Ibu.
Putri Ardhya Anindita
(30) – XI IPA 2 SMA Negeri 3 Bandung
Comments