Ilmu Menerima
"Bagaimana caranya menerima takdir buruk sebagaimana menerima takdir baik?" sebuah pertanyaan sederhana keluar dari seorang murid yang sedari tadi mengacungkan tangan.
Sang Guru tersenyum, seakan ini adalah pertanyaan sama yang ke sekian ia hadapi. "Sini kamu maju, Nak."
Murid tersebut maju ke arah Sang Guru untuk kemudian menerima sebuah spidol di tangan kanannya. "Misalnya ini takdir baik, terimalah." ujar Sang Guru. Kemudian, diberikannya lagi sebuah spidol di tangan kirinya. "Misalnya ini takdir buruk, terimalah." ujar Sang Guru, tapi murid itu diam saja, tidak mengerti. "Sudah. Seperti itu. Bagaimana caranya menerima takdir? Ya diterima saja!"
Murid yang lain terperangah dengan jawaban sederhana dari Sang Guru, seakan dari sejuta jawaban yang ada di dunia, jawaban tersebut ada di depan mata tapi tidak pernah digubris.
"Inilah ilmu menerima." Sang Guru melanjutkan setelah mempersilahkan murid yang bertanya tadi untuk duduk kembali. "Sang Pencipta telah memberikan, dengan segala keagungan dan kekuasaan-Nya, takdir hidup bagi seluruh manusia. Tugas kita adalah menerima takdir tersebut dan menjalaninya dengan lapang dada. Tapi, siapakah manusia yang senang dengan takdir buruk?" Sang Guru memberi jeda sambil tersenyum. "Takdir buruk hanyalah asumsi, persepsi, dan anggapan manusia saja. Tidak ada takdir yang buruk, yang ada hanyalah prasangka buruk kita, manusia, terhadap skenario langit. Skenario langit ini yang terbaik dari yang terbaik. Khusus dibuat apik untuk mewarnai perjalanan hidup setiap manusia, membuatnya bermakna. Mendewasakan. Membijaksanakan."
Sang Guru menghela napas. Terdengar cuitan burung di sela-sela wejangannya.
"Indah, bukan?" ujarnya lagi. "Memandang segala sesuatu dengan seoptimistis mungkin adalah jalan hidup yang baik dan tidak sia-sia. Untuk apa merutuki takdir yang menurut kita buruk? Siapa tahu, di balik takdir itu ada suatu yang manis. Percayalah, sepenuhnya, kepada-Nya."
*terinspirasi dari Kajian "Manusia Berakhlaq Al-Quran" oleh Ust. Abi Fakhri
Sang Guru tersenyum, seakan ini adalah pertanyaan sama yang ke sekian ia hadapi. "Sini kamu maju, Nak."
Murid tersebut maju ke arah Sang Guru untuk kemudian menerima sebuah spidol di tangan kanannya. "Misalnya ini takdir baik, terimalah." ujar Sang Guru. Kemudian, diberikannya lagi sebuah spidol di tangan kirinya. "Misalnya ini takdir buruk, terimalah." ujar Sang Guru, tapi murid itu diam saja, tidak mengerti. "Sudah. Seperti itu. Bagaimana caranya menerima takdir? Ya diterima saja!"
Murid yang lain terperangah dengan jawaban sederhana dari Sang Guru, seakan dari sejuta jawaban yang ada di dunia, jawaban tersebut ada di depan mata tapi tidak pernah digubris.
"Inilah ilmu menerima." Sang Guru melanjutkan setelah mempersilahkan murid yang bertanya tadi untuk duduk kembali. "Sang Pencipta telah memberikan, dengan segala keagungan dan kekuasaan-Nya, takdir hidup bagi seluruh manusia. Tugas kita adalah menerima takdir tersebut dan menjalaninya dengan lapang dada. Tapi, siapakah manusia yang senang dengan takdir buruk?" Sang Guru memberi jeda sambil tersenyum. "Takdir buruk hanyalah asumsi, persepsi, dan anggapan manusia saja. Tidak ada takdir yang buruk, yang ada hanyalah prasangka buruk kita, manusia, terhadap skenario langit. Skenario langit ini yang terbaik dari yang terbaik. Khusus dibuat apik untuk mewarnai perjalanan hidup setiap manusia, membuatnya bermakna. Mendewasakan. Membijaksanakan."
Sang Guru menghela napas. Terdengar cuitan burung di sela-sela wejangannya.
"Indah, bukan?" ujarnya lagi. "Memandang segala sesuatu dengan seoptimistis mungkin adalah jalan hidup yang baik dan tidak sia-sia. Untuk apa merutuki takdir yang menurut kita buruk? Siapa tahu, di balik takdir itu ada suatu yang manis. Percayalah, sepenuhnya, kepada-Nya."
*terinspirasi dari Kajian "Manusia Berakhlaq Al-Quran" oleh Ust. Abi Fakhri
Ditulis sebagai bentuk partisipasi dalam 30 Hari Bercerita tahun 2019. #30HariBercerita #30HBC1906
Comments