Tenang
Ini adalah ketiga kalinya saya merasa tenang ketika grup obrolan whatsapp rusuh membahas turunnya harga daun bawang. Tidak main-main, nyaris setengah harga normal. Banyak petani kemudian bingung bagaimana cara menjual habis daun bawang tanpa nombokin harga modal dan tetap bisa hidup cukup sekeluarga. Tengkulak, bagi mereka, adalah satu-satunya harapan. Belum lagi kalau si tengkulak adalah saudara dekat petani, untung tak untung tetap dijual karena hubungan keluarga.
Saya segera beralih ke daftar kontak. Menelepon.
"Halo, Pak?"
"Mas Daniel! Saya ada panen daun bawang cukup banyak, bisa tampung?"
"Berapa kuintal, Pak?"
"Delapan."
"Siap, laksanakan. Kami kesana sore ini."
***
"Jadi sampeyan jual ke si Nilnil itu?" seorang petani menyenggol saya di saung tempat kami biasa nongkrong sambil ngopi.
"Jadi. Mereka beli harga pasar, jadi untung kita."
"Yang betul? Lantas mau dijual kemana? Ke rumah-rumah?"
"Iya, tapi caranya mantul Mas. Mantap betul."
Suara pick up mendekat ke saung. "Sore, Pak!" Daniel terlihat memakai boots dan kaos jebew, turun bersama dua orang pemuda.
"Ambil disana, Nduk." saya menunjuk ke arah teras rumah, tak jauh dari saung. Dua pemuda itu bergegas mengangkut daun bawang, sementara Daniel ikut duduk di saung.
"Coba saya ingin lihat, caramu berjualan yang mantul itu koyok opo." teman sesama petani saya melongok ke arah gawai Daniel.
"Oh, begini." dia membuka aplikasi di gawainya, lantas mengetikkan: READY STOCK DAUN BAWANG KUALITAS PRIMA, FRESH BARU DIPANEN DARI PETANI LOKAL!
Daniel memasukkan foto daun bawang yang saya kirimkan melalui ruang obrolan whatsapp, lalu, "Begitu saja, Pak."
Beberapa detik kemudian, gawai Daniel berdenting tak henti. Pesanan dari berbagai wilayah di Pulau Jawa masuk.
"Saya kirim langsung ke rekening Bapak, ya."
"Monggo, Mas."
Teman saya masih belum berkomentar.
"Bapak bisa hubungi saya jika ingin bekerja sama." Daniel melanjutkan.
"Nomornya dari saya saja." saya menepuk bahunya. "Eh, matur nuwun sanget nggih, Mas Daniel!"
"Sami-sami. Saya pamit dulu, Pak."
Ditulis sebagai bentuk partisipasi dalam 30 Hari Bercerita tahun 2019. #30HariBercerita #30HBC1918
Saya segera beralih ke daftar kontak. Menelepon.
"Halo, Pak?"
"Mas Daniel! Saya ada panen daun bawang cukup banyak, bisa tampung?"
"Berapa kuintal, Pak?"
"Delapan."
"Siap, laksanakan. Kami kesana sore ini."
***
"Jadi sampeyan jual ke si Nilnil itu?" seorang petani menyenggol saya di saung tempat kami biasa nongkrong sambil ngopi.
"Jadi. Mereka beli harga pasar, jadi untung kita."
"Yang betul? Lantas mau dijual kemana? Ke rumah-rumah?"
"Iya, tapi caranya mantul Mas. Mantap betul."
Suara pick up mendekat ke saung. "Sore, Pak!" Daniel terlihat memakai boots dan kaos jebew, turun bersama dua orang pemuda.
"Ambil disana, Nduk." saya menunjuk ke arah teras rumah, tak jauh dari saung. Dua pemuda itu bergegas mengangkut daun bawang, sementara Daniel ikut duduk di saung.
"Coba saya ingin lihat, caramu berjualan yang mantul itu koyok opo." teman sesama petani saya melongok ke arah gawai Daniel.
"Oh, begini." dia membuka aplikasi di gawainya, lantas mengetikkan: READY STOCK DAUN BAWANG KUALITAS PRIMA, FRESH BARU DIPANEN DARI PETANI LOKAL!
Daniel memasukkan foto daun bawang yang saya kirimkan melalui ruang obrolan whatsapp, lalu, "Begitu saja, Pak."
Beberapa detik kemudian, gawai Daniel berdenting tak henti. Pesanan dari berbagai wilayah di Pulau Jawa masuk.
"Saya kirim langsung ke rekening Bapak, ya."
"Monggo, Mas."
Teman saya masih belum berkomentar.
"Bapak bisa hubungi saya jika ingin bekerja sama." Daniel melanjutkan.
"Nomornya dari saya saja." saya menepuk bahunya. "Eh, matur nuwun sanget nggih, Mas Daniel!"
"Sami-sami. Saya pamit dulu, Pak."
Ditulis sebagai bentuk partisipasi dalam 30 Hari Bercerita tahun 2019. #30HariBercerita #30HBC1918
Comments