Larut
Larut. Larut malam dalam pesona kejora. Larut kesadaran dalam buaian kemul. Larut harta dalam hingar bingar. Larut tawa dalam bercangkir kopi, atau teh, atau minuman yang judulnya aneh-aneh di menu.
Larut aku dalam kerasnya beton trotoar.
Letih sekali rasanya setelah ke sekian ratus kali melewati jalan ini, jalan pulang yang arahnya ke ujung gang buntu di tengah bisingnya kota semi-metropolitan. Langkah demi langkah diseret demi sampai ke sebuah kamar sempit yang dijejali angan tak kunjung nyata. Kamar yang nyaris tidak pernah kubayar bulanannya karena si kakek yang sudah lupa kalau dia punya kamar yang disewakan padaku sejak dua tahun lalu. Berulang aku mencoba membayarnya, dia malah bilang: "Aku bukan pengemis! Untuk apa dikasih duit yang tidak tau asalnya darimana." Anak-anaknya cuma terdiam memandangi uang sewa bulanan di tanganku yang tak seberapa.
Aku menapaki jalan masuk gang yang dingin berlumut, berusaha menggugurkan setiap beban keberhasilan yang tertunda hari ini sambil tetap menghormati momen yang telah terjadi. Sebelum masuk kamar, aku memandangi tumpukan map biola biru di dekapan. Satu hari penuh perjuangan akan segera bersambung lagi ke hari esok.
Suara decit pintu. "Ah, mungkin aku harus mulai jadi seniman lagi." aku memulai percakapan dengan diriku sendiri. "Tapi modalnya dari mana?"
Rebah aku di kasur lipat kempes, memandang lurus ke arah pigura berisikan foto Mamak dan Abah. Aku sudah janji akan memberangkatkan mereka ke Tanah Suci. Sudah berjalan dua tahun sejak kudaftarkan keduanya, sudah berjalan dua tahun sejak aku banting tulang di kota orang.
Jalan masih panjang, tinggal ditapaki.
Larut aku dalam angan dan kempesnya kasur lipat.
Larut aku dalam kerasnya beton trotoar.
Letih sekali rasanya setelah ke sekian ratus kali melewati jalan ini, jalan pulang yang arahnya ke ujung gang buntu di tengah bisingnya kota semi-metropolitan. Langkah demi langkah diseret demi sampai ke sebuah kamar sempit yang dijejali angan tak kunjung nyata. Kamar yang nyaris tidak pernah kubayar bulanannya karena si kakek yang sudah lupa kalau dia punya kamar yang disewakan padaku sejak dua tahun lalu. Berulang aku mencoba membayarnya, dia malah bilang: "Aku bukan pengemis! Untuk apa dikasih duit yang tidak tau asalnya darimana." Anak-anaknya cuma terdiam memandangi uang sewa bulanan di tanganku yang tak seberapa.
Aku menapaki jalan masuk gang yang dingin berlumut, berusaha menggugurkan setiap beban keberhasilan yang tertunda hari ini sambil tetap menghormati momen yang telah terjadi. Sebelum masuk kamar, aku memandangi tumpukan map biola biru di dekapan. Satu hari penuh perjuangan akan segera bersambung lagi ke hari esok.
Suara decit pintu. "Ah, mungkin aku harus mulai jadi seniman lagi." aku memulai percakapan dengan diriku sendiri. "Tapi modalnya dari mana?"
Rebah aku di kasur lipat kempes, memandang lurus ke arah pigura berisikan foto Mamak dan Abah. Aku sudah janji akan memberangkatkan mereka ke Tanah Suci. Sudah berjalan dua tahun sejak kudaftarkan keduanya, sudah berjalan dua tahun sejak aku banting tulang di kota orang.
Jalan masih panjang, tinggal ditapaki.
Larut aku dalam angan dan kempesnya kasur lipat.
Ditulis sebagai bentuk partisipasi dalam 30 Hari Bercerita tahun 2019. #30HariBercerita #30HBC1908
Comments