Manajemen Waktu
Aku memasuki ruangan Matthew, manajer divisi yang sudah dua tahun ini banyak berinteraksi dengan seluruh bawahannya, termasuk aku. Di dalam, dia tampak santai. Aku terus meyakinkan diri sendiri kalau pertemuan ini akan baik-baik saja.
"Sore, Matt." dia memang meminta seluruh bawahannya untuk tidak memanggil "Pak", "Sir", atau apapun.
"I won't take your time too much. Yang ingin saya sampaikan adalah kinerjamu menurun satu bulan terakhir ini."
Aku tidak perlu memberitahunya dua kali kalau sejak sebulan lalu aku menjadi salah satu sukarelawan di sebuah lembaga pendidikan anak kurang mampu. Menjadi guru, meskipun tanpa gaji, adalah pelepas stres akibat terus menerus bekerja di kantor. Tapi, aktivitasku di sana merembet terlalu jauh. Aku jadi ikut mengurus lembaga tersebut.
"Mohon maaf, sepertinya saya harus memperbaiki kemampuan manajemen waktu saya." aku kehabisan kata-kata.
"Listen." Matt menopang dagunya. "We all already have a good time management skill. The thing is, we also have a good procrastinating skill and good showing what we do and don't prioritize skill. You get my point?"
***
"Gimana?" Saski menunggu tak sabaran di luar pintu.
"I got dumped."
"Seriously???"
"Not literally, cuma dumped secara psikologis.." aku tertawa pahit. "Masih dimaafkan."
"Yuk ke kantin, aku traktir kamu bakso. Lagi stres kan?"
Aku tersenyum. Saski mengobatiku dengan baik. Matt juga mengobatiku dengan baik.
Ditulis sebagai bentuk partisipasi dalam 30 Hari Bercerita tahun 2019. #30HariBercerita #30HBC1911
Comments