302B, 12 Desember 2014

Besok adalah hari terakhir ujian, dan panitia ujian sepertinya tak tanggung-tanggung dalam memberikan epilog untuk kami: matematika. Zzznggg.. Rasanya seperti ada dengungan mistis saat kami mendengar kata "matematika". Entah karena pelajarannya yang mistis atau gurunya yang mistis, yang jelas nilai-nilai yang tercetak dari satu per satu ulangan selalu miris.
Baru lima orang dari dua belas orang yang telah standby di ruang kelas bimbel, menunggu Pak Jalaludin, sang master, datang ke kelas. Hembus AC masih terasa beku di kulit. Termometer ruangan menunjukkan 18 derajat--belum terlalu menyiksa karena beku, namun gerimis di luar sangat mendukung suasana dingin di dalam.
Viola duduk bersandar di dinding kedap suara, meluruskan kakinya di lantai sambil mengerutkan otot-otot wajah di sekitar matanya. Jempol dan telunjuk kanannya sibuk memijat wajahnya. Entah apa yang sedang ia lamunkan di dalam besi tipis yang memancarkan tulisan dan romansa itu.
Sekitar satu meter dari kedudukan Viola, Trisha sibuk mengutuk besi tipisnya yang lebih tipis dari milik Viola. Menggerung. Mungkin ada masalah dengan Naufal, si primadona sekolah itu. Tak jarang memang pertengkaran kecil selalu akan menjadi hiasan lucu dan menggemaskan dalam suatu simpul rasa, bagaikan tahi lalat. Kecil, hitam, aneh, tapi membuat wajah terlihat semakin manis.
Viola menarik kacamata bingkai hitamnya dengan cepat, meletakkannya di lantai. "Sepertinya aku pakai softlense aja."
"Hah, serius?"
"Iya, serius. Nanti aku pakai yang warna bening aja biar nggak terlalu mencolok."
Dari tadi Fay hanya menyimak suasana saja. Seblak dikunyahnya lamat-lamat, sepertinya hari ini dia beruntung mendapatkan racikan bumbu yang pas pedas gurihnya. Dinginnya AC dengan cepat menjajah uap panas seblak yang wangi, menyisakan selimut tipis kepul uap yang menjadi minoritas. "Yakin? Bisa telaten nggak?"
"Hhmm, iya juga sih. Tapi kacamata ini merepotkan sekali." Viola memainkan kacamata dengan lensa cekungnya itu.
"Jangan ih, nanti jadi aneh. Aneh." rasa kesal Trisha terbawa dalam gaya bicaranya yang menjadi asal-asalan.
"Ah, kamu.." Fay tertawa, nyaris tersedak sambal. "Belum juga lihat dia pakai softlense. Nanti juga biasa. Jangan protes sama 'berubah'."
Trisha mendorong dahinya ke arah dinding, membuat bunyi 'jeduk'. Semua orang tertawa, memahami. Sementara itu Fay sibuk mengelus-elus punggung teman sejawatnya yang tertelungkup, bergetar sedikit karena tawa getir.

Comments

See also

Supermarket

Truth or Dare

Resep Tahu Gejrot Luezaaat